Sumber gambar di sini |
Sekali aku memikirkan sebuah
harap sepintas yang mungkin bisa dianggap doa. Aku tak pernah berharap Tuhan
menyampaikan itu padamu dan kemudian hadirkan sesuatu itu sebagai sebuah
jawaban dari doa. Telah lama aku tak pernah berharap kita saling berkirim
selamat untuk sebuah perayaan. Di masa lalu kala aku berharap ucapan selamat
itu untuk membuat aku dan kamu menyelesaikan benang kusut antara kita, tapi
kemudian harapan itu tak kunjung tiba. Aku memahaminya. Tidak ada amarah yang
membuncah. Maka kupikir seperti itulah kita akan menyambut perayaan-perayaan di
hari-hari depan.
Aku mulai terbiasa menyimpan
sebagai kenangan di waktu lalu yang tidak lagi berguna untuk ditengok. Anak
muda kekinian menyebutnya move on. Tak pernah mudah di awal, tapi ketika ia
menjadi satu-satunya pilihan terbaik dari pilihan untuk terperangkap pada
penjara masa lalu, maka aku memilih untuk meneruskan hidup. Ratusan kemungkinan
skenario berusaha berulang kali aku ciptakan di kepala. “What if”, if so”, “How
So?”. Slide-slide imajinasi itu membantuku bertahan dan perlahan belajar
melepaskan.
Tak ada orang yang pernah lari
masa lalu, maka ia akan terus mengikutimu. Ia tidak pernah mengabari kapan
angin membawa kembali mengetuk pintu kenangan. Dan tibalah aku pada pintu kenangan
yang terketuk lembut. Tak perlu kumainkan pertanyaan, “Who’s there?”. Karena
sosok masa lalu itu tak pernah berwujud samar.
Pilihanku adalah membukanya atau
mengabaikannya hingga ia berlalu. Aku berusaha menjadi orang baik. Sekalipun
sisi evilku memintaku beranjak pergi dari pintu tertutup itu. Aku membukanya.
Perlahan. Hatiku sibuk membuat sekenario reaksi. “Jangan terlihat antusias”.
“Jawab ringkas”. “Bersikap dingin”. “Sesingkat mungkin”. “Tutup pintu”. Kuikuti
sarannya. Membuka pintu. Kemudian berterima kasih. Lalu pintu kututup kembali.
Meski kembali ada ketukan, kali ini aku membiarkan iblis-iblis membuat hatiku
beku.
Ini untuk kebaikanmu. Jangan
pernah hilang pegangan, kamu sudah tahu seberapa sakitnya jatuh itu. Hatiku
mengingatkan. Aku membiarkan hati menentukan jalannya dan aku puas dengan
keputusannya. Sayangnya, sekali pintu kenangan itu terbuka, masa lalu itu
kembali mewujud seperti sedia kala. Dan sebuah harap yang kali ini mungkin
adalah doa, di esok hari ia kembali mengetuk pintu.
Its Okay to feel that way, bisik
hati. Bukankah skenario-skenario yang selalu kita buat tak pernah menjadi
nyata. Pada doa-doa yang serius,Tuhan kadang menjawab tidak. Jangan khawatirkan
pada masa depan yang masih samar, yang kamu harus miliki hanyalah keteguhan
hati yang kuat. Aku mungkin takkan pernah mengetuk pintu kenanganmu. Karena itu
adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan. Agar aku tetap waras.
Bogor, 19 Juli 2015
Comments
Post a Comment