Beda dengan Jakarta yang transportasi becak sudah dihapus sejak zaman orde baru, di Makassar becak masih bisa kau temui di ruas-ruas jalan yang agak susah atau jarang dilalui angkot yang lebih dikenal dengan nama pete-pete. Di pertigaan Jl.Abd. Dg. Sirua, daerah Paccerakkang Daya, di ujung Jl. Pettarani. Di Cendrawasih,di sekitar Tamalanrea. Sepanjang jalan sangat mudah menemukan kendaraan roda tiga bertenaga manusia ini. Kemarin (13/06) aku harus ke rumah ponakanku di Jl.Dg Tata 1.
Ada dua alternatif untuk ke sana. Menggunakan pete-pete dari arah kampus yang bernomor 02 dengan catatan nyambung Pete-pete lagi untuk sampai di Dg. Tata Raya. Aku tak memilih opsi tersebut. Aku tak tahu setelah Pete-pete 02 harus naik Pete-pete arah mana lagi. Tidak tahu juga harus turun di mana.
Alternatif kedua yaitu naik Pete-pete 07 sampai ujung Pettarani, di kantor Telkom. Selanjutnya menggunakan becak lewat Jl. Manuruki. Aku memilih alternatif ini. Berangkatlah aku dengan semangat 45 dengan destinasi Dg.Tata. Naik pete-pete 07, turun di Kantor Telkom. Menawar Becak dan sampai deh. Tampak mudah. Tapi ternyata tak segampang yang aku duga. Di ujung Pettarani aku bertemu dengan puluhan tukang becak yang menawarkan jasanya. Untuk naik becak, negolah terlebih dahulu harga hingga tujuan. Karena ketika belum ada kesepakatan harga lantas andatelah menggunakan jasanya, bersiaplah membayar yang sesuai yang mereka minta. No Bargain anymore!
Berdasar pada itulah aku melakukan penawaran tarif becak. Tukang becak yang aku tanyai berumur sekitar 25 tahun. Malah lebih muda. Sepertinya seumuran aku. Aku menyebutkan tujuanku. Komp.Dg.Tata 1 Indah.
“Rp.13.000” katanya memberi harga.
“Nda salah tuh. Mahal sekali. Kemarin juga kesana agak malam malah cuma bayar Rp.6000” kataku.Si anak muda itu tetap ngotot. Jauh katanya. Aku juga ngotot dengan harga penawaranku.
“ Rp.8000 deh” katanya. Aku masih nda mau. Tetap dengan harga 6000.
“Rp. 7000. Kasi naik mi 1000” katanya lagi.
“Kalo nda mau jangan mi deh pak” kataku sambil berpura-pura pergi. Trik ini aku pelajari dari mamaku. Jika kamu menawar barang dan tidak mendapatkan harga deal, pura-puralah pergi. Dan, it works.
“Naik miki"katanya sambil kecewa. Aku menyeringai dengan penuh kemenangan.
Tapi ternyata tukang becak muda itu memendam kekecewaan yang begitu berat. Ia mengebut becaknya. Secara, tubuhnya masih kuat dan aku adalah penumpang dengan bobot 49 kg. Di pertigaan jl.Alaudin dan Jl Pettarani traffic light menyala merah. Sang tukang becak tetap saja mengayuh becaknya dengan cepat. Menerobos lampu merah. Menerobos lalu lintas yang menuju arah Alaudin.
“Oh, Tuhan. Aku belum menikah. Tolong selamatkan aku”doaku. Tak sampai di situ saja. Manuver si tukang becak itu makin menjadi. Di jalan Manuruki yang sangat sempit dan penuh kendaraan dengan cueknya dia mengayuh becaknya dengan full power. Menukik di tikungan tajam dan tak ngerem saat ada lubang di jalan. Aku hanya bisa berpegangan. Dan berdoa agar tidak terlempar dari becak.
Hingga akhirnya aku tiba di gapura kompleks perumahan Dg. Tata 1 Indah. Thank God. Tapi mungkin karena tukang becaknya benar-benar jengkel padaku dia tidak mengantarku hingga depan rumah ponakanku seperti tukang becak yang lain. Dia menghentikan becaknya di depan pintu gerbang. Mau tak mau aku turun saja. Menyodorkan uang Rp.6000 tanpa mengucap terima kasih.
Pesan moralnya dari kejadiaan ini adalah jangan memilih tukang becak yang masih keliatan muda. Pilihlah bapak-bapak yang sudah tua. Yang tak mampu mengayuh cepat-cepat. Mereka pun biasanya lebih manusiawi ngasih harga. Kamu bisa menikmati perjalanan naik becakmu, tidak menguras dompetmu, dan tak perlu berpegangan kuat-kuat.
(Foto : Pak kuasang, tukang becak langganan waktu kuliah. Dia baik hati. Foto taken by Dwi:)
Comments
Post a Comment