Siang ini aku terbangun dan merasa sedih. Serak-serak itu mengumpul perlahan dan membuat lubang menganga di hatiku. aku mengurai serak itu satu demi satu. Tak ada kakak ipah dan Khanza yang selalu ribut berfacebook dan menangis. Tanteku berkunjung dan mengatakan akan seminggu berada di Makassar. Dan aku menghitung hari efektif kerjaku di kantor.
Tinggal Sembilan hari lagi. Sebuah hitung yang mampu aku lakukan hanya dengan kedua jariku tanpa harus meminjam jari-jari kakiku. Semua terasa begitu cepat berlalu. Aku selalu membayangkan bahwa hitungan tahun adalah sebuah jumlah hari yang cukup lama. 365 hari. Tetapi rutinitas mampu membuatnya bergerak cepat. Tak terhentikan. Baru kemarin aku melewati gerbang penanda kota watampone. Membayangkan tentang setahun kedepan yang harus aku lalui dengan aman. Membayangkan ribuan jam yang harus aku lalui untuk sampai didetik yang penanda setahunku. “kelak aku pun akan beranjak pergi lagi” batinku. Dan kelak itu Sembilan hari lagi. Sembilan hari yang akan terasa begitu cepat selesai. Sekali lagi rutinitas kerja menikam waktuku.
Baru kemarin kutemui ia. Anak kelas 2 SMP yang beranjak naik kelas 3. Aku berpikir, mungkinkah akan kau lalui masa SMAmu bersamaku. Kemarin telah kudapati seragam putih birunya penuh coretan kelulusan. Dan telah kutemukan jawaban dari tanyaku “aku takkan menemani ratusan hari yang membuatmu beranjak dewasa.tapi setidaknya aku tahu bahwa kau telah memiliki pacar”.
Keputusanku tak berubah. Aku tetap akan beranjak. Hatiku telah berkemas. Tapi setiap kepergian bukankah selalu ada sedih. Bahkan Sri Mulyani sekalipun meninggalkan Depkeu dengan tangisan. Jika aku merunutnya mungkin lebih banyak lelad dan sedih dalam daftar daripada rasa bahagia yang hanya sesekali meletup. Tapi meski kuantitasnya sedikit, tapi ia mampu menyalakan semangatku. Kualitasnya mampu mengimbangi ratusan rasa lelah dan sedih. Jika aku mengandaikan ini sebuah rumah tangga yang berada dalam retak. Kecintaan pada anaklah yang mungkin satu-satunya hal yang mampu membuat keluarga ini bertahan dan tak patah.
Aku mungkin memilih melepaskan diri. Aku akan merindukan teman-teman kantor yang berbagai warna. Merindukan tiap konflik dan masalah yang berusaha dijalani dengan positif. Merindukan ikatan kekeluargaan yang telah terbina dengan nasabah. Meninggalkan mantra dan ramuan yang mampu mematikan sedih dan menyalakan gembira seperti sakelar lampu. Meninggalkan mereka semua memang mampu membuat lubang sedih di hati.
Tapi bukankah pada akhirnya manusia selalu akan menemukan keberimbangan baru. Seperti bumi yang bergejolak dan menemukan keberimbangannya lagi. Aku yakin aku bisa menemukannya. Cukup kujalani saja dengan mantra sakelar lampu….
Comments
Post a Comment