Skip to main content

Terjebak Macet di Taksi Mahal


Bukan Jakarta kalo tidak macet. Macet sudah menjadi satu paket jika berkunjung di ibukota Negara ini. Jika di Makassar definisi macet adalah terjebak 10 menit di jalanan dengan kendaraan bergerak lambat. Namun saya masih bisa memastikan berapa waktu yag dibutuhkan untuk keluar dari kemacetan itu. Nah, di Jakarta definisi macet adalah berhenti diam, bisa sampai 1 jam masih tetap berada disekitar situ. Dan tak tahu kapan bisa keluar dari jebakan macet itu. Kendaraan hanya bergerak satu meter tiap lima menit.

Rabu kemarin, Kak Yusran mengajak saya ke pameran pendidikan Amerika di gedung Smesco, Jl.Gatot Subroto. Jika kau bertanya dimana? Maaf, saya juga tidak bisa menjelaskan itu dimana. Hehehehe. Pokoknya sangat jauh dari UI Salemba, tempatku tinggal.(Sebenarnya pun tempat kostku pun tidak tepat juga jika disebut di UI Salemba :P).Whateverlah.

Recana berangkatnya pukul empat sore berombongan dengan teman-teman IFP Fellow Cohort IX-nya Kak Yusran. Tapi karena hujan yang deras kami pun berangkat agak telat. Karena buru-buru kami memutuskan menggunakan Taksi. Tanpa mempertimbangkan macet dipukul 5 (orang-orang kantoran pada pulang) dan hujan (selain macet, banjir adalah bous paket untuk Jakarta).

Menungggu lama di perempatan Kramat Sentiong tak ada taksi yang kosong. Kak Yusran maunya taksi Ekspress atau taksi Putra (Taksi yang dimiliki oleh orang Makassar dengan lambang huruf lotara “PA”dengan penanda “U” berupa titik dibawah yang menyebabkan jika dibaca berbunyi “PU”). Mengapa dua taksi ini? Karena menurutnya, taksi itulah yang dia percaya dan menggunakan tarif bawah .

Ada dua tarif taksi di Jakarta. Tarif atas yang argonya dimulai angka Rp.6000-7000 dan tarif bawah yang memulai di angka Rp.5000. Bagaimana hitung-hitungannya. Saya juga kurang tahu.Namun saya pernah sekali melihat berita tentang tariff taksi ini di stasiun TV swasta dan Mas-mas reporternya melakukan reportase partisipan dan menemukan selisih yang siginifikan.

Sialnya, tak ada taksi ekspress atau taksi Putra yang kosong. Setelah ditelepon untuk memesan taksi, operatornya menginfokan bahwa armadanya penuh semua. Sudah sangat sore. Hujan masih saja rintik.Saya berseloroh “Sudahlah, ambil taksi blue bird saja. Daripada terjebak macet.Nanti lama trus terjebak macet kan sama saja”.Tapi kemudian saya bercanda “Kalo cari taksi murah dan tetap terjebak macat kan sama saja tapi daripada sudah taksi mahal terjebak macet pula.Hahahahaha.Simalakama nih”.
Pada akhirnya pun kami memilih untuk menggunakan taksi Blue Bird. Taksi ini tak berlabel tarif bawah di kaca depannya. Taksi ini tarifnya cukup mahal dan juga taksi yang paling sering muncul di sinetron-sinetron atau film-film televisi.

Perjalanan lumayan jauh dan macet di sekitar Kementrian Kesehatan. Waaahhhhhhh. Saya tak bisa membayangkan jaraknya. Maklum saya tidak terlalu tahu. Tapi macetnya saya bisa gambarkan. Hampir 30 menit kami hanya bergerak di 10 meter dari Kementrian Kesehatan. Lalu lintas bergerak lambat. Padat merayap seperti siput. Argo taksinya melonjak Rp.30.000 dijarak 10 meter itu. Haaaaaaahhhhhh!!!!!!

Saat sang supir mencari alternatif jalan, ternyata jalan yang dia pilih pun kebanjiran. Waahhhh, pengen pulang rasanya. Sudah tak niat lagi melihat pameran pendidikan. Untungnya Kak Yusran sedikit sabar untuk itu. Tak lama akhirnya kami tiba di Smesco dan membayar Rp.80.000. Lemes rasanya. Entah karena cuaca dingin atau karena taksi yang begitu mahal.

Pulangnya kami menggunakan taksi lagi. Tapi kali ini taksi Ekspress. (Di jalan supirnya sempat tertabrak dari belakang dan adu mulut dengan orang yang menabraknya. Apes banget sih hari ini). Jalanan mulai lengang. Sampai di rumah kami hanya membayar Rp.35.000. Lumayan juga jarak tarifnya. Tapi mungkin juga karena pengaruh jalan raya yang tak lagi padat. Kapok deh naik taksi mahal :(.

Sebelum ke kota tua Jakarta, 091010

Comments

Popular posts from this blog

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Review #1 Trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap

Akhirnya saya menamatkan trilogi Jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki. Membaca buku ini terbilang cukup telat mengingat buku ini ditulis pada tahun 2001 dan sudah mengalami 10 kali cetak ulang.  Untuk pertama, saya ingin mereview buku Jendela-Jendela.Review berikutnya akan ditulis terpisah. Nah, sebelumnya saya bukanlah pembaca Fira Basuki. Sejauh ini saya hanya membaca buku Astral Astria dan Biru karyanya. Dua buku yang ditulis kemudian setelah menuliskan trilogi ini.  Jendela-jendela bercerita tentang seorang perempuan bernama June yang mengalami cukup banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari kuliah di Amerika, menjadi editor majalah Cantik di Indonesia, kemudian menikah dan pindah ke Singapura. Menepati rumah susun sederhana dan menjadi ibu rumah tangga. Ceritanya mirip-mirip hidup saya pas bagian ibu rumah tangga. Hahaha.  Transisi hidup yang cukup glamor saat kuliah di Amerika dengan tanggungan orang tua serta limpahan hadiah mahal dari pacarnya ke kehidupan...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...