Skip to main content

Meet Esti Maharani

Baru saja saya menghempaskan tubuh di kasur di rumah kakakku yang beralamat Sudiang setelah menempuh waktu 4 jam dari Bone ketika saya menerima pesan text darinya. "Dwi, saya lagi di Makassar. Kamu di mana?" pengirim Esti PJTL 2006. Kubalas segera "Saya juga di Makassar. Kamu dimana?". Dan berbalas-balas smslah kami. Ia menjelaskan bahwa ia baru saja mendarat dan on the way menuju hotel tempatnya menginap. Ia sedang ada liputan musik di Makassar. Wah, sebuah kebetulan yang kemudian membawa kami berada di kota yang sama di waktu yang bersamaan.

Esti Maharani, saya mengenalnya 5 tahun yang lalu. Disebuah pelatihan jurnalistik tingkat lanjut (PJTL) yang diadakan oleh Universitas Udayana, Bali. Kami sekamar. Anaknya ramah, suka tersenyum, dan chubby. Saat itu ia mewakili Majalah Balairung, Universitas Gajah Mada dan saya mewakili UKM Pers Universitas Hasanuddin. Dua minggu kami belajar tentang reportase lanjutan bersama rekan-rekan dari universitas lain. Setelah itu kami tak pernah bertemu lagi. Hingga 5 tahun.

Beberapa waktu lalu saat ia ke Makassar untuk liputan musik salah satu band Indonesia, kami akhirnya bertemu kembali. Sekarang ia menjadi wartawan Republika. Ia tidak berubah banyak, masih saja tetap ramai, ramah, dan chubby. Kami bertukar cerita, ia menceritakan pengalamannya menjadi wartawan yang ngepos di DPR. Menceritakan tentang banyaknya amplop yang bisa diperoleh oleh wartawan-wartawan nakal yang bersatuan dollar. Tentang tulisan-tulisannya yang dipuji oleh anggota dewan. "Jadi, menjadi wartawan itu gimana?"tanyaku. "Menyenangkan" jawabnya mantap.

Saya pun berbagi kisah tentang keluarga dan bayi mungil saya. Menceritakan kebiasaan orang-orang di Makassar. Ia cukup heran mendengar sapaan kepada para pelayan-pelayan restoran akrab dipanggil Mas dan Mbak. Ia heran mengapa tidak dipanggil daeng. " Daeng disini hanya dipakai untuk tukang becak" jelasku sambil tersenyum. Ara yang saat itu tertidur dipangkuan Esti tidak keberatan meskipun kami cekikikan sampai tertawa keras. Ketika ia menanyakan nama lengkap Ara, tiba-tiba mimic wajahnya berubah. "Wah, Saraswati. Padahal saya niat juga ngasih nama Saraswati buat anak saya" katanya. Saya sedikit terkejut dengan itu. Saya pikir hanya saya orang yang sedikit kolot memberi nama yang begitu "biasa" kepada anak saya ditengah trend nama-nama serupa tokoh-tokoh di sinetron. Sederhana saja ia menjelaskan karena namanya berasal dari bahasa Sansekerta dan ia pun ingin nama anaknya dari bahasa Sansekerta.

Ia pun lantas menjelaskan makna namanya yang baru ia tahun saat kuliah semester 2. Esti berarti kebaikan, ramah, dan juga bermakna gajah. Ups…ketiga makna itu cocok buatnya. (hehehehe, no hurt feeling, Esti). Ketika saya menjelaskan nama lengkap dari Ara, dia Cuma berkomentar, namanya berat. Hahahaha. Nama adalah doa agar Ara menjadi baik.

Waktu berjalan begitu cepat dan rasanya tak ingin pulang. Tapi akhirnya kami pun kembali berpisah. At least kami telah kembali merefresh pertemanan kami. Kupikir, sebuah pertemuan tak perlulah direncanakan. Kelak jika berjodoh, Tuhan akan mempertemukan dua orang dipersimpangan jalan.

Nice to meet u (again), Esti…

Comments

Popular posts from this blog

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling

Speedy Sembuh...Yipppiii!!!!

Akhirnya setelah hampir seminggu tidak pernah online lewat laptop, saya bisa melakukannya sekarang. Jaringan speedyku sudah bagus dan laptop yang bisa dipakai sudah ada. Bagaimana hidup tanpa internet? Hihihiihi, jika tidak bisa mengaksesnya lewat handphone, terutama facebook, maka hampalah duniaku.  Teknologi benar-benar telah membuat saya ketergantungan. Tak bisa hidup tanpanya. Andai tak ada teknologi, mungkin hidup tidaklah begitu galau. Yang jauh tetaplah jauh dan yang dekat tetaplah dekat. Imaginary prince tetaplah menjadi imaginary prince tanpa perlu ia turun ke bumi untuk menjadi pada syata. Tak perlu merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah dimiliki. Dunia tak perlulah menjadi absurd. Dan nyata, maya, dan khayalan punya garis batas jelas di semesta. Internet telah menjadi bagian tak terpisahkan. Ia seperti sandang, pangan, papan, dan internet. Ia menjadi primer. Tak lagi sekunder atau tersier. Apalagi barang mewah. Dan inilah aku ketika bertemu kembali dengan internet. Hat

Kami Menonton Titanic

Film Titanic salah satu film yang tercatat di dalam sejarah perfilman dunia. Film besutan James Cameron tahun 1997 menggondol 11 piala oscar dari 14 nominasi yang disabetnya. Waktu film Titanic yang diperankan oleh Leonardo De Caprio dan Kate Winslet ini booming, saat itu saya duduk di kelas enam SD. Setiap hari saya menonton soundtracknya di MTV. My heart will go on, Celine Dion. Karena terlalu sering dengar saya sampai menghapal lagunya. Saya sangat ingin menonton film yang diangkat dari cerita nyata tentang tenggelamnya kapal mewah Titanic. Saat itu, kakak Anti sudah kuliah dan kakak Ipah kelas 3 SMA. Mereka berdua menonton film itu dan tidak mengajak saya. Catatan harian SMPku merekam keinginanku untul menonton film itu. Poor Me. Karena saya masih SD, ini film dewasa, dan pastinya saya tinggal di kampung. Dan Titanic hanyalah menjadi film yang tak pernah selesai saya tonton sekalipun telah diputar stasiun televisi swasta dan DVD bajakannya beredar luas. Menyambut 100 tahun tenggela