Di Bandara Soekarno Hatta |
01.49 am, friday 7 september. Penanggalan
handphoneku sudah menyesuaikan waktu Athens. Saya masih terjaga. Siang
tadi saya menghabiskan waktu sekitar 6 jam untuk tertidur. Ini mungkin yang
disebut jetlag. Saat kondisi biologis tubuh masih harus menyesuaikan kondisi
geografis. Jika di Makassar, sangat wajar saya masih terjaga. Di sana masih
siang. Hanya saja di sini, pukul dua pagi. Saya baru saja menyelesaikan makan
"siang"ku. Ara pun tak kalah. Saat ia belum tahu definisi jetlag, ia
telah mengalaminya. Tidurnya sangat sesuai jadwal tidur di Indonesia. Tidur
tengah malam tadi siang. Bobo pagi jam 8 malam tadi. Dan baru tidur lagi pukul
12 malam tadi. Untungnya sepi dan gelap sehingga ia bisa tidur sampai pagi
seperti semalam. Semoga siklus pencernaannya tidak ikut jetlag seperti
pencernaanku.
Awalnya saya ingin mengupdate secara live report perjalanan ini, tapi ternyata
tak semudah yang saya bayangkan. Bepergian bersama anak seumuran Ara tidak bisa
membuatku duduk manis menikmati WiFi bandara dan tenggelam dalam kegalauan
terminal seperti di film-film romantis. Tapi bepergian bersama Ara adalah
sebuah petualang baru. Bahkan perjalanan ini adalah petualang itu sendiri.
Disini akan kuceritakan padamu runut perjalanan kami.Tiket pesawatku 4 september, pukul 7 malam. Tapi pukul 3 sore, saya dan Ara ditemani kak Ismet on the way menuju bandara. Saya tidak ingin mempertaruhkan tiket pesawatku yang seharga 1337 dollar itu hanya untuk terjebak macet dan ketinggalan pesawat. Perjalanan dari Ragunan ke Bandara memakan waktu sejam lebih. Saya check in di Soekarno Hatta pukul 4. 30. Terminal 2D. Terminal internasional. Terminal yang baru pertama kali saya masuki. Suasananya pun sangat internasional. Para calon penumpang adalah orang-orang dari berbagai negara. Bule pirang, jepang, cina, India, Arab. Baru di Soekarno Hatta sudah serasa di luar negeri gimana kalo di luar negeri?
Pesawat yang akan saya tumpangi adalah singapore airlines yang kabarnya adalah maskapai paling bagus di dunia. Saya belum bisa membandingkan. Ini pertama kalinya saya naik pesawat internasional. Pengetahuan pesawat internasional saya hanyalah sebatas iklan maskapai garuda di televisi. Saat check in saya khawatir mereka sudah menggunakan bahasa inggris:D. Tapi ternyata mbak-mbak cantiknya melayani dengan bahasa Indonesia yang baik. Saya membagasikan koperku yang paling besar. Koper berisi bajuku dan bajunya Ara. Ransel dan tas batik pesanan kak yusran saya jinjing bersama strollernya Ara. Saya menanyakan bagasiku nantinya akan diambil dimana. Mbaknya menyarankan akan diambil di Washington Dulles. Saya bilang, boleh di Columbus, Ohio? Agak bingung saya dengan penjelasannya sehingga ia menyarankan untuk memberikan pelayanan staf untuk saya nantinya di Changi airport, Singapura. Saya agak bingung sehingga saya iyakan saja. Dia memberikan kertas boarding saya setelah saya membayar Rp.150.000 untuk airport tax.
Di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta Ara tidak henti-hentinya ngoceh. Merengek dan minta diajak main. Untungnya dia tidak menangis keras dan cukup sabar hingga naik ke pesawat. Ini perjalanan pertama kami naik pesawat internasional. Pastinya begitu berbeda dengan pesawat rute dalam negeri. Pramugari singapore airlines cantik dan bertubuh bagus. Proporsional dengan tingginya. Standar cantik untuk perempuan Asia Tenggara. Mereka menggunakan bahasa Inggris. Kuperkirakan mereka adalah warga negara Singapura. Tapi ada satu orang pramugari berambut pendek yang menyapa penumpang yang bingung berkomunikasi bahasa Inggris. Dengan lancar dia berbahasa Indonesia. Hmmm...pasti ia masuk dalam tingkatan rekruitmen ketat. Perempuan Indonesia yang bekerja di maskapai Singapura. Wow!
Dari Jakarta ke Singapore memakan waktu 1 jam 35 menit. Rasanya begitu menyenangkan naik pesawat internasional. Ada tivi di kursi pesawat dengan video, film, musik, games yang bisa dipilih. Ada headset, selimut, dan juga bantal. Kelas ekonomi saja senyaman itu apalagi kalo ngintip di kelas bisnis atau kelas satu. Pelayanan makin wah. Ara pun diberi mainan boneka transformer. Pukul 7 malam pesawat take off menuju Changi airport. Layar LCD di depanku menampilkan peta Perjalanan. Pulau Jawa, Jakarta dengan garis putus-putus dan gambar pesawat yang berujung di Singapura.
Basinet atau tempat tidur bayi terpasang di depanku. Hanya saja cuma bisa dipakai saat bayi bobo. Jadi mamanya tidak capek memangku. Namun, perjalanan 1 jam 35 menit tidak membuat Ara tertidur. Ia lebih banyak main-main. Saat baru mau mendarat di Changi ia tertidur dan harus terbangun lagi karena harus turun dari pesawat. Di pesawat diberi option menu untuk makan malam. Ada dua opsi, tapi yang saya ingat hanyalah kentang yang dihaluskan dengan sosis dan sayur. Entah apa namanya. Enak. Lidahku suka dengan makanan itu. Ara pun demikian. Ara tidak punya makanan bayi. Tidak juga mendapat jatah, yang saat hendak sampai di Amerika baru saya tahu jawabannya.
Di Changi Airport, pramugari meminta saya untuk menunggu sejenak sebelum turun dari pesawat. " U ask for assitant?" Saya menjawab "Yes". Dan dia memintaku mengikutinya. Di depan pintu pesawat seorang perempuan bermata sipit sedikit gemuk menanyakan nomor kursiku dan memintaku mengikutinya. Ternyata dialah staf yang akan menemaniku untuk check in, menunjukkan arah dan mengantar ke lounge.
Changi airport adalah bandara yang cantik. Di sana sini banyak pertokoan yang menjual banyak souvenir dan barang-barang lainnya. Serupa toko serba ada yang dimasukkan dalam bandara. Ada taman cantik di tengah-tengah yang bisa dipakai untuk sekedar duduk dan menunggu panggilan naik pesawat. Sang asistant mengantar saya ke ANA airlines. Maskapai penerbangan Jepang yang akan mengantar saya ke Narita. Kuberikan tiketku, paspor, dan nomor bagasiku. Sambil menunggu saya menggunakan komputer-komputer yang disediakan untuk internet gratis. Wifi pun ada, tapi harus meminta user name di information. Setelah selesai check in, petugasnya memberiku 3 boarding pass. Changi-Narita, Narita-Washington Dulles, Washington Dulles-Colombus, dan meng-arrange asisten lagi untuk saya. Wah, saya berasa seperti pelanggan spesial. Padahal sebenarnya posisi saya adalah penumpang yang bingung yang tidak tahu mau ngapain sehingga perlu asisten. Ah, masa' bodoh. Saya sih suka-suka saja ada asisten seperti ini. Nda bingung cari gatenya.
Setelah perempuan berseragam warna peach-rok hitam mengantarku ke lounge, rekan kerjanya yang lain menyambutku dan meminta paspor serta boarding passku. Memintaku untuk duduk sejenak karena 15 menit lagi akan dipanggil ke ruang tunggu bandara. Tapi saya memilih untuk jalan-jalan. Kakak Ipah meminta dibelikan ole-ole disetiap tempat transit. Ini demi kakak yang membiaya perjalananku ke Jakarta. Dan sampailah saya di toko souvenir dengan beragam pilihan dalam harga dollar singapura. Dengan sedikit pede saya bertanya " Can I use american dollar?" dan ia pun mengiyakan. Sembari memilih-milih para penjaga toko bermain bersama Ara. Ara yang mengantuk terganggu moodnya. Salah satu diantara mereka nyelutuk " ia mengantuk" dalam logat melayu yang khas. Hei, mereka bisa bahasa Indonesia. Saya yakin itu bukan bahasa Indonesia, itu adalah bahasa melayu,tapi saya senang tak perlu berbahasa Inggris untuk selanjutnya bertransaksi belanja.
Saya membayar 21 dollar US untuk souvenir itu. Dengan beberapa kembalian uang dollar Singapura. Saya nda peduli hitung-hitungannya berapa. Uang singapura itu masuk dalam koleski uang celengan Ara (sekarang sudah berada di gelas air minum Mcd yang pertama saya beli di Amerika). Setelah berbelanja saya kembali ke lounge. Duduk di sofa dengan tivi layar lebar. Pukul 11 malam waktu Singapura. Kepalaku sudah migran. Pengumuman untuk penumpang Narita Maskapai ANA membahana. Saya pun mempersiapkan barang-barangku, Ara yang sudah tertidur kembali terbangung. Tak berapa lama seorang wanita berumur 30an tahun menghampiri. Wajahnya keturunan India. "Are you Agustriani?" tanyanya. Saya jawab iya. "Follow me". Dia lantas ke penjaga Longue meminta boarding passku dan pasporku. Membaca sejenak nama Ara dan kemudian berkata "Sarasvaty. Nice Name". Kami pun kemudian ngobrol. Dia mengingatkanku pada Guptha di film Terminal. Lelaki keturunan India yang akrab dengan Tom Hanks. Perempuan yang bernama Siti Pharsana itu seramah Guptha. Say menjelaskan bahwa nama Ara berasal dari bahasa Sansekerta. "You know, Hindu" kataku. " Oh ya, but I'm not a Hindu. I'm A Moslem" katanya. "Me too" kataku. "But your name there's no Moslem name" katanya. Nah, bagian ini saya nda bisa menjelaskan dalam bahasa Inggris pemilihan namaku dan namanya Ara.
Sepanjang jalan menuju Gate yang akan kami tuju saya bercakap-cakap dengannya. Dia mengatakan saya begitu muda untuk menjadi seorang ibu. Kami pun lantas membahas tentang cara mengasuh anak. Dia cukup heran melihat Ara yang cukup tenang si stroller setelah saya jelas pertama kalinya Ara bepergian dengan stroller. Saya pun lantas memintanya memotret saya di tulisan-tulisan yang ada changi airportnya. "Picture is important" kataku. Ia pun dengan senang hati memotret saya. Ia pun memahami bahasa melayu. Jadi kami bisa nyambung ngobrol kalo saya menimpali dengan bahasa Indonesia. Dia mengantar saya hingga masuk di pesawat. Senang rasanya bertemu dengan Siti Pharsana. Dia menjadi guide yang baik.
Comments
Post a Comment