Her New Friend in Washington Dulles |
Pesawat pun landing di Washington
Dulles. Tak ada pramugari yang memintaku untuk menunggunya. Tak ada asisten
kali. Kali ini saya sendirian yang harus mencari jalan menuju imigrasi dan gate
mana yang akan membawa saya ke OHIO. Pukul 10 pagi di Washington. Sepuluh malam
di Indonesia. Ara sudah berada pada titik ngantuknya. Tapi anak itu masih saja
sabar. Saya pun sudah sangat mengantuk. Tapi harus terus bergerak. Waktu transit
sangat sempit. Dan para penumpang harus melalui imigrasi.
Penumpang pesawat yang saya tumpangi
semua mengarah ke pemeriksaan imigrasi. Hanya dibedakan pada penumpang yang
berhenti di Washington atau yang akan terus melanjutkan perjalanan ke negara bagian
yang lain. Saya pun mengikuti jalur penumpang transit. Membawa satu ransel,
satu tas selempang, mendorong Ara di strollernya. Menggunakan bus yang
mengantar ke imigrasi. Sedikit tersendat ketika saya harus menuruni escalator
dan harus menggendong Ara, melipat strollernya, dan mengangkat tasku. Saya
kurang lincah untuk tetap mendudukkan Ara distroller sambil turun di escalator.
Dan jadinya saya berada di antrian paling belakang imigrasi. Saya mengisi dua
lagi lembar putih untuk saya dan Ara. Form 1-94 kalo nda salah. Harus diisi
jika penumpang memiliki visa.
Saat ngantri Ara sudah tiba pada titik
bosannya. Mulai merengek-rengek. Tapi perhatiannya masih bisa saya alihkan
dengan memberinya mainan.Sekitar 45 menit saya harus menunggu hingga tiba
giliranku ditanyai oleh officernya. Pria yang kuduga memiliki keturunan Asia.
Dia sangat berhati-hati saat mengecek semua penumpangnya. Dari semua petugas
yang ada disitu, antriannyalah yang paling lama. Saya menjadi orang yang terakhir yang ia
wawancara dan orang terakhir di ruangan itu. Jam 12 siang. Pesawatku menuju Culombus
adalah 12. 35. Ara menangis sesunggukan. Saya tak bisa menggendongnya. “saya
mencoba secepat yang saya bisa” kata petugas itu. Beberapa menit kemudian ia
menyelesaikan tugasnya dan berkata “have a good day”.
Keluar dari imigrasi bagasiku menunggu.
Saya pun kembali mendorong koper itu dalam trolley. Seorang petugas
menghampiriku dan mengatakan bahwa trolynya hanya bisa dipakai sampai 10 meter
ke depan karena setelahnya ada pemeriksaan lagi. Tapi seorang petugas
membantuku mendorong bagasiku yang kemudian entah kemana koper itu menghilang.
Saya kembali harus melalui pemeriksaan ketat. Ditanyai membawa makanan ke
Amerika atau tidak. Setelah semua itu saya pun harus berlari mencari arah gate
dimana saya harus boarding. D6 tertulis di boarding passku.
Bandara Washington Dulles
membingungkan. Terlalu banyak gate. Dan saya harus berlari mendorong stroller
Ara secepat mungkin. Mengejar pesawat. Mencari gate yang entah di mana. Rasanya
tidak menjejak di bumi. Pikiranku melayang. Kondisi tubuh pun tidak terlalu
fit. Ini tengah malam di Indonesia. Dan hampir 24 jam saya belum tertidur. Saya
harus menemukan gate itu. Setelah bertanya dan berlari akhirnya saya menemukan
gate tersebut. Gate D6. Saya lelah. Duduk sejenak dan menarik nafas. Ara masih
main-main. Untungnya dia tidak rewel. 10 menit saya duduk dan menarik nafas.
Saya mencoba menanyakan ke salah satu penumpang yang mengantri boarding. Apakah
D6 gate untuk penerbangan Culombus? “it’s
New Orleans” jawabnya. I was shocked. Salah gate! Saya pun menanyakan ke
petugas boarding pass. Gate Culombus adalah di D35. How come!!!!!
Saat itu saya tidak lagi bisa berpikir.
Pada kondisi seperti ini saya bisa menjadi pelari sprint yang bisa bertanding
ditingkatan PON. Ketika akhirnya menemukan D35, gate itu sunyi. Taka da lagi
penumpang. Tak ada lagi pentugas. Seorang petugas yang berada di dekat situ
membantu saya menanyakan apakah pesawatku sudah terbang atau belum. “I’m sorry
mam, ur plane is gone” katanya. Saat itu saya hanya ingin menangis. Saya tidak
tahu mau ngapain. Yang ada dikepalaku hanya ragam umpatan dan kutukan. Petugas menyarankan ke Customers Service. Air
muka mungkin begitu pias sehingga ia menaruh empati. Pikiran saya kalut dan
tidak jernih. Saya mengirim email ke Kak
Yusran. Mementionnya di Twitter. Membuat status di fesbuk. Tak ada respon. Saya
mencari bangku paling dekat. Duduk dan meratapi nasib. Jika harus mengatur
penerbangan haruskah membayar tiket pesawat? Dollar yang saya punya hanya 100an
lebih. Tak cukup mungkin untuk penerbangan ke OHIO. Jika inilah saat saya butuh pertolongan, maka
saya berharap ada semacam peri yang tiba-tiba muncul dan mengayungkan tongkat
ajaibnya dan everything’s under control.
Rasanya sudah harus menyerah. Kususui
Ara. Ia minum sebentar dan kembali bermain. Satu-satu jalan adalah ke Costumer
Service. Kalo pun harus bayar setidaknya saya tahu seberapa banyak. Setelah
menanyakan arah costumer Service ke seoran petugas masuklah saya pada antrian
orang-orang yang mungkin juga ketinggalan pesawat. Seorang petugas pria berkulit
hitam melayaniku. “Can I help u” katanya. “I missed my plane to OHIO?”.
“Where”s OHIO? There’re many airport” . “ “Culombus” jawabku. “Ok. Let me check
it”. Dia pun lantas mengatakan ada pesawat ke Colombus pukul 5 sore. Itu masih
lama, katanya. Tapi aku iyakan saja. “Ok. Let me arrange it for u”. “How much I
should pay” tanyaku. “ U want to pay” tanyanya tertawa keras. “in my country, i
should pay a ticket If I missed the plane” kataku. “Ok. So, let’s use ur
regulation” katanya sambil tertawa. “No, please” kataku memelas. Saya tak perlu
bayar. Free. Belakangan baru saya tahu kalo sudah memegang kertas boarding pass
sekalipun ketinggalan pesawat, tak perlu bayar. Selama ini saya tidak pernah
ketinggalan pesawat sih :D.
Saya menerima empat kertas boarding
pass baru. Saya bingung dn menanyakan ke petugas. Ia menyarankan untuk ke gate
A4E sesuai tertulis di boarding passku yang paling terakhir. Kembali saya harus
naik lift yang serupa bis. Mengantarku entah ke gedung yang mana. Saya
menemukan gate tersebut. Petugasnya bilang sejauh ini gate ke Colombus adalah di sini dan belum ada
perubahan. Saya memesan pizza di restoran yang tak jauh dari waiting room.
Vegetarian Pizza. Rasanya penuh sayuran. Rasanya yang kurang enak atau mungkin
saya yang tidak nafsu makan. Yang saya butuhkan adalah tidur. Tapi alam sadarku
memintaku berjaga agar tidak ketinggalan pesawat lagi.
Ara belum juga tidur. Ia malah asyik
merangkak. Ia berkenalan dengan seorang anak Pakistan yang namanya tak bisa
saya eja. Begitu menyenangkannya menjadi Ara. Ia tak perlu khawatir memikirkan
ketinggalan pesawat. Yang ia tahu hanyalah bermain. Ia tak perlu memikirkan
harus mengucapkan bahasa apa untuk berkomunikasi dengan kawan barunya. Ia tidak
terbatas bahasa tutur yang mengekang.
Ia masih bermain-main hingga saya
berinisiatif memangkunya. Saya tahu dia lelah dan mengantuk, tapi terminal
ramai mencuri rasa kantuknya. Ia nenen beberapa menit kemudian tertidur. Saya
menidurkannya di stroller. Ingin rasanya keliling-keliling dulu di airport ini,
tapi kesadaranku sudah melayang. Rasanya sebagian dari kejadian ini adalah
mimpi. Saya hanya butuh terbangun saja.
Akhirnya pesawat menuju Colombus sudah
siap. Pesawat kecil dengan tiga tempat duduk. United Express. Rasanya seperti
mau ke Baubau. Pramugarinya adalah seorang ibu gemuk yang sebebesar lorong
kabin. Tempat dudukku di dekat jendela. Sang pramugari meminta penumpang
disampingkan bertukar tempat agar saya duduk di tengah. Bukan sang penumpang
itu yang keberatan, tapi teman disampingnya. Dia tidak mau duduk berdekatan
dengan bayi. Mengganggu katanya. Mungkin
interpretasiku tapi saya pun menyadari bahwa bule itu tidak basa basi. Kalo
suka bilang suka, kalo tidak bilang tidak. Ini seperti belajar komunikasi antar
budaya deh. Untungnya penumpang disamping depanku mau bertukar tempat denganku.
Belum 10 menit, tulang ekorku mulai
sakit. Duh, beda ya dengan penerbangan internasional. Sekalipun ini di Amerika
tetap aja tempat duduknya seperti pesawat Merpati ke Bau-bau. Tulang ekor yang
sakit membuat saya tidak bisa tertidur. Meski pada akhirnya saya masih bisa
memejamkan mata.
Pukul 9 pesawat kecil itu mendarat di
Colombus. Rasanya begitu lelah. Menggendong Ara yang setengah tertidur dengan
barang-barang yang setia dijinjing. Ingin berhenti. Tapi saya tahu bahwa ini
tidak lama lagi. Saya melihat seorang pria yang saya kenal. Memakai baju kaos
putih berdiri sambil tersenyum. Tak ada
yang berubah dari dirinya. Seperti biasa kami selalu bertemu dan saling
tertawa. Ara terbangun. Ia menatap sekeliling. Berusaha beradaptasi. Menangis
digendongan ayahnya. Saya sudah sampai di Colombus. Saya sudah di OHIO. Satu
yang pasti saya sudah berada di “rumah”.
(Riverpark, 10 September 2012, 03.27
am)
"welcome to United States ARA, hope you have a great year there :)"
ReplyDeletebtw sudahmi tawwa kita daptarkan ARA di wic?
sampai menangis membaca cerita ini....
ReplyDeletewonderfull journey
@ ita gazali : makasih. btw, wic itu apa y?
ReplyDelete@astin astanti : makasih...ini adventure :D
berkaca-kaca saya membacanya dr Part 1-3, mengingatkan pengalaman saya dulu.. Selamat ya Mbak Dwi..
ReplyDelete