Skip to main content

Di Ragunan, Binatang Itu Menunggu Mati

Setelah ngurus visa, aku dan Ara pindah ke Ragunan. Sebelumnya kami bermalam di Rawamangun (Jatinegara kaum, beberapa hari disana daerah ini sempat diberitakan kebakaran. Kebakaran itu pas berada di depan rumah tempat kami bermalam. Tapi, bukan karena alasan itu kami pindah. Karena, di Ragunan ada omnya Ara). Di kostnya Kak Ismet ini (Omnya Ara), sangat dekat dengan kebun binatang Ragunan. Cukup jalan 100 meter, sampai deh depan kebun binatang. Hari pertama di Ragunan, aku mengajak Ara jalan-jalan ke kebun binatang. Aku pun cukup penasaran melihat penampakan binatang-binatang di sana.

Harga tiket masuk Kebun Binatang Ragunan Rp.3500 per orang. Gratis buat anak dibawah dua tahun. Menyusuri kebun binatang Ragunan butuh stamina kuat. Karena kebun binatang ini cukup besar dan luas. Banyak pohon rindang dan dimanfaatkan bagi para pengunjung untuk duduk-duduk sambil memakan bekal atau membeli di penjual makanan yang tersebar di dalam kebun binatang.

Koleksi binatangnya cukup banyak. Pas masuk kami disambut oleh burung-burung pelikan di kolam. Serta merta aku mengingat film Nemo. Scene dimana burung pelikan menyelamatkan Merlin. Kemudian aku pun menyusuri areal kebun yang cukup rindang. Ada burung merak yang sangat sadar mempertontonkan keindahan bulunya. Dengan angkuh ia berputar layaknya model dan berpose kepada pengunjung mengambil gambarnya.

Ada kera berbagai jenis di dalam kandang yang asyik bergelantungan. Mereka bermain dan tak peduli dengan para pengunjung. Harimau Sumatra yang memilih tidur. Orang utan yang lebih menyukai bersembunyi dibawah terowongannya. Beruang kurus yang bermain di sela-sela batuan. Hanya gajah yang begitu interaktif bermain dengan pengunjung. Meladeni pengunjung yang memberinya makan. Parit-parit besar dibuat mengelilingi kandang-kandang binatang yang dilepas agar tidak menyerang pengunjung. Ada juga singa sumatra yang di kerangkeng.

Selain itu ada juga pertunjukan binatang. Burung Beo yang tidak buta warna, siamang yang pintar bersepeda, beruang madu yang pintar joget, dan musang yang pintar berhitung.

Sayangnya binatang-binatang itu tidak tampak bahagia. Sorot matanya tidak bersemangat. Mereka merasa itu tidak di rumah. Tubuh-tubuh mereka kurus. Singa yang perkasa sebagai raja hutan. Beruang yang tulang-tulang punggungnya terlihat menonjol. Gajah-gajah dengan kulit yang menggelambir. Rasa-rasanya mereka menunggu mati di kebun binatang ini.

Aku tidak lagi mengajak Ara berkeliling. Rasanya begitu sedih melihat binatang-binatang itu. Aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Ingatanku kembali pada saat mengunjungi kandang Aves. Seekor elang berdiri di dahan paling tinggi. Ada sisa kuasa di pundaknya yang masih tegap. Ia memandang ke langit biru. Ia ingin terbang bebas. Sayangnya, langit itu dibatasi jeruji besi. (*)

Ps : foto hasil minta tolong ke pengunjung untuk difotokan :D
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...