Skip to main content

Will U Wait?

12 jam lagi tiket pesawat di tasku membawaku pergi dari kafe ini. Membawaku pergi dari pulau ini. Dari negara ini menuju ke belahan bumi lain. Belahan bumi yang penunjukan waktu tepat berbeda 12 jam di sana. Langit gelap malam ini. Tak ada bintang tapi tak juga hujan. Pun tak ada angin. Yang ada adalah diam. Diam jualah yang masuk merayapi ke atmosfer kami. Menemani dua kopi capuccino yang telah ditinggal asapnya yang mengepul. Mereka tenggelam dalam diam yang dingin.

Ia duduk di depanku. Keras seperti baja. Tak juga mampu keterjang dengan ombak air mata. Toh aku takkan menggunakan air mata kini. Aku takkan menangis untuk sebuah perpisahan. Aku mencintainya. Tak dapat kupungkiri. Tapi pergi adalah sebuah pilihan untuk mengejar cita-cita. Di sini cinta diuji. Apakah tetap bersama kami atau pergi ketika aku ikut beranjak.

Kami telah banyak menyulam mimpi dan berbagi kenangan. Meretas perbedaan di antara kami, tapi sepertinya angin membuat arah perahu kami tak bersisihan. Aku sangat ingin berada dalam perahunya. Tapi sampai saat ini kami belum menemukan jalan tengah yang mampu kami kompromikan. Hingga akhirnya tawaran ini datang. Tawaran yang memantik mimpi masa kecil.

Disesapnya capucino yang telah dingin itu. Ada tetes yang tersisa dibibirnya. Biasanya dengan ringan aku menghapusnya dengan sebuah ciuman singkat. Tapi kali ini aku menahannya. Seperti hasratku untuk memohon padanya agar tak berubah.

Waktuku tak banyak. Ada sesak disini. Tapi tak pernah mampu aku teriakkan agar terasa lega. Ia tetaplah dingin. Tak tertebak. "Memohonlah"batinku. Tapi pada akhirnya akulah lagi yang harus berkata " will u wait, me?". Kalimat serupa permohonan yang terasa angkuh dan serba tanggung.

---

Setahun kemudian...

Musim gugur baru mulai, tapi dingin telah terasa layaknya musim dingin. Kubuka laptopku dan membuka email masuk. Beberapa email tak penting. Hampir kuhapus semua hingga kulihat namanya diinboxku. Nama yang begitu kerindukan namun begitu angkuh aku sapa. Perlahan aku mengklik pada namanya. Lima detik kemudian sebuah pesan singkat membuat sesak.

Aku telah bertemu dengan seseorang. Ia baik dan kami cukup saling mengenal. Kami telah merencanakan pernikahan kami bulan depan. Bukankah bulan depan kamu sudah pulang ke sini? Aku harap kamu bisa datang.

Tertanda
Roi

Mataku terasa perih dan panas. Kemudian pandanganku seperti berkaca dan kemudian mengabur. Pertahanan yang selama ini aku bangun runtuh seketika. Aku masih mencintainya dan takkan pernah berubah.

#15harimenulisdiblog #13 #pernikahan
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

  1. bagus sekali, sheno suka. kata-katanya bernyawa ;3

    ReplyDelete
  2. keran kak,,paling suka cerita hari ke #15 ini,,

    paling suka kata2,,"will you me?"..
    kata yang sederhana tapi megharapkan jawaban yang sangat berati..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar