Saya di sini. Duduk di bawah pohon rindang di samping
mesjid. Hari ini Ara daftar sekolah. Sebuah TK kecil di samping mesjid di
daerah Bogor Baru. Ia ada di dalam kelas kini. Bersama 3 orang teman barunya.
Saya mengantarnya ke depan pintu kelas. Dua ibu guru muda menyambutnya dan
menanyakan namanya. Ia menjawab dengan malu-malu. Kemudian kutinggalkan ia
untuk menggambil perlengkapan sekolahnya di tata usaha. Mereka sedang belajar
mewarnai. Ia tampak malu. Mungkin sedikit takut. Ia belum mengenal teman-temannya
maupun gurunya. Teman-temannya saling bersahutan menjawab pertanyaan ibu guru.
Dari kaca jendela saya melihat ia tunduk menatap buku gambarnya. Crayonnya dia
goreskan di buku mewarnai. Pagi tadi, ia terbangun setengah enam pagi dan
sarapan. “Nanti mandi ya, terus kita ke sekolah”, kataku padanya. Ia masih
main-main di halaman dan menemani saya membeli sayur. Ketika saya memasak, ia
berlari masuk dan berkata, “Ara mau mandi.Mau pergi sekolah”. Ia sangat
antusias. Mempersiapkan bekalnya dan meminta dibawakan banyak makanan. Dan di
balik kaca jendela kelas saya melihatnya mewarnai buku gambarnya barunya.
Apakah ia ketakutan? Apakah ia merasa tidak nyaman? Feeling
insecure? Bagaimana ia melalui hari pertama sekolahnya ini. Apakah ia akan
betah? Bagaimana kalo besok ia mogok ke
sekolah? Apakah ia akan merasa kerasan? Arrgghhh. Moment berpisah antara saya
dan Ara adalah moment yang sangat langka. Saya tidak pernah berjarak begitu
jauh darinya. Ia selalu berada dalam jangkauanku dan saya selalu ada kala ia
butuh. Saya yang paling memahami dirinya. Apa yang ia sukai. Apa yang tidak ia
sukai. Apa yang dia mau dan apa yang tidak ia mau. Saya yang paling paham
bahasanya. Paling mengerti dirinya. Dua hari lalu ia menangis di tempat bermain
karena saya lepas dari pandangannya.
Hari ini mau tidak mau mempersiapkan hati saya untuk
melepaskannya. Berjarak dengan diri saya. Membangun kepercayaannya pada orang lain. Mengajarinya mandiri dan
mempercayai pada kemampuannya. hari ini terasa begitu melankolis buat saya. Pada
saat ini Ara mungkin telah siap , sedang hatiku yang belum siap. Saya yang
harusnya belajar melepasnya.
Ia bertumbuh dewasa dan pelukanku tidak cukup
menjadi tempatnya bermain. Puisi Kahlil Gibran yang paling memahami.
“Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi
anak-anak panah yang hidup diluncurkan”.
Sang anak panah itu sedang belajar untuk mandiri. Belajar di
tempat baru selain rumah. Di sana kelak tajam tidaknya anak panah ia tempah.
“Ia akan baik-baik saja dan saya akan ada di sini saat ia membutuhkanku”, bisik
hatiku menenangkan. Tak berselang lama, ia keluar dari gedung sekolah diantar oleh ibu gurunya. Rona wajahnya ceria, "Ara main-main", katanya.
Bogor, 28 Juli 2015
Comments
Post a Comment