Skip to main content

Nonton The Hobbit (Bareng Ara) : The Unexpected Journey

The Hobbit
Terakhir ke bioskop seingat saya pas nonton The Bourne Legacy di Pejaten Village 5 bulan yang lalu, sebelum ke Amerika. Waktu itu Ara masih setahun. Belum terlalu cerewet, lincah, dan jadwal tidur masih lumayan teratur. Ke bioskop, dia tinggal dinenenin aja, bobo deh. Tapi waktu terakhir itu dia udah mulai ribut. Sepanjang nonton yang saya tungguin adalah kapan filmnya selesai.

 Sejak di Athens, mengunjungi bioskop adalah aktivitas yang tak pernah saya lakukan lagi. Saya menjadikan Netflix sebagai bioskop pribadi saya dimana saya bisa memilih film apa saja dan sangat fleksibel. Bisa sambil tiduran, main-main sama Ara, atau sambil ngemil segala macam cemilan. Hehehehe. Murah meriah pula.

Ke bioskop adalah rekreasi yang perlu pertimbangan matang. Pertama, karcis nonton yang cukup mahal, 5 Dollar untuk film biasa, 7 dollar untuk 3D. Kedua, menyesuaikan waktu nonton dan waktu bus terakhir yang beroperasi. Di sini, Bus Athens Transit paling terakhir jam 6.30 sore. Jadi lewat dari jam itu nda ada transportasi umum lagi. Kalo nekat ya, harus minta tolong ke teman buat nonton. Ketiga, menyesuaikan dengan waktu tidur Ara, jadi pas nonton pas Ara tidur biar tidak terganggu.

Makanya beberapa film yang kalo di Indonesia bakal saya nonton, tapi kalo di Athens nda menjadi seuatu yang saya uber. Sky Fallnya James Bond, Breaking Dawn, Life of Pi, semua dilewatkan. Nunggu Originalnya yang bisa di download saja.

Tapi ketika The Hobbit tayang di Athena Grand, Athens. No excuse. Film ini masuk dalam daftar film wajib nonton. Maka berangkatlah saya, Kak Yusran, Mas Iqra (yang datang berkunjung ke Athens), dan tidak ketinggalan Ara ke Athena Grand. Pukul 3 sore, naik bus diiringi rintik hujan musim dingin. Hahahahaa...demi Bilbo Baggins.

Athena Grand, Athens

Athena Grand adalah satu dari dua bioskop di Athens, Ohio. Yang satunya lagi ada di Nelsonville, kampung tetangga.  Biasanya kalo lewat di depan bioskop ini, mobil yang parkir bisa dihitung jari. Entah mungkin karena ini musim libur atau karena yang tayang adalah The Hobbit, parkiran mobil cukup penuh. Setahu saya, waktu tayang untuk film pun biasanya sore hari. Tapi kemarin ada yang tayang jam 1 siang.

Ada permen kapas dijual di bioskop ini. Tak lupa popcorn yang bisa ditambahkan dengan berbagai bumbu. Mulai dari berbeque, mayonaise, madu, hingga mustard. Permainan anak-anak, game, dan standing character film yang tayang. Jadi bisa numpang narsis. Sayangnya, tak ada standing character untuk film The Hobbit. Tak ada nomor kursi di tiket yang dibeli. Jadi tinggal masuk dan pilih tempat duduk sendiri. Siapa cepat, dia dapat tempat duduk strategis. Tak ada juga  suara Mbak-mbak cantik yang mengumumkan kalo film sudah akan dimulai dan sudah boleh masuk ke theater. Filmnya tepat waktu. Kalo tayang 4. 15 sore, maka masuklah sebelum jam itu. Pengganti mbak-mbaknya adalah layar monitor di dekat theater dengan running text The Hobbit 4.15.... Now Seating.

Tak ada juga mbak-mbak cantik yang menunggu di depan pintu theater dan merobek karcis. Hanya ada satu yang berdiri di lorong masuk ke theater untuk semua film. Ia akan merobek karcismu sembari terlebih dahulu bilang kalo kacamata 3D yang telah dipakai harap dibuang di kotak besar bertulisan Recycle.

Di lorong theater itu sangat kurang poster film. Tak ada angka bertuliskan nomor theaternya. Jadi ada kemungkinan beli nyasar masuk theater dengan film lain. Sekali lagi Minitor mini yang ada menggantung di langit-langit adalah satu-satunya petunjuk. Saya pikir poster film The Hobbit, bakal ada di dekat theater dua tempat kami nonton, nyatanya tidak ada. Gagal deh narsis-narsisan depan poster film.
Tiket The Hobbit, Nda ada nomor kursi kan

Ada dua pintu masuk yang bisa dipilih. Satu menuju ke kursi tengah ke atas. Satunya lagi dari kursi paling bawah ke tengah. Untungnya kami masuk lewat pintu dari tengah ke atas dan mendapat tempat duduk lumayan strategis. Pukul 4. 05 theater mulai penuh. Banyak yang mau nonton The Hobbit. Kalo di bioskop Makassar, rata-rata penghuni bioskop adalah mahasiswa sedangkan kalo di sini para orang tua pun gemar nonton film. Kacamata 3Dnya dibagi saat membeli karcis. Seperti kacamata biasa, tidak segede kacamata 3D di Makassar. Dibungkus plastik kayak mainan.

Iklan-iklan sebelum film diputar adalah iklan lokal toko-toko di Athens, mengingatkan saya pada iklan Kepolisian Makassar Timur di Makassar. Para penonton pun sangat tahu adab menonton. Tak ada suara ngobrol apalagi bunyi handphone yang ribut.

Bareng Ara, The Unexpected Journey

Saat Ara tertidur di bus saya berpikir dia akan tidur lama. Nyatanya standar lama buatnya cukup singkat hingga kami duduk di dalam theater dan menunggu film diputar. Ia sudah terbangun. Melongok kiri kanan melihat keadaan.

Film The Hobbit adalah Prekuel dari Lord Of The Ring. Menceritakan petualangan Bilbo Baggins kala ia muda dan bagaimana ia menemukan cincin bertuah itu. Ia tergabung dalam petulangan para Dwarf yang berusaha merebut kerajaan mereka yang ditaklukkan oleh Naga. Seperti itulah gambaran besar ceritanya. Saya tidak terlalu mengikuti. Tak ada subtitle Inggrisnya apalagi Indonesia. Sejak pertama film diputar saya pun bertualang dengan Ara.

Beberapa menit awal ia memperhatikan film sembari saya menyuapkan popcorn satu-satu. Dalam hati berharap semoga popcorn ini cukup membuatnya tenang hingga akhir film. Satu jam pertama ia cukup tenang. Berikutnya ia mulai membandingkan gambar di layar dengan gambar yang tersorot dari kamar kontrol film. Ia memperhatikan seksama keduanya. Mungkin ia membedakan mengapa satu gambarnya kecil trus dilayar yang gede gambarnya tiba-tiba besar. Lama ia bolak balik ke depan ke belakang. Kemudian ia menyusu sebentar. Setelah itu mulai bosan dan mulai mengeluarkan gumaman. Ia mengambil kacamata yang kupasang. Memainkannya. Membuangnya ke lantai.

Hobbit Movie Set

Beberapa saat saya menonton film 3D itu tanpa kacamata (Padahal setelah tidak fokus pada cerita karena Ara dan tidak adanya subtitle, efek 3D satu-satunya alasan membuat saya bertahan nonton). Kemudian dia mulai membuka sepatunya. Terus kaos kakinya. Lantas kemudian meminta dipangku oleh ayahnya dan kembali lagi ke saya. Kacamata 3D yang dia buang ke lantai saya pungut. Di bawah lantai bioskop sangat kotor. Masih lebih bersih bioskop di Makassar. Kacamatanya terpaksa saya bersihkan pake kain, tapi itu malah bikin layarnya buram. Efek 3Dnya jadi aneh.  Saya melihat efek 3d yang sering saya lihat di Makassar, tidak maksimal. Ternyata selama ini yang efek 3D yang tidak sempurna adalah pada layar kacamata yang buram.

Dua jam berlalu, Ara sudah berada ditingkat kebosanan tinggi. Mulai mengeluarkan suara yang cukup ribut. Mulai ingin turun dari pangkuan dan berjalan. Terpaksa ayahnya harus mengalah. Keluar bioskop dan menemaninya main-main. Padahal filmnya masih tersisa sejam. Sejam yang sangat seru. Karena di scene-scene itulah para dwarf dan Hobbit itu berjuang menyelamatkan diri. Untungnya sebelum Ara keluar saya mengambil kacamata ayahnya yang masih bagus. Saya menikmati satu jam terakhir  The Hobbit dengan citra 3D yang sangat bagus dan merdeka dari Ara. Hahahaahaha. 

Efek 3D  The Hobbit memang keren. Visualisasi alam indahnya mengingatkan saya pada Avatar. Tapi sayangnya saya sepertinya masih lebih suka LOTR daripada The Hobbit. Mungkin karena ceritanya cukup sederhana. Tak ada kisah percintaan di sini. Jangan harap ada cowok macho seperti Aragorn, Legolas pun kayaknya tidak tertangkap oleh mataku. Padahal kabarnya, karakter cowok cantik itu muncul di film ini. Lawannya pun naga, mirip cerita Peribiru karanganku. Hihihihhihi.
New Zealand!!!!!!!

Sebelum keluar dari bioskop saya pun harus memunguti sepatu dan kaos kakinya Ara yang entah ada dimana dalam kegelapan. Soalnya lampu bioskopnya belum dinyalakan meski film sudah selesai.  Di luar Ara sudah duduk di atas mainan mobil-mobil. Tertawa senang. Dia berhasil mengerjai saya dan ayahnya.

Pelajaran nonton kali ini adalah Ara tidak lagi bisa diajak nonton ke bioskop. Kalo mau nonton kayaknya perlu pembagian waktu khusus untuk menjaga Ara. Nda boleh nonton bareng lagi sama bapaknya. (Ga bisa pacaran lagi deh.Hiks). Nonton harus memperhatikan waktu bus beroperasi atau siapkan nomor kontak teman yang bisa dihubungi. Karena ternyata kami harus minta Erik menjemput karena bus sudah nda ada.

Nonton bareng sama Ara rasanya seperti judul The Hobbit : The Unexpected Journey. Hmmm satu lagi, habis nonton The Hobbit saya memasukkan New Zealand sebagai negara impian. Huaaaaaa....cantik!!!!!


Comments

Popular posts from this blog

Hunger Games : The Mockingjay Part 2, Pertempuran Akhir Sang Mockingjay

Film dibuka dengan tokoh Katniss Everdeen yang sedang cedera leher. Pita suaranya membengkak dan ia mencoba untuk berbicara. Di akhir film Mockingjay Part 1, Katniss memandang dari jendela kaca menyaksikan Peeta histeris, berteriak ingin membunuhnya. Otaknya telah dicuci oleh orang-orang Capitol, Presiden Snow.  Kemudian cerita bergulir ke rencana untuk merebut Capitol dan menyatukan seluruh Distrik. Propaganda-propaganda yang berusaha dibuat oleh kedua belah pihak yang bertikai untuk meraih simpati dari Distrik-distrik yang belum dikuasai.  Hingga kemudian para pemenang yang menjadi prajurit tergabung dalam satu unit untuk membuat propaganda selanjutnya. Sayangnya Presiden Snow menjebak mereka masuk dalam Capitol dan menyerang mereka dengan mutan-mutan ciptaan Gamemaker.  Jika kamu tipe penonton yang menyukai aksi tembak menembak, berkelahi, dan penggemar setia Hunger Games maka film terakhir ini mampu memuaskan ekspetasimu. Jennifer Lawrence berhasil membawa tokoh Katni...

Fifty Shades Of Grey, Book VS Movie

Fifty Shades Of Grey diterbitkan pada 2011 dan menjadi buku paling laris serta bersaing dengan buku  Harry Potter dari sisi penjualan.  Buku karangan EL. James ini terjual 125 juga eksamplar di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke 52 bahasa.  Buku yang masuk dalam genre erotic romantic ini bercerita tentang Anastasia Steele yang jatuh cinta pada Christian Grey, pebisnis muda yang sukses. Sayangnya, Grey memiliki masa lalu yang kelam dan perilaku sexual yang tidak umum.  Menurut penilaian saya, sexualitas yang tidak biasa inilah yang membuat buku ini menjadi best seller. Banyak novel-novel romantis yang melibatkan sex di dalamnya, namun Fifty Shades of Grey ini menyajikan perilaku Submassive/Dominant yang agak sadis namun erotis.  Buku ini kemudian diangkat ke layar lebar pada Juni 2015. Diperankan oleh Jamie Dorman dan Dakota Jhonson. Kedua cukup berhasil membawa karakter Mr. Grey dan Ms.Steele. Meski ketika menonton film ini membuat saya kepikiran film Twil...

Pisang Ijo Penuh Drama

Kuliner dari Makassar yang satu ini adalah kuliner yang lumayan susah saya taklukkan. Padahal setiap bulan puasa waktu kecil, saya membantu mama membuatnya untuk ta'jil. Yup, pisang ijo atau yang lebih dikenal dengan nama es pisang ijo.  Makanan khas Sulawesi Selatan ini agak ambigu. Di daftar menu di warung-warung Makassar ia selalu ditempatkan pada deretan minuman. Sedangkan secara de facto dirinya adalah makanan. Maka saya bingung ketika orang memesan makanan utama kemudian memesan es pisang ijo sebagai minumannya. Buat gue kuliner ini masuk kategori makanan.  Beberapa evolusi yang menyebabkan ia dikategorikan sebagai minuman adalah pertama, penambahan kata "es" di depan namanya. Kalo di  Bengo, kampung saya, dan tradisi yang ada dikeluarga saya pisang ijo adalah pisang ijo tanpa penambahan kata es. Kedua, semakin komersil kuliner ini berbanding lurus dengan jumlah esnya. Di kampung mamaku biasanya menyajikan pisang ijo, kuahnya, dan sebongkah es batu kecil. Hanya sek...