Pada hari-hari biasa, aku mengenangmu sebagai sebuah masa
lalu yang kusesali. Pikiran rasional membawaku pada titik kesadaran betapa
bodohnya aku yang jatuh cinta padamu. Keningku mengerut membayangkan
malam-malam dimana saya begitu tersiksa merindukan dirimu. Bodoh, otakku
memberi pendapat. Syaraf-syaraf di otakku serta merta menampilkan
kilasan-kilasan kenangan pada rentang waktu aku dan kamu. Kembali ia
berkomentar, tolol banget loe. Rasionalitasku membenarkan pendapat otakku.
Mengapa pada waktu itu saya menghabiskan waktu memikirkanmu. Mengapa seluruh
jiwa begitu tersiksa akan dirimu. Bumi mampu terbalik, waktu mampu berhenti
jika itu tentangmu yang meski sekedipan
mata. Bodoh, ulangku.
Tapi hati, seberapa lama pun ia bergeming, selalu mampu
memberikan pembelaannya. Tentang cerita yang membahagiakan, kenangan-kenangan
yang menyenangkan, dan daftar alasan yang membenarkan kesimpulannya tentang
Cinta. Tak ada yang bodoh dari aksi dan reaksi yang terjadi. Manusiawi apa
adanya. Dan kenangan-kenangan versi hati memenuhi ruang-ruang pikiranku.
Lambungku menghangat. Gerombolan serangga menggelitiknya. Kemudian saya
merindukanmu.
Saya seperti mengalami dan menyaksikan perang serta menjadi medan tempur itu sendiri.
Anehnya saya mulai terbiasa. Saya menamainya perang tarik ulur. Menyimpan
kenangan masa lalu dengan pembelaan yang diwakili hati dan di lain pihak saya
ingin bersepakat dengan otak dan move on. Tapi ketika saya move on, apalagi
yang saya miliki dari masa lalu saya. Dia membentuk saya seperti ini dan
rasa-rasanya tidak adil untuk tidak mengenangnya sebagaimana aku mengenalnya
dulu.
Selamat berperang, diriku
Bogor, kemarin
Comments
Post a Comment