Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2015

Surat Buat Suami

Pagi tadi ketika kuingatkan padamu akan hari apa hari ini,   kamu hanya berseloroh bahwa ulang tahun pernikahan tidaklah begitu penting. Bukankah kita merayakannya tiap hari? Hahaha. Gombal murahan untuk menghindari perlakuan khusus terhadap hari ini. Kita memang tidak punya tradisi untuk merayakan hari pernikahan. Tapi buat saya ini serupa milestone yang menandai perjalanan panjang bersamamu. Bagaimana rasanya hidup lima tahun bersamaku? Kamu sangat tahu saya paling tidak bisa masak. Entah lidahmu yang bermasalah atau masakanku yang memang benar-benar enak, kamu selalu menyukainya. Meski kadang kamu tetap mengeritik jika terasa tidak enak atau ada yang kurang. Tapi selalu ada saat dimana saya harus “terpaksa” memasak buatmu karena pujianmu setinggi langit. Padahal ketika kamu memilih membeli nasi padang di warung, hati saya melonjak bahagia karena tak perlu sibuk di dapur. Kemudian kamu akan mengeritik mukaku yang selalu masam kalo sudah sibuk membersihkan rumah. Kamu

Hari-Hari Pertama Ara Bersekolah

Sudah dua hari ini Ara mulai rutin ke sekolah. Ia cukup mudah bangun pagi dengan catatan tidak begadang semalam, dijamin ia akan bangun pukul 5.30 pagi. Dia bakal main-main dulu di luar. Sarapan. Ketemu temannya. Kasi makan kucing. Menyiram bunga kalo sempat. Baru berangkat ke sekolah.  Tidak mudah beradaptasi dengan pola yang begitu cepat berubah. Rutinitas sebelumnya yang cukup enteng, adalah bangun pagi dan leyeh-leyeh. Ara bisa bebas main sampai kulitnya terbakar sinar matahari. Saya bisa asyik scroll-scroll handphone. Terus bersihkan rumah. Scroll handphone lagi. Masak. Scroll Handphone lagi. Menyapu. Scroll handphone lagi. Nyuapin Ara. Dan seterusnya. Kecuali bobo siang yang tidak pernah bisa say lakukan karena Ara selalu harus ditemani atau dijagain main. Masuk sekolah berarti menambahkan jadwal baru pada rutinitas. Mengoptimalkan waktu sedemikian mungkin untuk mengerjakan perkerjaan rumah (memasak, menyapu, mengepel, mempersiapkan keperluan anak sekolah) dilaku

Ara Sekolah, Saya Cemas

Saya di sini. Duduk di bawah pohon rindang di samping mesjid. Hari ini Ara daftar sekolah. Sebuah TK kecil di samping mesjid di daerah Bogor Baru. Ia ada di dalam kelas kini. Bersama 3 orang teman barunya. Saya mengantarnya ke depan pintu kelas. Dua ibu guru muda menyambutnya dan menanyakan namanya. Ia menjawab dengan malu-malu. Kemudian kutinggalkan ia untuk menggambil perlengkapan sekolahnya di tata usaha. Mereka sedang belajar mewarnai. Ia tampak malu. Mungkin sedikit takut. Ia belum mengenal teman-temannya maupun gurunya. Teman-temannya saling bersahutan menjawab pertanyaan ibu guru. Dari kaca jendela saya melihat ia tunduk menatap buku gambarnya. Crayonnya dia goreskan di buku mewarnai. Pagi tadi, ia terbangun setengah enam pagi dan sarapan. “Nanti mandi ya, terus kita ke sekolah”, kataku padanya. Ia masih main-main di halaman dan menemani saya membeli sayur. Ketika saya memasak, ia berlari masuk dan berkata, “Ara mau mandi.Mau pergi sekolah”. Ia sangat antusias. Mempersi

Hujan Bulan Juni

Bagaimana sebuah puisi kemudian disajikan dalam novel? Untuk mengetahui jawabannya ada baiknya membaca novel terbaru Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni. Yap! Novel ini berjudul sama dengan puisi Sapardi yang sangat terkenal Hujan Bulan Juni. Puisi yang sangat terkenal yang selalu dikutip ditiap bulan Juni. Dijadikan lagu, komik, bahkan bahan rayuan untuk calon kekasih. Siapa yang tidak ingin ditembak dengan cara romantis dengan puisi Hujan Bulan Juni? Kalo saya, udah pasti kelepek-kelepek duluan (untungnya suami nda pake puisi ini dulu waktu dekatin gue). Novel Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah cinta dosen Antropolog yang juga peneliti dengan rekannya sesama dosen di universitas yang sama. Sarwono dan Pingkan. Pingkan adalah adek dari sahabat dekatnya di Solo, Toar. Namun Sarwono adalah Jawa Tulen sedangkan Pingkan adalah perempuan setengah Menado-setengah Jawa. Di Solo dia dianggap orang Menado. Di Menado ia merasa menjadi orang Jawa.   Konflik Nove

Wishful Thinking

Sumber gambar di sini Sekali aku memikirkan sebuah harap sepintas yang mungkin bisa dianggap doa. Aku tak pernah berharap Tuhan menyampaikan itu padamu dan kemudian hadirkan sesuatu itu sebagai sebuah jawaban dari doa. Telah lama aku tak pernah berharap kita saling berkirim selamat untuk sebuah perayaan. Di masa lalu kala aku berharap ucapan selamat itu untuk membuat aku dan kamu menyelesaikan benang kusut antara kita, tapi kemudian harapan itu tak kunjung tiba. Aku memahaminya. Tidak ada amarah yang membuncah. Maka kupikir seperti itulah kita akan menyambut perayaan-perayaan di hari-hari depan. Aku mulai terbiasa menyimpan sebagai kenangan di waktu lalu yang tidak lagi berguna untuk ditengok. Anak muda kekinian menyebutnya move on. Tak pernah mudah di awal, tapi ketika ia menjadi satu-satunya pilihan terbaik dari pilihan untuk terperangkap pada penjara masa lalu, maka aku memilih untuk meneruskan hidup. Ratusan kemungkinan skenario berusaha berulang kali aku ciptakan di