Skip to main content

Menunggu


Aku menunggumu dalam diam. Menanti saat seolah-olah tak sengaja agar bias terhubung denganmu. Sebuah laku yang sudah tak pantas lagi aku lakukan. Seperti dulu. Ketika aku betul-betul menginginkan sesuatu aku mampu melakukan hal-hal bodoh. Ngotot untuk memilikinya. Seperti itukah yang kulakuan padamu sekarang.

Diam-diam seolah angkuh. Berusaha tak memedulikanmu padahal seluruh duniaku mengorbit padamu. Namun tak pernah benar-benar setia dengan janji hati. Karena kata hatiku menginginkan tetap pada lintasan yang telah kau buat. Seperti bermain-main dengan hati. Aku sangat sadar bahwa rasa ini adalah rasa yang mengambang di awan. Aku sangat yakin setelah ini berlalu hempasan saat bercumbu dibumi karena tarik gravitasinya mampu membuatku berdarah. Menyadarkanku bahwa aku hanyalah manusia. Dan kau adalah serupa pangeran dalam cerita dongeng yang tak pernah benar-benar ada.

Semua ini hanya ilusi. Tapi aku telah kecanduan padamu. Aku ingin sembuh dari rasa ini. Rasa yang membelitku pada waktu dan tempat yang tak seharusnya. Mencintaimu mungkin adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang mampu membuatku untuk kembali pada sebuah bab pembelajaran bahwa cinta tak selamanya memiliki.

Pembelajaran yang aku pahami tapi selalu aku langgar. Konsekuensinya adalah aku akan sakit karena rasa ini. Efek bahagia begitu hebat hingga aku tak lagi peduli pada sakit yang kelak timbul. Kau benar-benar serupa zat Psikotropika yang memberikan bahagia sesaat dan kemudian meninggalkan bekas yang menyakitkan.

Rasa pada akhirnya aku yakini akan terkikis oleh waktu. Karena keyakinan itu aku menikmati bahagia ini. Tapi sakitnya pun mulai terasa. Aku sudah harus mengucap selamat tinggal dengan diam. Perlahan melepaskan ikatan rasa ini. Aku bukanlah Houdini yang begitu hebat melepaskan diri seketika. Tapi sakit ini tak tertahan. Aku tak lagi bisa membedakan rasa bahagia atau sedih. Kadang infuls rasaku mengartikannya berbeda.

Aku menyerah. Pergilah jauh-jauh. Seperti banyak rasa yang telah memadat dan terlempar seperti kerikil. Tapi biar kubungkus dulu rasa ini dengan baik-baik. Seperti itulah caraku memerangkapmu dalam sebuah keegoisan. Seperti itulah aku memaknai cinta yang memiliki. Biarkan hanya aku saja yang menyimpannya. Tak perlu dirimu .Kamu tak perlu repot untuk itu. Terima kasih(*)

Foto : http://damadama.files.wordpress.com

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...