Skip to main content

Long Journey To Athens, OH Narita Washington Dulles (Part II)



Perkiraanku pukul 11 -12 malam saya take off dari Changi menuju Narita. Perjalanan memakan waktu 7 jam. Beruntungnya adalah kursi disampingku kosong. Ara tertidur dan saya bisa merebahkannya dibasinet sementara saya melipat lengan kursi disampingku agar lebih lapang ruang untuk tertidur. Pramugari ANA airlines rata-rata berwajah jepang. Kurus, putih, bermata sipit. Pakaiannya seperti baju kantorku dulu. Rok hitam dan jas hitam. Pramugari Singapore airlines masih lebih cantik menurutku. Selain itu agak susah saya berkomunikasi dengan mereka. Bahasa Inggrisnya susah dipahami. Waktu ia mengatakan bahwa basinet hanya untuk bayi 10 kg, dia harus menuliskannya dikertas supaya saya mengerti. Ow, ternyata yang dia sebut tadi ten kilogram.

Perjalanan 7 jam tidak begitu terasa. Karena saya menghabiskan hampir separuh waktu terbang dengan tertidur. Leherku sampai sakit karena harus merasakan kerasnya lengan kursi sekalipun sudah ditumpuk dengan dua bantal pesawat. Saya memilih makanan western di pesawat. Padahal sedikit tergoda untuk memakan makanan jepang. Nantilah jika di penerbangan berikutnya, batinku. Di pesawat juga disediakan wine. Sempat tergoda buat coba, hahahahaah untung masih sadar.

Saya terbangun dengan turbulenci kencang di pesawat. Lampu sabuk pengaman dinyalakan. Saya pun harus duduk tegak sambil mengencangkan seatbelt. Ternyata pesawat Boeing goncangannya kerasa juga. Ara masih bobo. Layar tivi di tempat duduk pramugari menjelaskan bahwa masih ada waktu dua jam untuk mendarat. Saya kembali tidur ke posisi rebahan saat turbulensi selesai. Mumpung Ara tidur, kesempatan untuk tidur. Meski saya tergoda untuk menonton film yang disediakan.  30 menit sebelum mendarat pramugari membersihkan kabin. Mengambil kotak makanan, earphone, dan juga basinet. Ara pun kupangku kembali meski ia masih tertidur. Sebelum landing seorang pramugari memberikan mainan untuk Arad an mengatakan untuk menunggu sejenak karena saya mendapatkan asisten lagi saat tiba di Narita.


Pukul 9 pagi di Narita. Asistenku adalah seorang pria separuh baya bermata sipit. Memegang kertas bertuliskan namaku. “Can u speak Japanese?” tanyanya. Saya menggeleng. Hampir saja saya menjawab “ I speak Buginese”. Ia pun mengantarkan saya menuju ke tempat boarding berikutnya. Dengan sabar dia menungguiku mengganti popoknya Ara, menyilakanku berbelanja souvenir, dan memotretku dipojok bertuliskan Narita. Dia tidak selancar Siti Parshana bercakap denganku. Saya pun agak susah berkomunikasi dengannya. Tapi dia telah begitu baik menemaniku dan memotretku. Saat boarding pass ternyata saya tidak mendapatkan basinet. Penumpang tujuan Amerika banyak dan basinet sudah dibooked sebelumnya oleh penumpang lain. Ya, 12 jam dan harus memangku Ara. Cukup melelahkan kupikir, tapi mau apa lagi. Jika perjalanan dari Changi ke Narita lebih banyak orang Jepang, maka perjalanan dari Narita ke Washington Dulles penuh dengan beragam manusia. Bule, China, Jepang. Narita menjadi tempat transit warga dunia menuju Amerika.

Saya kembali menggunakan pesawat ANA. Kali ini pramugarinya lebih jelas ngomongnya dalam bahasa Inggris. Saya kadang memperhatikan mereka. Mereka selalu tersenyum untuk saling menyapa kepada penumpang atau ke sesame pramugari. Ceria banget. Padahal perjalanan pesawat pasti melelahkan. Mereka dituntut untuk seperti itu. Selalu terlihat ramah dan bahagia. Pasti ada saat dimana mereka harus tersenyum palsu demi pelayanan. Tapi selama perjalanan saya selalu melihat mereka bekerja dengan tulus.

Narita-Washington Dulles seperti perjalanan menuju klimaks. Lama dan Ara tidak mau diam. Tidak juga tidur. Ia lebih banyak bermain. Memperhatikan tivi di depannya. Memencet-mencet remote controlnya hingga kadang pramugarinya datang karena tak sengaja memencet tombol untuk memanggil mereka. Paling menguji iman adalah saat makan. Karena tempat duduk yang sempit dengan meja untuk makan dan Ara yang dipangku. Memangkunya harus dengan kesabaran tingkat tinggi. Membiarkannya ikut memegang makanan. Mengambil sesukanya selama ia tidak melakukan aktivitas yang mengacaukan acara makan. Beberapa makanan harus rela dihambur karena jika tidak ia akan menangis dan membuang semua makanan bersama piring-piring dan sendoknya.

Makan adalah kegiatan yang harus secara kilat dilakukan. Secepat mungkin agar peralatan makanan cepat dibereskan.  Perjalanan ke Washington adalah perjalanan menuju malam.  Menjumpai malam lebih cepat dari yang seharusnya. Seperti perjalanan ke waktu sebelumnya. Saya meninggalkan Narita pukul 10 pagi 5 September dan akan sampai pada pukul 10 pagi 5 september waktu Amerika. Seperti waktu tidak bergerak. Saya kurang tahu bagaimana bahasa teknisnya. Saya menggambarkannya sedikit imajinatif saja di sini.  Anggaplah bertolak ke waktu lalu.

Pola waktu ini diterapkan di pesawat. Saat jendela masih terang diluar sana, lampu kabin diredupkan. Jendela-jendela ditutup dan suasana kabin disetting malam. Beberapa jam kemudian lampu kembali dinyalakan,  jendela dibuka dan pagi menyapa diluar sana. Rasanya begitu ajaib. Menu pun menjadi breakfast-lunch-breakfast. Tak ada dinner. Padahal saya menunggu menu makanan yang agak “berat”. Menu pilihannya adalah ala western atau Japanese.  Bayi disamping saya mendapatkan menu khusus baby.  “can I have a baby menu for my daughter” Tanya saya ke pramugari. Setelah mereka mengecek ternyata  kursiku tidak terdaftar untuk mendapatkan makanan bayi. Itu juga yang terjadi pada penerbangan ke Changi dan Narita. Mungkin harus diorder lebih dahulu saat boarding atau mungkin saat beli tiket.  Untungnya sang pramugari memiliki persediaan makanan kemasan untuk bayi.

Siklus tidur Ara tidak bisa mengikuti sistem diterapkan di pesawat. Ia masih saja bersemangat main-main. Menggeliat ingin turun dan merangkak di kabin. Satu-satunya cara adalah mengendongnya ke area lavatory. Menjumpai pramugari, orang yang antri masuk wc, atau anak-anak kecil yang digendong ibu atau kakek neneknya. Saya bertemu Yamato. Anak kecil usia 7 bulan yang sangat lucu.  Seperti halnya Ara, Yamato diajak keliling oleh ibunya. Dia ke USA bersama kakek, ibu, dan kakak perempuannya. Ayah Yamato bekerja di Washington DC. Kakek Yamato menyapa Ara yang tersenyum. Kami pun ngobrol. Ia mengatakan kulit Ara lembut. Tapi ia menyebutkannya dalam bahasa Jepang yang saya tak mengerti. “soft” katanya. Dia menanyakan umurku. Dia mungkin melihat saya terlalu muda untuk menjadi seorang ibu J. Xixixixixi. Ketika saya mengatakan umur Etta saya 64 tahun ia berkata “Same with me” sambil tersenyum.  Ia berkomentar dalam bahasa Jepang yang berarti Pretty. “ I just know Kirei in Japanese means beautiful” kataku. Ia pun lantas tertawa. “Yeah, that’s right” katanya.

Saya suka nongkrong di dapur pramugari. Sekedar berdiri, memperhatikan orang, dan sesekali mencomot kue-kue yang disediakan pramugari di sebuah keranjang dengan tulisan “Please, serve yourself”. Saya suka memakan coklat, kerupuk beras yang beraneka ragam khas Jepang. Pramugarinya pun tak keberatan dan selalu tersenyum mempersilakan para penumpang untuk makan dan minum.

Dua belas jam bukan waktu yang singkat. Begitu lama rasanya menanti pesawat mendarat. Saya tak lagi tertarik menonton video Ranma ½ yang sepanjang perjalanan tak pernah selesai saya nonton padahal durasinya hanya 90 menit. Saya lebih tertarik memperhatikan peta penerbangan. Gambar pesawat yang melewati hampir seluruh benua Amerika. Dengan peta yang terlihat jelas pada bagian Indonesia-Asia gelap (malam) dan bagian Amerika  (putih) siang.

Saya mengisi blanko biru untuk imigrasi. Saat mendebarkan adalah masuk ke wilayah teritori Amerika Serikat. Negara dengan sistem Imigrasi yang begitu ketat. Saat mengisi isian itu saya membayangkan seperti Tom Hanks yang berusaha mendapatkan stempel keimigrasian dan menjejakkan kaki masuk negara Amerika.

Comments

Popular posts from this blog

Kesatria Putih dan Peri Biru

Di sebuah zaman, di negeri antah berantah tersebutlah sebuah kerajaan bernama Koin Emas. Di kerajaan ini semua rakyat rajin bekerja dan pandai menabung. Setiap koin yang dihasilkan dari bekerja setiap harinya disisihkan untuk ditabung untuk masa depan. Sang raja memiliki tempat penyimpanan khusus untuk setiap koin yang disisihkan rakyatnya. Namun terdapat satu koin pusaka yang telah turun temurun diwariskan oleh raja-raja terdahulu. Koin itu diyakini drachma asli dari Dewa yang diturunkan khusus dari langit dan diwariskan untuk menjaga kesejahteraan kerajaan Koin Emas. Koin pusaka tersebut menjadi pelindung kerajaan Koin Emas. Jika koin itu hilang diramalkan kesejahteraan di kerajaan Koin Emas akan berubah menjadi kesengsaraan. Koin itu pun dinilai memiliki khasiat mampu member kekuatan dan kekuasaan bagi yang memilikinya. Raja begitu menjaga pusaka tersebut. Ia takut jika koin pusaka itu hilang atau dicuri. Hingga suatu hari kedamaian di kerajaan itu terganggu. Seekor Naga Merah m...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Irfan Bachdim Teman SMP Aku loh!!!!

Di mimpiku Irfan Bachdim pake jaket coklat :) Irfan Bachdim Teman SMP Aku loh!!!! Kok bisa? Ini sebabnya... Siang ini mimpiku begitu ajaib. Aku bermimpi menonton laga Persema dan PSM di stadion Mattoanging. Alasannya siapa lagi kalo bukan Irfan Bachdim. Hahahahahahaha. Disaat itu jelas-jelas aku mendukung Persema. Bukan PSM. Bahkan baju yang kupakai pun adalah seragam Persema. Yang mengejutkan dari mimpi adalah saat aku memperhatikan pemain-pemain   Persema lebih jelas untuk mencari sosok Irfan Bachdim, sosok yang kucari itu bahkan menghampiriku. Berbicara padaku dari pinggir lapangan “Dwi, u’re beautiful”. Sontak saja terkejut. Dimana dia bisa mengenal namaku. “How do u know me” tanyaku.  “ I know you, Ani” katanya. Hei, bahkan nama kecilku pun ia tahu. Aku terkejut. Wow, apa dia menguntitku. Sampai membaca semua isi blogku. Hanya teman-teman SD dan SMP yang tahu nama kecilku. Saat SMA aku tak lagi dipanggil dengan nama Ani. Dan k...