Sebenarnya rencana ke Malino sudah ada jauh-jauh sebelumnya. Bersama Kak Riza dan Ema. Tapi selalu saja batal. Ema yang paling ingin ke Malino, jangan tanya kenapa. Ini persoalan hati.Hahahaha. Saya pun ngotot ke Malino. Merefresh memori tentang tempat itu mungkin. Rasanya saya hanya memiliki sedikit ingatan tentang Malino di kepala saya. Dan yang pasti membawamu menjejak tempat baru. Rasanya sudah seperti obsesi mengajakmu kemana-mana, Ara. Beberapa tempat sudah masuk dalam list bayanganku untuk membawamu ke sana. Mungkin karena saya yang menyukai jalan-jalan.
Sangat pagi ketika Opik menjemput ke Sudiang. Saya, kamu, dan Ema belum benar-benar bangun. Saya bahkan setengah memaksa dirimu untuk bergegas. Makan dan kemudian mandi. Rasanya tak enak membuat menunggu jika diberi tumpangan. Tak cukup setengah jam kita berhasil duduk di mobil dan bersegera menjemput yang lain. Tito, Afrida, Uchu, Ewi dan Rahmah. Mereka adalah anak kosmik 2007. Tiga angkatan di bawahku.
Mobil perlahan melaju menuju Malino. Setelah mengisi bahan bakar dengan bensin botolan karena persediaan kosong di SPBU yang ditemui. Juga setelah membeli perbekalan untuk di jalan.
Saya memiliki sedikit ingatan tentang Malino. Karenanya menapaki kembali aspalnya yang menanjak merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Pohon-pohon yang rindang. Hawa sejuk yang kian menjadi dingin ketika memasuki kawasan Malino.
Tak ada tujuan utama. Melihat air terjun pun tidak. Yang kita lakukan hanyalah menyusuri jalan. Pukul 11 siang macet diseputaran pasar. Mobil yang dipakai pun harus didiamkan beberapa saat karena kanvas remnya berasap dan menguarkan bau yang tidak enak. Serupa bau kotoran ditambah karet ban terbakar. Maka berpindahlah satu isi mobil ke dalam pasar.
Saya selalu menyenangi pasar Malino. Pasar tradisional yang penuh dengan buah dan sayur segar. Beda dengan pasar Bengo dekat rumah. Tak ada jualan yang khas. Pasar Malino khas dengan alpukat, markisa, dan tentengnya. Juga banyak bertebaran tanaman bunga yang dijual. Alhasil, beberapa kantong buah memenuhi bagasi mobil. Sedangkan yang cowok-cowok membeli tembakau dan kertas rokok untuk melinting. Tembakau olahan adalah rokok yang biasa dikonsumsi warga kampung sebelum rokok kretek berfilter muncul di pasaran. Kakaknya nenekku merokok menggunakan tembakau olahan ini. berbentuk bundar. Biasanya dicetak dalam bambu. Di kampungku tembakau ini dikenal dengan nama Ico. Menjumput dan membungkusnya sendiri perlu sedikit keahlian.
Setelah memenuhi bagasi mobil, perjalanan pun dilanjutkan ke hutan pinus. Air terjun tidak menjadi pilihan karena ada Ara. Maka menggalaulah seisi mobil setibanya di hutan pinus. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi. Buahnya bertebaran di tanah. Pohon pinus ramai. Terakhir ke Malino tahun 2006 sepertinya belum ada tarif masuk. Sekarang dibandrol 10.000 rupiah untuk satu mobil. Selain pinus ada juga penyewaan kuda. Sayangnya, Ara nda sempat naik kuda. Kuda yang mendekat kuda kecil sih. Padahal ada kuda putih yang lebih cakep. Heheehehe.
Tembakau pun dibuka untuk dilinting. Tak mudah untuk melinting. Jangan harap bakal secantik rokok kretek. Ramping dan rapi. Butuh merokok ico bertahun-tahun untuk menghasilkan lintingan yang cantik. Semua mencoba melinting dan tak ada yang benar-benar berhasil. Saya mau mencoba mengisap satu batang, tapi urung kuniatkan. Kata Ema sih seperti mengisap kertas. Eh, dia cuma mencoba mengisap rokok dari Rahmah.
Di Malino paling enak adalah makan indomie. Maka ketika perut keroncongan kita pun berhamburan ke warung depan hutan pinus. Memesan indomie dan segelas teh. Gerimis turun perlahan. Menguarkan bau tanah dan wangi teh. Seketika mengingat beberapa scene romantis di novel-novel.
Perjalanan berlanjut. Dan kita mencari kebun strowberry. Kupikir akan kelihatan manis jika saya dan Ara berfoto diantara strowberry merah. Rahmah pun menjadi penunjuk jalan.Ia pernah membuat film untuk tugas mata kuliah di kebun strowberry Malino. Ke puncak Malino. Karena hawa makin dingin dan awan serasa makin dekat. Hanya beberapa meter diatas tanah. Rahmah memandu kita hingga ke lahan milik warga di atas bukit. Sayangnya lahan tersebut bukan lagi ditanami strawberry, tapi kembang kol yang serupa mawar hijau di atas tanah.
Tak ada strawberry kol pun jadi. Maka berfoto-fotolah kita di antara tanaman-tanaman itu. Untung pemiliknya baik hati. Bahkan ketika kabut awan memerangkap menurunkan suhu kita diberi tumpangan untuk menghangatkan diri. Bapak rumah pun mengajari melinting tembakau. Termometer ruangan menunjuk angka 23 derajat celcius. Bisa dipastikan diluar akan lebih dingin lagi. Tak ada yang sanggup menahan dinginnya. Ubin terasa dingin. Saya membayangkan bagaimana dinginnya di daerah bersalju yang harus dihadapi tiap hari. Hawa dingin ini rasa-rasanya seperti mengenalkanmu pada kondisi cuaca yang mungkin kelak akan dihadapi. Tapi untuk kali ini kamu tak perlu khawatir. Saya mendekapmu erat. Dan kamu tidur begitu nyenyak.
Kabut masih menyelimuti kebun kol ketika kita beranjak pulang. Singgah makan mi kuah di warung strawberry. (Tanaman strawberrynya sedikit dan belum berbuah -_-). Mi kuah dan kopi panas menjadi dingin dalam hitungan menit. Rasanya dingin menusuk hingga tulang ditambah gerimis yang tak kunjung berhenti. Sepasang kekasih pun menunggu gerimis berhenti. Menjelang sore kita kembali pulang. Perlahan hawa dingin menghangat seiring mobil meluncur turun di jalan berliku.
Perjalanan yang melelahkan sampai membuat opik muntah-muntah. Tapi begitu menyenangkan.Semburat horizon berwarna-warni di langit. Merah,orange,ungu. Kupikir langit senada dengan hati kita. Serupa pelangi.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Comments
Post a Comment