Aku mendengar kembali lagu itu. Lagu yang serupa mesin waktu yang menarikku kembali ke moment ketika pertama kali mendengarnya. Aku masih mampu mengingat detail kala itu. Diam adalah bahasa universal yang kita gunakan. Aku meresapinya. Entah kau meresapinya juga.
Aku merekanya dalam imajiku. Membayangkan tokoh imajiner peribiru dan Kesatria Putih berdansa di bawah sinar bulan. Kau menitipkan kisah itu padaku. Lagu itu masih mengalun. Sekali mendengarnya mampu membawaku ke malam penuh mimpi yang tak terjangkau.
Aku tak berani lagi mendengarnya. Aku hanya takut terlalu merindukanmu. Aku mengganti playlistku. Masih tetap dengan lagu yang mengingatkanku padamu. Lagu ceria yang sangat dirimu. Kau membuatku menyukainya dan jatuh cinta padanya. Dan bayangmu selalu ada dalam musiknya. Aku selalu berharap bisa melihatmu menyanyikan ini sekali saja. Agar aku tak perlu merangkai imaji tentang itu.
Dan akhirnya aku memilih lagu penutup pagiku menjelang siang. Lagu yang entah mampu kamu nikmati atau tidak. Aku menyukainya. Karena ini pun mengingatkanku padamu. Pada sosok imajiner itu. Jika kau sering menyimak percakapan kita, kau pun akan mengingatku dalam puisi ini...
Akhirnya semuanya akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah wajah yang tak kita kenal berbicara dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
(Soe Hok Gie)
Aku merekanya dalam imajiku. Membayangkan tokoh imajiner peribiru dan Kesatria Putih berdansa di bawah sinar bulan. Kau menitipkan kisah itu padaku. Lagu itu masih mengalun. Sekali mendengarnya mampu membawaku ke malam penuh mimpi yang tak terjangkau.
Aku tak berani lagi mendengarnya. Aku hanya takut terlalu merindukanmu. Aku mengganti playlistku. Masih tetap dengan lagu yang mengingatkanku padamu. Lagu ceria yang sangat dirimu. Kau membuatku menyukainya dan jatuh cinta padanya. Dan bayangmu selalu ada dalam musiknya. Aku selalu berharap bisa melihatmu menyanyikan ini sekali saja. Agar aku tak perlu merangkai imaji tentang itu.
Dan akhirnya aku memilih lagu penutup pagiku menjelang siang. Lagu yang entah mampu kamu nikmati atau tidak. Aku menyukainya. Karena ini pun mengingatkanku padamu. Pada sosok imajiner itu. Jika kau sering menyimak percakapan kita, kau pun akan mengingatku dalam puisi ini...
Akhirnya semuanya akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah wajah yang tak kita kenal berbicara dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
(Soe Hok Gie)
Itulah kerinduan...begitu agung dan sangat misterius.
(Setelah mendengar lagu JC-B4N, MB-E, EfeatO-CB)
Comments
Post a Comment