Skip to main content

Karena Tulisan, Saya “Diintrogasi”

Saya tak pernah menyangka sebuah tulisan mampu membuat saya menjadi seseorang yang perlu “diintrogasi” lebih lanjut. Saya hanyalah seorang warga biasa yang tak punya kerjaan. Yang menjadikan menulis adalah curhat dan menjadikan blog sebagai catatan harian.

Saya mempelajari di bangku kuliah tentang jurnalistik dan hakikat sebuah media. Keduanya menjadi elemen keempat dalam sebuah negara setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dan berita mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap sebuah kebijakan. Media menjadi perantara antara penguasa dan warganya. Media adalah wadah yang menampung keluh kesah warga tentang segala hal. Pelayanan publik, ataupun kebijakan.

Saya bukanlah tipe warga yang cukup vokal mengeritik pemerintah. Sekali dua kali pernah ikut demo waktu mahasiswa. Itupun sekedar hanya untuk merasakan bagaimana demonstrasi itu. Panas-panas. Konvoi. Memakai jaket Almamater terasa sangat keren waktu awal kuliah dulu. Saya juga bergabung dengan salah satu UKM yang cukup vokal mengeritik pemerintah dan birokrasi.

Namanya UKM Pers Unhas. Tapi saya dan teman-teman menyebutnya rumah pelangi. Banyak macam ragam anggotanya. Dengan pemikiran yang seperti keanekaragaman hayati. Kami tak pernah harus benar-benar sependapat jika melakukan kritik. Ada yang memilih menjadi aktivis sejati yang kerjanya mengkritik dan membuat tulisan-tulisan pedas. Ada yang memilih jalur aktivis romantis. Menyukai menulis cerpen, puisi yang juga berisi tentang kepedulian terhadap nasib bangsa.

Ada juga yang memilih jalur romantis sejati. Membaca novel-novel, menulis cerpen dan puisi. Pengetahuan akan mengkritik kebijakan hanyalah sebagai sebuah suplemen. Hanya digunakan untuk melihat sesuatu secara peka. Saya masuk dalam tipe itu. Sesekali ikut diskusi mendengarkan teman-teman dengan argumentasi teori dari berbagai buku yang kadang terlalu berat buatku. Aku bukanlah pembaca buku daras dan teks. Saya lebih memilih membaca Harry Potter atau Seri Twilight yang romantis.

Kalo pun menulis, saya lebih memilih tulisan-tulisan pengalaman pribadi tanpa dibumbui berbagai teori sosial yang ngejelimet. Atau menuliskan tentang pengalaman percintaan dengan kalimat mendayu-dayu bak rayuan pulau kelapa. Saya adalah penulis yang memilih jalur aman.

Saya tak pernah berpikir untuk menulis sebuah bentuk kritikan atau cacian. Saya juga tak pernah berpikir suatu saat kelak saya akan merasakan sedikit yang dialami para jurnalis profesional. Mempertaggungjawabkan tulisannya. (Karena hal itulah mungkin saya tak pernah berminat menjadi wartawan meski pernah saya memimpikannya).

Yah, saya tak pernah berpikir sampai saya mengalaminya. Beberapa waktu lalu saya menuliskan pengalaman saya mengurus paspor di kantor imigrasi. Saya menuliskan apa yang saya liat dan saya rasakan. Saya menuliskannya dengan kedudukan sebagai seorang warga yang melakukan reportase. Dalam ilmu komunikasi disebut citizen reporter, dimana warga menjadi pelaku dan pembuat berita.

Tulisan itu saya unggah ke blog saya dan juga ke Kompasiana, sosial blog milik media Kompas. Saya menuliskan tentag keluh kesah saya saat membuat paspor. Antriannya tidak teratur dan sistem pembayaran yang tidak transparan. Saya mempostnya saat pagi di hari saya harus mengambil paspor saya. Saya tak menyangka tulisan itu akan headline di Kompasiana. Saya memang melinknya di fesbuk dan ternyata juga dibaca banyak orang. Bahkan orang di Keimigrasian.

Sorenya saat saya mengambil paspor di imigrasi seorang pegawai imigrasi meminta saya masuk ke dalam. Padahal untuk pelayanan pembuatan paspor, pemohon hanya menunggu di ruang tunggu. Tidak sampai ke ruang dalam yang khusus pegawai dan duduk di depan salah satu pegawainya kemudian diwawancarai.

Saya sudah mulai curiga saat nama saya dipanggil untuk mengambil paspor da kemudian diarahkan untuk ke bagian dalam kantor. Ternyata mereka membaca tulisan saya. Waaaahhhhh…..(gimana nih). Awalnya sempat deg-deg-an. Takutnya dipersulit gara-gara tulisan itu. Tapi kemudian saya beranggapan bahwa tulisan itu adalah murni dari pengalaman saya tanpa menambahkan dan mengurangi apapun. “Kalo sampai ada apa-apa saya akan hadapi saja”pikirku.

Sang bapak itu menanyai kembali kronologis pembuatan paspor saya. Dia menanyakan dengan sangat detail. Dan saya menjelaskan pun dengan sangat detail .Dia menuliskan hasil wawancaranya di dua lembar kertas ukuran legal dan sangat penuh. Ia berkata “Ini untuk perbaikan ke depannya Mbak”. Ia mewawancarai saya hingga 30 menit. Diakhir “introgasi” dia meminta nomor telepon saya dan menandatangani catatannya. “Boleh kan nanti dihubungi jika ada konfirmasi lebih lanjut?” tanyanya. Dan kuiyakan.

Pengalaman ini membuka mata saya lebar. Seperti inilah fungsi media. Seperti inilah keterlibatan publik ketika media blog dan internet membuat segala hal tak berjarak. Dulunya antara pelayanan egara dan masyarakat yang dilayani sagat berjarak. Media kovensional serupa televisi, radio, dan surat kabar atau majalah menjadi penengah untuk menyampaikan keluh kesah warga. Perlu waktu yang lama dan tanggapan yang lama pula.

Namun ketika internet terjangkau dan warga memiliki ruang untuk berkeluh kesah maka tak perlu lagi campur tangan orang-orang yang berprofesi wartawan untuk menuliskan keluhan masyarakat. Warga bisa secara langsung menuliskan uneg-unegnya. Mempostingnya . Dan mendapat tanggapan dari segala pihak.

Saya menyampaikan keluh kesah yang saya alami. Dan Keimigrasian meresponnya dengan baik. Menanyakan kepada saya hal-hal yang perlu diperbaiki. Saya belum tahu apakah saran-saran itu segera diimplementasikan atau belum. At Least, saya telah menyampaikan pengalaman saya. Kelak kalo datang lagi ke sana atau berkunjung ke kantor pelayanan dan pelayanannnya kurang memuaskan akan saya tulis lagi. Hehehehehe :).

Makassar, October 4, 2010

Comments

Popular posts from this blog

Alas Kaki Nyaman, Hati Senang

  sumber foto : Facebook Be.Bob Kata seorang teman memilih alas kaki   sama seperti memilih pasangan hidup,   harus cari yang nyaman. Alas kaki nyaman buat saya adalah sandal jepit, tapi tidak semua kondisi pas dengan sandal jepit.. Saat kuliah saya pun dituntut memakai sepatu. Berhubungan karena ngekost maka alas kaki hendaknya memiliki syarat murah, kuat, dan tahan lama serta pas untuk model casual , feminine , atau sporty . Pilihan saya jatuh pada flat shoes . Karena kostku lumayan dekat dengan kampus, saya cukup jalan kaki. Sepatu yang saya kenakan harus bercumbu dengan berdebu dan beladus karena sinar matahari. Paling menyedihkan ketika musim hujan dan air menggenang, saya mengakalinya dengan jalan kaki menggunakan sandal jepit dan memakai sepatu saat tiba di kampus. Tak jarang saya harus menanggung malu karena persoalan alas kaki.  Pernah sekali saya diusir saat mengenakan sepatu sandal di perkuliahan yang dosennya mengharuskan menggunakan...

Asyiknya Berkirim Kartu Pos

Kartu pos untuk teman-teman di Indonesia. Beberapa minggu ini saya lagi senang-senangnya berkirim kartu pos. Membeli kartu pos di court street. Menuliskan nama dan alamat yang akan dikirimkan. Menuliskan pesan yang akan disampaikan. Dan membawanya ke kantor pos dan memposkannya. Prosesnya itu begitu menyenangkan buatku. Terlebih lagi ketika orang yang saya kirimi kartu pos mengabarkan kalo kartu posnya sudah sampai, rasanya seperti mission completed deh. Selain mengirimkan kartu pos ke teman-teman di Indonesia, saya juga bergabung di Postcrossing . Sebuah web yang menyatukan para penggemar kartu pos seluruh dunia. Saya menemukan web Postcrossing ini tak sengaja ketika sedang mencari informasi berapa harga prangko untuk kartu pos luar negeri. Caranya gampang, daftar di webnya, kemudian kamu akan menerima 5 alamat yang harus kamu kirimi kartu pos. Saat pertama join kamu harus mengirim kartu pos. Ketika kartu pos itu diterima, maka alamat kamu akan disugesti untuk dikirimi kartu po...

Ketika Salju Kembali Turun

Salju kembali turun. Saya senang jika salju turun. Itu berarti saya bisa main-main salju lagi. Setiap kali salju maka ribuan khayalan yang ingin saya lakukan di benakku. Dulu saya belum sempat membuat boneka salju. Frosty selalu menjadi mainan yang asyik ketika musim salju seperti yang saya lihat di televisi. Dan kemudian saya ingin membuat Snow Angel. Berbaring di salju dan kemudian menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga membuat saljunya membentuk malaikat lengkap dengan sayap. Snow Bird bikinanku Karenanya ketika salju kembali turun saya tidak lagi berniat narsis dengan foto-foto biasa di tengah salju. Saya mau buat Snowman dan membuat cetakan snow angel. Kali ini kaos tangan khusus salju menjadi senjata lengkap. Saya tidak ingin membuat tangan saya beku sebelum membuat boneka salju. Atau at least menyerupai boneka salju. Sebelum ke Athens, Ema sempat memberiku syal rajutannya. Kujanjikan padanya akan kukalungkan manusia salju yang kelak saya buat. Dan akhirnya saya memenu...