Skip to main content

Hujan Yang Menjadi Monster

Aku tak pernah benar-benar menyukai hujan. Rasanya begitu becek dan basah. Tapi aku tak pernah benar-benar membenci hujan. Karena hujan seperti sebuah berkah. Selalu ada banyak orang yang berbahagia jika hujan datang.Di kampungku, banjir serupa barang langka. Air meluap hanya di pengairan irigasi atau di sungai-sungai. Tak pernah sampai masuk dan menggenangi rumah. Tanah dan pohon selalu mampu meresap tetesan air yang melimpah itu.


Tapi di sini, di Jakarta, musim hujan serupa monster yang begitu menakutkan. Ia menimbulkan rasa was-was, kekhawatiran, dan juga gerutuan yang panjang dari semua orang. Bukan hujannya yang bermasalah. Namun akibat yang timbul dari hujan itu. Banjir. Atau kalo meminjam bahasa pemerintah untuk sebuah penghalusan "air yang menggenang".


Seumur hidup aku belum pernah melihat banjir yang benar-benar menggenang. Mengetuk pintu rumahmu dan berkata "permisi, saatnya banjir". Tapi di sini, banjir seperti ketika tetangga datang bergosip di rumahmu.Begitu sering dan tidak melihat waktu. Bahkan tetangga pun jika malam masih saja pengertian. Banjir tak pernah tahu waktu. Curah hujan sedikit saja, got-got yang mampet pun meluap. Dan bersiaplah dengan bebek-bebekmu jika kau tak mampu berenang. 


Apa yang salah dengan Jakarta? Pepohonan yang langka. Belukar semen dan beton yang tak mampu menyerap air. Got-got yang penuh sedimen tanah yang mendangkalkan aliran air. Dan juga sampah-sampah yang tak terbuang seenaknya. Pola hidup manusia modern komplikasi kebijakan pemerintah yang tak begitu peduli terhadap banjir.


Facebook menjadi ajang curhat soal banjir. Beberapa teman harus "tinggal" berjam-jam di jalan karena banjir mendatangkan kemacetan. Aku tak pernah membayangkan menjadi pekerja di Jakarta. Berkantor dari jam 8 sampai jam 5. Berusaha menghindari macet dan banjir. Rela menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan.Huuuuaaaaahhhhhh.....apa tidak stress itu.


ilustrasi dari http://krakal.wordpress.com
Daya tahan mereka di tengah kota yang semrawut ini adalah sebuah point yang menjadikan mereka sebagai "pekerja keras".  Aku masih saja belum bisa memahami ritme denyut kota ini. Ritme macet dan banjirnya. Banjir tidak lagi dianggap sebagai sesuatu bencana. Ia adalah seperti sesuatu yang sangat biasa di sini. Banyak kekesalan  yang terlampiaskan lewat jejaring sosial. Namun, tak ada langkah yang nyata untuk benar-benar menanggulanginya. Mungkin para pengambil keputusan selalu beranggapan "nanti juga hujan berhenti.." (*)

Comments

  1. Sebagai pencinta hujan, tak tepat rasax bila mengatakan hujan berubah menjadi monster. Hujan adalah rezeki yg diturunkan oleh Allah lewat perantara malaikatnya, hujan takkan pernah menjadi monster. Hanya manusia yang tak tahu mengolah rezeki yg dlimpahkan oleh manusia. mereka menjadi mahluk yang angkuh dan berusaha menolak hukum alam.

    ReplyDelete
  2. di tempatnya kak dwi banjir juga nda ??

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...