Aku menemukan kesempilan itu beberapa saat lalu. Saat aku berada di tengah keramaian dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Merangkai cerita lain yang berbeda dengan lokasiku berdiri. Penulis akan selalu sendiri memulai cerita dan mengakhiri ceritanya.
Ia tak bisa memaksa ruang-ruang yang menginspirasinya membeku sesuai dengan keinginannya. Dan ia selayaknya pelukis menggores tintanya di atas kanvas. Seorang penulis adalah sosok yang sendirian ditengah hiruk pikuk dunia yang mungkin menginspirasinya sesaat.
Ada kala ketika ia terjebak dalam mood yang membahayakan, ruang-ruang realitas yang menginspirasi menjadi ruang-ruang yang menjebak. Mood menguasai keinginannya untuk menulis. Mood mengendalikan rasa optimis dalam iwanyauntuk memulai mengguratkan sebuah kalimat. Ia terjebak pada reaiitas yang mencair sehingga inspirasi dalam imajinya ikut mencair. Meleleh seperti es di daerah kutub utara.
Penulis tak mampu memaksa realitas menunggunya. Ia butuh mengekesekusi dan membekukan inspirasi dari dunia realitas kedala dunia imaji dan mulai menuliskannya. Telah ada cerita hebat di benaknya. Penulis telah tahu bagaimana para tokohnya melakukan perenungan-perenungan dala perjalanan hidupnya. Bagaimana ia mengakhiri cerita dalam tulisannya itu. Semua telah selesai di alam ide.
Penulis selalu sendirian. Ia sendirian menuliskan awal hingga akhir cerita itu. Hanya ia yang tahu seberapa bahagia sang tokoh utama. Atau seberapa tragis hidup menjungkirbalikkannya. Hanya dalam kesendiriannya ia mampu menyelesaikan cerita itu. Ia tak mampu memaksa orang lain menyimpan rasa agar rasa itu tetap ia simpan.
Dan penulis yang sendirian itu adalah diriku. Akulah yang harus memulai segala awal cerita itu. Aku harus melakukan insepsi ke dalam alam bawah sadarku. Kemiudian secara tersadar menuliskan hingga detail insepsi itu.
Aku adalah penulis pemula yang berusaha tunduk pada mood. Berusaha mengalahkan mood. Berusaha untuk tetap mampu menjaga ritme mood agar cerita yang akan dituliskan tetap mampu mendatangkan rasa bahagia seperti ketika aku menuliskannya.
Aku telah mulai belajar untuk membiarkan realitas diluar diriku mencair dan meleleh. Dan secara tetap sadar menjaga alam ideku tidak melebur bersama realitasku. Sebuah tugas yang sangat berat. Mungkin butuh ruang kesendirian yang panjang. Jauh dari segala realitas yang mempengaruhi ruang-ruang inspirasiku untuk mampu menyelesaikannya.
Maaf sayang, sekali lagi tulisan ini berat bagimu. Mungkin nanti aku meminta ijin padamu untuk mengkarantina diriku untuk satu buah cerita panjang untuk menepati janji.(*)
(Hari terakhir di Pondok Winslow, sendirian, 06 08 2010)
Ia tak bisa memaksa ruang-ruang yang menginspirasinya membeku sesuai dengan keinginannya. Dan ia selayaknya pelukis menggores tintanya di atas kanvas. Seorang penulis adalah sosok yang sendirian ditengah hiruk pikuk dunia yang mungkin menginspirasinya sesaat.
Ada kala ketika ia terjebak dalam mood yang membahayakan, ruang-ruang realitas yang menginspirasi menjadi ruang-ruang yang menjebak. Mood menguasai keinginannya untuk menulis. Mood mengendalikan rasa optimis dalam iwanyauntuk memulai mengguratkan sebuah kalimat. Ia terjebak pada reaiitas yang mencair sehingga inspirasi dalam imajinya ikut mencair. Meleleh seperti es di daerah kutub utara.
Penulis tak mampu memaksa realitas menunggunya. Ia butuh mengekesekusi dan membekukan inspirasi dari dunia realitas kedala dunia imaji dan mulai menuliskannya. Telah ada cerita hebat di benaknya. Penulis telah tahu bagaimana para tokohnya melakukan perenungan-perenungan dala perjalanan hidupnya. Bagaimana ia mengakhiri cerita dalam tulisannya itu. Semua telah selesai di alam ide.
Penulis selalu sendirian. Ia sendirian menuliskan awal hingga akhir cerita itu. Hanya ia yang tahu seberapa bahagia sang tokoh utama. Atau seberapa tragis hidup menjungkirbalikkannya. Hanya dalam kesendiriannya ia mampu menyelesaikan cerita itu. Ia tak mampu memaksa orang lain menyimpan rasa agar rasa itu tetap ia simpan.
Dan penulis yang sendirian itu adalah diriku. Akulah yang harus memulai segala awal cerita itu. Aku harus melakukan insepsi ke dalam alam bawah sadarku. Kemiudian secara tersadar menuliskan hingga detail insepsi itu.
Aku adalah penulis pemula yang berusaha tunduk pada mood. Berusaha mengalahkan mood. Berusaha untuk tetap mampu menjaga ritme mood agar cerita yang akan dituliskan tetap mampu mendatangkan rasa bahagia seperti ketika aku menuliskannya.
Aku telah mulai belajar untuk membiarkan realitas diluar diriku mencair dan meleleh. Dan secara tetap sadar menjaga alam ideku tidak melebur bersama realitasku. Sebuah tugas yang sangat berat. Mungkin butuh ruang kesendirian yang panjang. Jauh dari segala realitas yang mempengaruhi ruang-ruang inspirasiku untuk mampu menyelesaikannya.
Maaf sayang, sekali lagi tulisan ini berat bagimu. Mungkin nanti aku meminta ijin padamu untuk mengkarantina diriku untuk satu buah cerita panjang untuk menepati janji.(*)
(Hari terakhir di Pondok Winslow, sendirian, 06 08 2010)
Comments
Post a Comment