Aku menanyakan kabarmu. Kau menjawabnya “flat question….miss ur “question”. Pertanyaan apa lagi yang kau rindukan? Bukankah kita dulunya memulai dengan pertanyaan yang sama? Setelah itu kita akan merangkai kata langit. Menggunakan bahasa pengandaian. Sesekali aku sulit menginterpretasikannya. Bahasa itu tak lagi diterjemahkan dalam definisi kamus. Tapi dalam definisi hati.
Aku merindukan percakapan simbolik kita. Percakapan yang dipakai oleh orang-orang “aneh”seperti dirimu dan diriku. Aku selalu menyenangi saat-saat itu. Saat dimana kita ada di “Beranda” dan saling bertukar cerita tentang “perjalanan”. Kau memintaku menulisnya.
Seorang penulis pernah ditanya “berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis?”. Ia terdiam lama. Lalu menjawab “ Proses menulisnya cepat. Namun memikirkannya yang butuh waktu lama”. KIsah itu harus selesai dalam benakku. Sampai hari ini aku masih belum menemukan kata “tamat” di pikiranku. KIsah itu belum selesai.
Kau berkata “ Harus bertemu denganku dulu kemudian kisah itu bisa selesai”. Kau mengirimkanku “kutukan”? Bisa jadi seperti itu. Aku tak pernah takut dengan itu. Aku hanya takut aku berubah dan kau pun berubah. Aku takut hanya aku saja menginginkan akhir kisah itu agar aku bisa menguncinya dalam huruf.
Jarak hati kita mulai terlihat. Pernah sekali aku bermimpi tentangmu. Kita bertemu dan bercakap. Namun ekspektasi pertemuanku sangat jauh dari semua adegan dari mimpi itu. Venus tak pernah bersama lelaki hujan. Ia lebih memilih bersama matahari. Lelaki hujan memilih bintang lain untuk menemaninya. Nyata adalah seperti itu. Tapi bukankah kita mampu memilih ending yang lain dalam buku cerita kita?
Karenanya aku mengirimimu lagi sebuah pesan “Aku rindu percakapan kita”.
(Jika kau membaca tulisan ini tolong kirimi aku pesan tentang warna hatimu )
Jakarta, 181010
Aku merindukan percakapan simbolik kita. Percakapan yang dipakai oleh orang-orang “aneh”seperti dirimu dan diriku. Aku selalu menyenangi saat-saat itu. Saat dimana kita ada di “Beranda” dan saling bertukar cerita tentang “perjalanan”. Kau memintaku menulisnya.
Seorang penulis pernah ditanya “berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis?”. Ia terdiam lama. Lalu menjawab “ Proses menulisnya cepat. Namun memikirkannya yang butuh waktu lama”. KIsah itu harus selesai dalam benakku. Sampai hari ini aku masih belum menemukan kata “tamat” di pikiranku. KIsah itu belum selesai.
Kau berkata “ Harus bertemu denganku dulu kemudian kisah itu bisa selesai”. Kau mengirimkanku “kutukan”? Bisa jadi seperti itu. Aku tak pernah takut dengan itu. Aku hanya takut aku berubah dan kau pun berubah. Aku takut hanya aku saja menginginkan akhir kisah itu agar aku bisa menguncinya dalam huruf.
Jarak hati kita mulai terlihat. Pernah sekali aku bermimpi tentangmu. Kita bertemu dan bercakap. Namun ekspektasi pertemuanku sangat jauh dari semua adegan dari mimpi itu. Venus tak pernah bersama lelaki hujan. Ia lebih memilih bersama matahari. Lelaki hujan memilih bintang lain untuk menemaninya. Nyata adalah seperti itu. Tapi bukankah kita mampu memilih ending yang lain dalam buku cerita kita?
Karenanya aku mengirimimu lagi sebuah pesan “Aku rindu percakapan kita”.
(Jika kau membaca tulisan ini tolong kirimi aku pesan tentang warna hatimu )
Jakarta, 181010
Comments
Post a Comment