Skip to main content

Ketika Bertemu Bule Yang Pernah Ke Indonesia

Prof Ammarell memainkan harmonika

Setiap jauh dari kampung saya selalu berusaha untuk menemukan hal-hal yang membuat saya merasa dekat dari rumah. Jikalau bertemu orang pasti saya selalu senang jika ia menanyakan saya berasal darimana kemudian dia akan menyambut jawaban saya dengan mengatakan bahwa ia pernah kesana atau punya teman di sana atau hanya sekedar sangat ingin ke sana. Seperti menemukan proximitas geografis yang membuat saya merasa tetap dekat dengan kampung.

Ketika beberapa orang bule  bertanya asal saya, saya hanya akan menjawab dengan datar "i"m from Indonesia". Responnya biasanya hanya sekedar mengangguk. Mereka mungkin hanya sekedar tahu Indonesia. Negara dengan pulau-pulau yang cukup besar. Kemudian ketika mereka bertanya dimana di Indonesia, saya sedikit mengalami kesulitan untuk menjelaskan. Saya tidak berasal dari Jawa apalagi Bali. Saya sangsi mereka mengenal puau bernama Sulawesi.

Tapi ketika bertemu dengan Mama Elliot, rasanya saya begitu senang. Saya sering berjumpa dengannya di Perpustakaan Athens, tapi kami hanya sekedar bertukar "Hi" dan sibuk memperhatikan anak masing-masing. Tapi ketika Ara dan Elliot bermain bersama, maka kesempatan untuk bercakap-cakap lebih terbuka. Muka saya memang sangat asing dibanding para bule-bule yang rata-rata berambut pirang. Ketika ia bertanya asal saya dimana dan saya menjawab Indonesia, ia langsung mengucapkan kalimat yang kurang lebih artinya "sudah kuduga". Saya lantas tersenyum.

Tiba-tiba ia bertanya "tinggal dimana di Indonesia?". Pertanyaan itu mengejutkan saya, bukan hanya karena ia tertarik lebih jauh tentang Indonesia tapi juga karena ia menanyakannya dengan bahasa Indonesia yang fasih. Ketika saya menjawab saya tinggal di sulawesi selatan, ia merespon sambil berkata, ya saya tahu sulawesi. Tapi saya tidak pernah ke sana". Dari percakapan kami saya akhirnya tahu bahwa ia pernah tinggal di Indonesia beberapa saat mengikuti suaminya yang bekerja di NGO. Ia pernah tinggal di Jakarta, berkunjung ke Yogyakarta, dan Bali. Dia senang tinggal di Indonesia. "Tahu bahasa Indonesia?" tanyaku.
"sedikit-sedikit"jawabnya tersenyum.
"how long have u been living in Athens? tanyanya lagi.
"Three months" jawabku.
" baru tiga bulan tapi sudah lancar bahasa Inggris" katanya.
Saya hanya tertawa dan menjawab "little-little" (wkwkwkwwkwkwk.Asli ini karena terpengaruh jawaban ketika dia bilang tahu bahasa Indonesia sedikit-sedikit).

***

Bertemu Prof Gene Ammarell memberikan kejutan rasa tersendiri. Pak Ammarell adalah salah satu professor di Ohio University. Saya bertemu dengannya ketika ia turut hadir dalam acara karaoke night yang diadakan mahasiswa Southeast Asia, Ohio University. Saya cukup takjub melihat seorang professor ikut hadir diacara yang diadakan oleh mahasiswa dengan santai. Hubungan yang terjadi adalah hubungan horizontal bukan hubungan vertikal antara mahasiswa sebagai anak yang diajar dan professor, mahaguru pengajar.

Suami saya menyapa Pak Ammarell dengan bahasa Indonesia. Saya kemudian lebih terpana lagi ketika kak Yusran mengatakan bahwa Pak Ammarell sangat fasih berbahasa Bugis. It was Shocking me. Jauh saya ke Amerika dan menemukan orang yang memiliki perbedaan warna rambut, warna kulit, dan bahasa yang lantas paham bahasa ibu saya. Bahasa yang pertama kali saya dengar. Bahasa lokal yang menjadi pengantar sehari-hari saya. Saya tidak tahu bagaimana meresponnya. Saya bingung henda berbahasa apa pada Pak Ammarell. Berbahasa bugis, Indonesia, ataukah bahasa Inggris.

"Bisa berbahasa Bugis, Pak?" tanya saya ketika bersalaman dengannya. "Cedde-cedde" jawabnya yang berarti sedikit-sedikit. Saya pun lantas ngobrol dengannya. Bahasanya campur antara Indonesia dan Inggris. Mungkin karena saking shocknya, saya tidak tahu harus mengucapkan kalimat apa dalam bahasa Bugis. Beliau adalah penulis buku Navigasi Bugis yang diterbitkan oleh Hasanuddin University Press. Dia cukup tahu kabupaten dimana saya tinggal meski tak pernah ke sana. Ketika ia melihat Ara belajar berdiri, saya menjelaskan padanya bahwa Ara sedang memasuki tahapan "Lerang" dalam bahasa bugis. Lerang berarti berdiri diatas dua kaki tanpa memegang atau bertumpu pada sesuatu. Malam itu Prof Ammarell menyanyikan lagu Sajang Rennu', lagu bugis yang cukup populer di Sulawesi Selatan. Dia benar-benar berbahasa bugis dengan sangat lancar. Dia akhir acara saya sempat mengatakan, I'm so happy to meet u. I'm so proud to know that far away in USA i meet someone who knows how to spea buginese".

Bertemu mama Elliot dan Prof Ammarell membuat saya bangga menjadi Indonesia dan bangga menjadi orang Bugis. Mereka adalah orang-orang asing yang begitu senang datang, berkunjung, dan memperlajari budaya di Indonesia. Mereka begitu mengapresiasi kultur dan tradisi. Indonesia begitu eksotik. Bertemu mereka membuat saya merenung bahwa Indonesia adalah negara yang begitu menarik perhatian. Lantas mengapa saya selalu menganggap luar negeri begitu keren? (*)

Comments

Popular posts from this blog

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling

Speedy Sembuh...Yipppiii!!!!

Akhirnya setelah hampir seminggu tidak pernah online lewat laptop, saya bisa melakukannya sekarang. Jaringan speedyku sudah bagus dan laptop yang bisa dipakai sudah ada. Bagaimana hidup tanpa internet? Hihihiihi, jika tidak bisa mengaksesnya lewat handphone, terutama facebook, maka hampalah duniaku.  Teknologi benar-benar telah membuat saya ketergantungan. Tak bisa hidup tanpanya. Andai tak ada teknologi, mungkin hidup tidaklah begitu galau. Yang jauh tetaplah jauh dan yang dekat tetaplah dekat. Imaginary prince tetaplah menjadi imaginary prince tanpa perlu ia turun ke bumi untuk menjadi pada syata. Tak perlu merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah dimiliki. Dunia tak perlulah menjadi absurd. Dan nyata, maya, dan khayalan punya garis batas jelas di semesta. Internet telah menjadi bagian tak terpisahkan. Ia seperti sandang, pangan, papan, dan internet. Ia menjadi primer. Tak lagi sekunder atau tersier. Apalagi barang mewah. Dan inilah aku ketika bertemu kembali dengan internet. Hat

Kesatria Putih dan Peri Biru

Di sebuah zaman, di negeri antah berantah tersebutlah sebuah kerajaan bernama Koin Emas. Di kerajaan ini semua rakyat rajin bekerja dan pandai menabung. Setiap koin yang dihasilkan dari bekerja setiap harinya disisihkan untuk ditabung untuk masa depan. Sang raja memiliki tempat penyimpanan khusus untuk setiap koin yang disisihkan rakyatnya. Namun terdapat satu koin pusaka yang telah turun temurun diwariskan oleh raja-raja terdahulu. Koin itu diyakini drachma asli dari Dewa yang diturunkan khusus dari langit dan diwariskan untuk menjaga kesejahteraan kerajaan Koin Emas. Koin pusaka tersebut menjadi pelindung kerajaan Koin Emas. Jika koin itu hilang diramalkan kesejahteraan di kerajaan Koin Emas akan berubah menjadi kesengsaraan. Koin itu pun dinilai memiliki khasiat mampu member kekuatan dan kekuasaan bagi yang memilikinya. Raja begitu menjaga pusaka tersebut. Ia takut jika koin pusaka itu hilang atau dicuri. Hingga suatu hari kedamaian di kerajaan itu terganggu. Seekor Naga Merah m