Perkiraanku pukul 11 -12 malam saya take off dari Changi menuju Narita. Perjalanan memakan waktu 7 jam. Beruntungnya adalah kursi disampingku kosong. Ara tertidur dan saya bisa merebahkannya dibasinet sementara saya melipat lengan kursi disampingku agar lebih lapang ruang untuk tertidur. Pramugari ANA airlines rata-rata berwajah jepang. Kurus, putih, bermata sipit. Pakaiannya seperti baju kantorku dulu. Rok hitam dan jas hitam. Pramugari Singapore airlines masih lebih cantik menurutku. Selain itu agak susah saya berkomunikasi dengan mereka. Bahasa Inggrisnya susah dipahami. Waktu ia mengatakan bahwa basinet hanya untuk bayi 10 kg, dia harus menuliskannya dikertas supaya saya mengerti. Ow, ternyata yang dia sebut tadi ten kilogram.
Perjalanan 7 jam tidak begitu terasa. Karena saya menghabiskan hampir separuh waktu terbang dengan tertidur. Leherku sampai sakit karena harus merasakan kerasnya lengan kursi sekalipun sudah ditumpuk dengan dua bantal pesawat. Saya memilih makanan western di pesawat. Padahal sedikit tergoda untuk memakan makanan jepang. Nantilah jika di penerbangan berikutnya, batinku. Di pesawat juga disediakan wine. Sempat tergoda buat coba, hahahahaah untung masih sadar.
Saya terbangun dengan turbulenci kencang di pesawat. Lampu sabuk pengaman dinyalakan. Saya pun harus duduk tegak sambil mengencangkan seatbelt. Ternyata pesawat Boeing goncangannya kerasa juga. Ara masih bobo. Layar tivi di tempat duduk pramugari menjelaskan bahwa masih ada waktu dua jam untuk mendarat. Saya kembali tidur ke posisi rebahan saat turbulensi selesai. Mumpung Ara tidur, kesempatan untuk tidur. Meski saya tergoda untuk menonton film yang disediakan. 30 menit sebelum mendarat pramugari membersihkan kabin. Mengambil kotak makanan, earphone, dan juga basinet. Ara pun kupangku kembali meski ia masih tertidur. Sebelum landing seorang pramugari memberikan mainan untuk Arad an mengatakan untuk menunggu sejenak karena saya mendapatkan asisten lagi saat tiba di Narita.
Pukul 9 pagi di Narita. Asistenku
adalah seorang pria separuh baya bermata sipit. Memegang kertas bertuliskan
namaku. “Can u speak Japanese?” tanyanya. Saya menggeleng. Hampir saja saya
menjawab “ I speak Buginese”. Ia pun mengantarkan saya menuju ke tempat
boarding berikutnya. Dengan sabar dia menungguiku mengganti popoknya Ara,
menyilakanku berbelanja souvenir, dan memotretku dipojok bertuliskan Narita.
Dia tidak selancar Siti Parshana bercakap denganku. Saya pun agak susah
berkomunikasi dengannya. Tapi dia telah begitu baik menemaniku dan memotretku.
Saat boarding pass ternyata saya tidak mendapatkan basinet. Penumpang tujuan
Amerika banyak dan basinet sudah dibooked sebelumnya oleh penumpang lain. Ya,
12 jam dan harus memangku Ara. Cukup melelahkan kupikir, tapi mau apa lagi.
Jika perjalanan dari Changi ke Narita lebih banyak orang Jepang, maka
perjalanan dari Narita ke Washington Dulles penuh dengan beragam manusia. Bule,
China, Jepang. Narita menjadi tempat transit warga dunia menuju Amerika.
Saya kembali menggunakan pesawat ANA.
Kali ini pramugarinya lebih jelas ngomongnya dalam bahasa Inggris. Saya kadang
memperhatikan mereka. Mereka selalu tersenyum untuk saling menyapa kepada penumpang
atau ke sesame pramugari. Ceria banget. Padahal perjalanan pesawat pasti
melelahkan. Mereka dituntut untuk seperti itu. Selalu terlihat ramah dan
bahagia. Pasti ada saat dimana mereka harus tersenyum palsu demi pelayanan.
Tapi selama perjalanan saya selalu melihat mereka bekerja dengan tulus.
Narita-Washington Dulles seperti
perjalanan menuju klimaks. Lama dan Ara tidak mau diam. Tidak juga tidur. Ia
lebih banyak bermain. Memperhatikan tivi di depannya. Memencet-mencet remote
controlnya hingga kadang pramugarinya datang karena tak sengaja memencet tombol
untuk memanggil mereka. Paling menguji iman adalah saat makan. Karena tempat
duduk yang sempit dengan meja untuk makan dan Ara yang dipangku. Memangkunya
harus dengan kesabaran tingkat tinggi. Membiarkannya ikut memegang makanan.
Mengambil sesukanya selama ia tidak melakukan aktivitas yang mengacaukan acara
makan. Beberapa makanan harus rela dihambur karena jika tidak ia akan menangis
dan membuang semua makanan bersama piring-piring dan sendoknya.
Makan adalah kegiatan yang harus secara
kilat dilakukan. Secepat mungkin agar peralatan makanan cepat dibereskan. Perjalanan ke Washington adalah perjalanan
menuju malam. Menjumpai malam lebih
cepat dari yang seharusnya. Seperti perjalanan ke waktu sebelumnya. Saya
meninggalkan Narita pukul 10 pagi 5 September dan akan sampai pada pukul 10
pagi 5 september waktu Amerika. Seperti waktu tidak bergerak. Saya kurang tahu
bagaimana bahasa teknisnya. Saya menggambarkannya sedikit imajinatif saja di
sini. Anggaplah bertolak ke waktu lalu.
Pola waktu ini diterapkan di pesawat.
Saat jendela masih terang diluar sana, lampu kabin diredupkan. Jendela-jendela
ditutup dan suasana kabin disetting malam. Beberapa jam kemudian lampu kembali
dinyalakan, jendela dibuka dan pagi
menyapa diluar sana. Rasanya begitu ajaib. Menu pun menjadi
breakfast-lunch-breakfast. Tak ada dinner. Padahal saya menunggu menu makanan
yang agak “berat”. Menu pilihannya adalah ala western atau Japanese. Bayi disamping saya mendapatkan menu khusus
baby. “can I have a baby menu for my
daughter” Tanya saya ke pramugari. Setelah mereka mengecek ternyata kursiku tidak terdaftar untuk mendapatkan
makanan bayi. Itu juga yang terjadi pada penerbangan ke Changi dan Narita.
Mungkin harus diorder lebih dahulu saat boarding atau mungkin saat beli
tiket. Untungnya sang pramugari memiliki
persediaan makanan kemasan untuk bayi.
Siklus tidur Ara tidak bisa mengikuti
sistem diterapkan di pesawat. Ia masih saja bersemangat main-main. Menggeliat
ingin turun dan merangkak di kabin. Satu-satunya cara adalah mengendongnya ke
area lavatory. Menjumpai pramugari, orang yang antri masuk wc, atau anak-anak
kecil yang digendong ibu atau kakek neneknya. Saya bertemu Yamato. Anak kecil usia
7 bulan yang sangat lucu. Seperti halnya
Ara, Yamato diajak keliling oleh ibunya. Dia ke USA bersama kakek, ibu, dan
kakak perempuannya. Ayah Yamato bekerja di Washington DC. Kakek Yamato menyapa
Ara yang tersenyum. Kami pun ngobrol. Ia mengatakan kulit Ara lembut. Tapi ia
menyebutkannya dalam bahasa Jepang yang saya tak mengerti. “soft” katanya. Dia
menanyakan umurku. Dia mungkin melihat saya terlalu muda untuk menjadi seorang
ibu J.
Xixixixixi. Ketika saya mengatakan umur Etta saya 64 tahun ia berkata “Same
with me” sambil tersenyum. Ia
berkomentar dalam bahasa Jepang yang berarti Pretty. “ I just know Kirei in
Japanese means beautiful” kataku. Ia pun lantas tertawa. “Yeah, that’s right”
katanya.
Saya suka nongkrong di dapur pramugari.
Sekedar berdiri, memperhatikan orang, dan sesekali mencomot kue-kue yang
disediakan pramugari di sebuah keranjang dengan tulisan “Please, serve
yourself”. Saya suka memakan coklat, kerupuk beras yang beraneka ragam khas
Jepang. Pramugarinya pun tak keberatan dan selalu tersenyum mempersilakan para
penumpang untuk makan dan minum.
Dua belas jam bukan waktu yang singkat.
Begitu lama rasanya menanti pesawat mendarat. Saya tak lagi tertarik menonton
video Ranma ½ yang sepanjang perjalanan tak pernah selesai saya nonton padahal durasinya
hanya 90 menit. Saya lebih tertarik memperhatikan peta penerbangan. Gambar
pesawat yang melewati hampir seluruh benua Amerika. Dengan peta yang terlihat
jelas pada bagian Indonesia-Asia gelap (malam) dan bagian Amerika (putih) siang.
Saya mengisi blanko biru untuk
imigrasi. Saat mendebarkan adalah masuk ke wilayah teritori Amerika Serikat.
Negara dengan sistem Imigrasi yang begitu ketat. Saat mengisi isian itu saya
membayangkan seperti Tom Hanks yang berusaha mendapatkan stempel keimigrasian
dan menjejakkan kaki masuk negara Amerika.
Comments
Post a Comment