Sumber foto di sini |
Kita serupa kawan lama yang bersua pada suatu masa dan
mengalami dimensia. Kita hanya terduduk pada suatu sore di bulan juni. Saling
tertawa karena berjumpa setelah sekian lama. Kemudian kita sama-sama mencari
kenangan di masa lalu yang bisa menautkan kita. Namun yang tersisa ingatan
hari-hari gerah di bulan Juni. Tapi kita tetap tertawa sembari mencari dalam
ingatan-ngatan kita yang mulai lumpuh tentang kenangan di bulan Juni.
Kemudian sebuah kenangan menyusup tiba-tiba.
Kuceritakan tentang langit yang berwarna
jingga dan bulan penuh di ujung senja. Sesaat saya berpaling dan kutemui hanya
sejumput bulan yang menggantung di langit. Langit Juni ditutupi awan. Bulan
bersembunyi di baliknya. Awan kelabu yang membawa mendung tipis. Hari terakhir
di bulan Juni kala itu. Desau angin terasa seperti oase pelepas dahaga di
tengah hari yang panas. Langit tak
garang. Sore itu tak ada petir, guntur, atau kilat. Titik hujan jatuh
satu-satu. Mungkin putri khayangan
sedang menyirami tanaman-tanaman awannya. Mungkin dewa langit sedang tersenyum
melihat putri khayangan menyiram awan. Dan dengan kelembutan hatinya, ia
menumpahkan air hujan dalam simponi yang indah.
Hujan di ujung bulan Juni membasahi tanah-tanah kering.
Mengeluarkan aroma tanah yang hangat yang bersuka cita menyambut hujan.
Rerumputan terlihat berlompatan dengan rintik hujan yang jatuh menyentuh
dedaunannya. Kala itu saya tertegun menyaksikan orkestra semesta di balik
jendela. Sebuah hujan sederhana sore itu di ujung bulan Juni. Menyusupkan rasa
damai dalam hati. Menentramkan dan menyejukkan. Sebuah kenangan yang sederhana
tentang hujan di ujung bulan Juni.
Bogor, 30 Juni 2015
Comments
Post a Comment