Skip to main content

The Day Without Monday


Aku memulai hari tanpa senin. Kujadikan status di jejaring facebookku. Banyak yang memberi komentar. Ada yang mengatakan “selamat ya”, ada juga yang mengatakan “kau akan merindukannya”.

Aku mengucapkan selamat tinggal pada rutinitas senin pagi yang kumulai dari rumahdi bengo. Menuju kota watampone. Meninggalkan rutinitas bangun pukul 5 pagi. Menyiapkan semua perlengkapanku dengan terburu. Menunggui angkot yang setia mengantarku ke bone.
Menikmati pagi yang menyenangkan di sepanjang jalan. Menikmati tiap awan-awan rendah yang membuatku serasa berada di negeri atas langit. Serupa bidadari yang bermain di atas awan.

Aku mengucapkan selamat tinggal pada stoking, make up, cepol, dan segala hal yang kugunakan untuk menyempurnakan dandananku. Meski pada akhirnya ku tetap tak percaya diri dengan semua itu. Aku mengucapkan selamat tinggal pada rutinitas kerja yang menemaniku setahun ini.

Mengucapkan selamat tinggal pada aturan perusahaan yang sangat jelas dengan konsekuensi yang sama jelasnya. Meninggalkan yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan dalam kacamata sebuah corporate.

Hari ini adalah hari dimana aku tak memulai senin dengan cara biasa. Hari ini adalah titik nol yang lain yang harus kujalani. aku menggunakan aturanku sendiri.The rules of Anarkhi. Aturan yang datang dari dan untukku sendiri. Apakah akan lebih gampang ? Kupikir ini akan lebih sulit. Aturan yang menjadi petaku adalah aturan yang aku buat sendiri. Segala pelanggaran dan perintah tergantung padaku. Tergantung bagaimana aku menyikapi semuanya. Apakah aku bisa begitu tegas pada diriku sendiri, atau aku terlena dengan aturanku sendiri.Sebuah tantangan lain yang harus aku kalahkan.

Senin ini kumulai dengan ritme yang lain. Dengan segepok tas yang harus aku bawa menuju makassar. Tanah yang dijanjikan? Bukan, ia adalah tempat singgah yang lain. Tempat singgah yang akan menjadi tempatku menyelesaikan sulaman yang tersisa. Menyelesaikannya dan memulai sulaman di tempat lain lagi.

Kali ini rasanya benar-benar kutinggalkan tepat yang kusebut rumah ini. Baru kali ini rasanya aku tak yakin akan pulang dalam waktu dekat. Ritme yang berjalan tetap tergesa-gesa. Hanya saja dengan nada yang lain. “Kau akan meninggalkanku “Kata Etta. Ya, mungkin kali ini rasanya benar-benar akan meninggalkanmu. Maafkan aku.

Aku sempat ragu untuk tiap mimpi yang berusaha aku bangun di bumi. Aku seperti seseorang yang kehilangan arah. Banyak yang memercayai bahwa aku mampu menjejakkan mimpi itu di bumi. Hanya saja kali ini aku benar-benar bimbang akan itu.

“Semua mimpi besar dimulai dari langkah-langkah kecil.Semua buku selalu dimuali dari lembar pertama. Kamu hanya butuh memulai”
“Anything is possible dear”
“Absolutely I trust on U”

Semua mempercayaiku. Hanya saja aku tak yakin pada kemampuanku saat ini. Seseorang berkata “Sayang, kamu sudah tahu jelas mau kemana. Dan banyak orang yang mendukungmu. Kamu merasa seperti ini karena baru sadar kalo sudah tak ada rutinitas yang menunggumu minggu depan. Kamu butuh mment sendri untuk terima kenyataan. Setiap orang melalui itu.So, don’t be Sad Dear. Cheer Up”.

Yah, mungkin penjelasan rasa ini adalah perubahan itu. Seperti katamu aku harus berbahagia.
Akan kutemukan banyak remah-remah coklat diperjalanan ini. Akan kutemukan banyak lagi teman yang tak kalah menyenangkannya.Kelak akan ada lagi hari senin yang lain. Hari senin yang sama menyenangkannya. Aku mencoba berdamai dengan hati. Minggu ini terasa begitu sedih. Terlalu banyak selamat tinggal yang terucap. Tapi seperti inilah dunia berjalan. Bye(*)

Comments

Popular posts from this blog

Ara Belajar Ngomong

Serius Nulis Ara mulai suka ngoceh. Ada saja suara keluar dari mulutnya. Kadang jelas kadang juga tidak. Beberapa berhasil saya terjemahkan maksudnya. Beberapa mengalami missunderstand berujung pada rengekan atau aksi menarik tangan. Selain nonton lagu anak-anak, beberapa film anak-anak yang menurut saya cukup edukatif menjadi pilihan tontonannya. Saya memutarkan film Blue's Clues, Super Why, hingga Pocoyo. Serial Blue's Clues sudah kami tonton semua. Mulai dari sang pemilik Blue bernama Steve hingga beralih ke Joe adiknya di serial itu. Yang paling nyantol di kepalanya Ara adalah kata "think" sambil telunjuk memegang dahi. Itulah kata pertama yang ia ucapkan secara jelas setelah kata Mama dan Ayah. Entah kenapa kata ini yang melekat di kepalanya. Mungkin karena si Steve sangat aktraktif menyanyikan lagu jingle Blue's Clues terlebih dibagian "Sit down in thinking chair. Think, think, think". Ara juga suka bagian ketika surat datang. Dia akan i...

Kamu 9 Bulan dan Kita "Bertengkar"

Kamu 9 bulan. Apa yang kamu bisa? Merayap dengan gesit. Berguling-guling ke sana kemari. Duduk sendiri sekehendakmu. Tempat tidur telah kita preteli. Yang bersisa hanyalah kasur alas tidur kita yang melekat di lantai. Agar kamu bebas berguling dan merayap tanpa perlu khawatir gaya tarik bumi menarikmu. Hobiku adalah membiarkanmu bermain di lantai. Dari kasur turun ke ubin dingin. Sesekali memakai tikar, tapi akhir-akhir ini aku malas melakukannya. Lagian daya jangkaumu lebih luas dari tikar 2 x 2 meter. Kamu masuk hingga ke kolong meja. Tak tahu mencari apa. Tak jarang kamu membenturkan kepalamu. Di ubin atau dimana saja. Kubiarkan. Ukuranku adalah jika tidak membuatmu menangis artinya kamu tidak merasa sakit. Sakit itu ditentukan oleh diri sendiri. Saya hanya tak ingin memanjakanmu dengan mengasihimu untuk sebuah sakit yang bisa kamu hadapi sendiri. Mama keras padamu? Bisa jadi. Kamu mulai banyak keinginan. Mulai memperjuangkan egomu. Menangis jika Khanza merebut mainan dari tanganmu....

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...