Skip to main content

Long Journey To Athens, OH Washington Dulles Colombus (Part III)

Her New Friend in Washington Dulles



Pesawat pun landing di Washington Dulles. Tak ada pramugari yang memintaku untuk menunggunya. Tak ada asisten kali. Kali ini saya sendirian yang harus mencari jalan menuju imigrasi dan gate mana yang akan membawa saya ke OHIO. Pukul 10 pagi di Washington. Sepuluh malam di Indonesia. Ara sudah berada pada titik ngantuknya. Tapi anak itu masih saja sabar. Saya pun sudah sangat mengantuk. Tapi harus terus bergerak. Waktu transit sangat sempit. Dan para penumpang harus melalui imigrasi.

Penumpang pesawat yang saya tumpangi semua mengarah ke pemeriksaan imigrasi. Hanya dibedakan pada penumpang yang berhenti di Washington atau yang akan terus melanjutkan perjalanan ke negara bagian yang lain. Saya pun mengikuti jalur penumpang transit. Membawa satu ransel, satu tas selempang, mendorong Ara di strollernya. Menggunakan bus yang mengantar ke imigrasi. Sedikit tersendat ketika saya harus menuruni escalator dan harus menggendong Ara, melipat strollernya, dan mengangkat tasku. Saya kurang lincah untuk tetap mendudukkan Ara distroller sambil turun di escalator. Dan jadinya saya berada di antrian paling belakang imigrasi. Saya mengisi dua lagi lembar putih untuk saya dan Ara. Form 1-94 kalo nda salah. Harus diisi jika penumpang memiliki visa.

Saat ngantri Ara sudah tiba pada titik bosannya. Mulai merengek-rengek. Tapi perhatiannya masih bisa saya alihkan dengan memberinya mainan.Sekitar 45 menit saya harus menunggu hingga tiba giliranku ditanyai oleh officernya. Pria yang kuduga memiliki keturunan Asia. Dia sangat berhati-hati saat mengecek semua penumpangnya. Dari semua petugas yang ada disitu, antriannyalah yang paling lama.  Saya menjadi orang yang terakhir yang ia wawancara dan orang terakhir di ruangan itu. Jam 12 siang. Pesawatku menuju Culombus adalah 12. 35. Ara menangis sesunggukan. Saya tak bisa menggendongnya. “saya mencoba secepat yang saya bisa” kata petugas itu. Beberapa menit kemudian ia menyelesaikan tugasnya dan berkata “have a good day”.

Keluar dari imigrasi bagasiku menunggu. Saya pun kembali mendorong koper itu dalam trolley. Seorang petugas menghampiriku dan mengatakan bahwa trolynya hanya bisa dipakai sampai 10 meter ke depan karena setelahnya ada pemeriksaan lagi. Tapi seorang petugas membantuku mendorong bagasiku yang kemudian entah kemana koper itu menghilang. Saya kembali harus melalui pemeriksaan ketat. Ditanyai membawa makanan ke Amerika atau tidak. Setelah semua itu saya pun harus berlari mencari arah gate dimana saya harus boarding. D6 tertulis di boarding passku.

Bandara Washington Dulles membingungkan. Terlalu banyak gate. Dan saya harus berlari mendorong stroller Ara secepat mungkin. Mengejar pesawat. Mencari gate yang entah di mana. Rasanya tidak menjejak di bumi. Pikiranku melayang. Kondisi tubuh pun tidak terlalu fit. Ini tengah malam di Indonesia. Dan hampir 24 jam saya belum tertidur. Saya harus menemukan gate itu. Setelah bertanya dan berlari akhirnya saya menemukan gate tersebut. Gate D6. Saya lelah. Duduk sejenak dan menarik nafas. Ara masih main-main. Untungnya dia tidak rewel. 10 menit saya duduk dan menarik nafas. Saya mencoba menanyakan ke salah satu penumpang yang mengantri boarding. Apakah D6 gate untuk penerbangan Culombus? “it’s  New Orleans” jawabnya. I was shocked. Salah gate! Saya pun menanyakan ke petugas boarding pass. Gate Culombus adalah di D35. How come!!!!!

Saat itu saya tidak lagi bisa berpikir. Pada kondisi seperti ini saya bisa menjadi pelari sprint yang bisa bertanding ditingkatan PON. Ketika akhirnya menemukan D35, gate itu sunyi. Taka da lagi penumpang. Tak ada lagi pentugas. Seorang petugas yang berada di dekat situ membantu saya menanyakan apakah pesawatku sudah terbang atau belum. “I’m sorry mam, ur plane is gone” katanya. Saat itu saya hanya ingin menangis. Saya tidak tahu mau ngapain. Yang ada dikepalaku hanya ragam umpatan dan kutukan.  Petugas menyarankan ke Customers Service. Air muka mungkin begitu pias sehingga ia menaruh empati. Pikiran saya kalut dan tidak  jernih. Saya mengirim email ke Kak Yusran. Mementionnya di Twitter. Membuat status di fesbuk. Tak ada respon. Saya mencari bangku paling dekat. Duduk dan meratapi nasib. Jika harus mengatur penerbangan haruskah membayar tiket pesawat? Dollar yang saya punya hanya 100an lebih. Tak cukup mungkin untuk penerbangan ke OHIO.  Jika inilah saat saya butuh pertolongan, maka saya berharap ada semacam peri yang tiba-tiba muncul dan mengayungkan tongkat ajaibnya dan everything’s under control.

Rasanya sudah harus menyerah. Kususui Ara. Ia minum sebentar dan kembali bermain. Satu-satu jalan adalah ke Costumer Service. Kalo pun harus bayar setidaknya saya tahu seberapa banyak. Setelah menanyakan arah costumer Service ke seoran petugas masuklah saya pada antrian orang-orang yang mungkin juga ketinggalan pesawat. Seorang petugas pria berkulit hitam melayaniku. “Can I help u” katanya. “I missed my plane to OHIO?”. “Where”s OHIO? There’re many airport” . “ “Culombus” jawabku. “Ok. Let me check it”. Dia pun lantas mengatakan ada pesawat ke Colombus pukul 5 sore. Itu masih lama, katanya. Tapi aku iyakan saja. “Ok. Let me arrange it for u”. “How much I should pay” tanyaku. “ U want to pay” tanyanya tertawa keras. “in my country, i should pay a ticket If I missed the plane” kataku. “Ok. So, let’s use ur regulation” katanya sambil tertawa. “No, please” kataku memelas. Saya tak perlu bayar. Free. Belakangan baru saya tahu kalo sudah memegang kertas boarding pass sekalipun ketinggalan pesawat, tak perlu bayar. Selama ini saya tidak pernah ketinggalan pesawat sih :D.

Saya menerima empat kertas boarding pass baru. Saya bingung dn menanyakan ke petugas. Ia menyarankan untuk ke gate A4E sesuai tertulis di boarding passku yang paling terakhir. Kembali saya harus naik lift yang serupa bis. Mengantarku entah ke gedung yang mana. Saya menemukan gate tersebut. Petugasnya bilang sejauh ini gate  ke Colombus adalah di sini dan belum ada perubahan. Saya memesan pizza di restoran yang tak jauh dari waiting room. Vegetarian Pizza. Rasanya penuh sayuran. Rasanya yang kurang enak atau mungkin saya yang tidak nafsu makan. Yang saya butuhkan adalah tidur. Tapi alam sadarku memintaku berjaga agar tidak ketinggalan pesawat lagi.

Ara belum juga tidur. Ia malah asyik merangkak. Ia berkenalan dengan seorang anak Pakistan yang namanya tak bisa saya eja. Begitu menyenangkannya menjadi Ara. Ia tak perlu khawatir memikirkan ketinggalan pesawat. Yang ia tahu hanyalah bermain. Ia tak perlu memikirkan harus mengucapkan bahasa apa untuk berkomunikasi dengan kawan barunya. Ia tidak terbatas bahasa tutur yang mengekang.

Ia masih bermain-main hingga saya berinisiatif memangkunya. Saya tahu dia lelah dan mengantuk, tapi terminal ramai mencuri rasa kantuknya. Ia nenen beberapa menit kemudian tertidur. Saya menidurkannya di stroller. Ingin rasanya keliling-keliling dulu di airport ini, tapi kesadaranku sudah melayang. Rasanya sebagian dari kejadian ini adalah mimpi. Saya hanya butuh terbangun saja.

Akhirnya pesawat menuju Colombus sudah siap. Pesawat kecil dengan tiga tempat duduk. United Express. Rasanya seperti mau ke Baubau. Pramugarinya adalah seorang ibu gemuk yang sebebesar lorong kabin. Tempat dudukku di dekat jendela. Sang pramugari meminta penumpang disampingkan bertukar tempat agar saya duduk di tengah. Bukan sang penumpang itu yang keberatan, tapi teman disampingnya. Dia tidak mau duduk berdekatan dengan bayi. Mengganggu katanya.  Mungkin interpretasiku tapi saya pun menyadari bahwa bule itu tidak basa basi. Kalo suka bilang suka, kalo tidak bilang tidak. Ini seperti belajar komunikasi antar budaya deh. Untungnya penumpang disamping depanku mau bertukar tempat denganku.

Belum 10 menit, tulang ekorku mulai sakit. Duh, beda ya dengan penerbangan internasional. Sekalipun ini di Amerika tetap aja tempat duduknya seperti pesawat Merpati ke Bau-bau. Tulang ekor yang sakit membuat saya tidak bisa tertidur. Meski pada akhirnya saya masih bisa memejamkan mata.

Pukul 9 pesawat kecil itu mendarat di Colombus. Rasanya begitu lelah. Menggendong Ara yang setengah tertidur dengan barang-barang yang setia dijinjing. Ingin berhenti. Tapi saya tahu bahwa ini tidak lama lagi. Saya melihat seorang pria yang saya kenal. Memakai baju kaos putih  berdiri sambil tersenyum. Tak ada yang berubah dari dirinya. Seperti biasa kami selalu bertemu dan saling tertawa. Ara terbangun. Ia menatap sekeliling. Berusaha beradaptasi. Menangis digendongan ayahnya. Saya sudah sampai di Colombus. Saya sudah di OHIO. Satu yang pasti saya sudah berada di “rumah”.

(Riverpark, 10 September 2012, 03.27 am)

Comments

  1. "welcome to United States ARA, hope you have a great year there :)"
    btw sudahmi tawwa kita daptarkan ARA di wic?

    ReplyDelete
  2. sampai menangis membaca cerita ini....
    wonderfull journey

    ReplyDelete
  3. @ ita gazali : makasih. btw, wic itu apa y?

    @astin astanti : makasih...ini adventure :D

    ReplyDelete
  4. berkaca-kaca saya membacanya dr Part 1-3, mengingatkan pengalaman saya dulu.. Selamat ya Mbak Dwi..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar