Bersama para gadis penjaga nampan |
Mereka memperbaiki susunan makanan yang ada di depannya. Menata piring-piring dan gelas-gelas untuk para tamu yang akan duduk di depan mereka. Acara ini adalah acara Kande-kandea yang dalam arti bahasa wolio makan-makan. Acara ini biasanya diadakan untuk menyambut tamu, merayakan acara adat. Kali ini acara ini diadakan untuk menyambut para peserta Sail Indonesia yang berlabuh di di pantai Kamali, Bau-bau.
Sail Indonesia adalah sebuah acara pelayaran yang diikuti oleh 40 buah perahu yatch. Para pesertanya adalah turis asing yang berasal dari 14 negara. Mereka melakukan pelayaran di perairan Indonesia dan berlabuh di berbagai pulau yang menjadi rute mereka. Sebelum ke kota Bau-bau mereka terlebih dahulu singgah di kepulauan Wakatobi.
Senin, 23 Agustus menjadi puncak penyambutan para peserta Sail Indonesia di Kota Bau-Bau. Meski mereka telah bersandar di pelabuhan Pantai Kamali dan Pantai Lakeba tiga hari sebelumnya. Sore sudah menjelang. Jarum jam menunjukkan pukul 16.30. Baruga Mesjid Keraton dipenuhi oleh para muda- mudi berpakaian adat. Ada yang berpakaian untuk tari-tarian. Ada juga yang khusus untuk menampilkan baju-baju adat Wolio (Buton). Matahari sore memaksa bersinar di balik awan. Kota tampak perak dari atas keraton. Kota Bau-Bau dua hari terakhir ini diguyur hujan. Namun beruntungnya, acara kande-kandea yang diadakan sore ini tidak diguyuri hujan. Meski siang tadi gerimis cukup membasahi kota pelabuhan ini.
Peserta Sail Indonesia |
Sejam sebelum berbuka puasa para peserta Sail Indonesia telah mengelilingi objek-objek wisata di Kota Bau-Bau dan menyelesaikan tour keliling keraton. Di halaman mesjid keraton mereka disambut dengan tarian Mangaru. Tarian ini merupakan tari perang di zaman kesultanan Buton, namun sekarang dipentaskan untuk menjemput tamu. Jajaran pemuka adat berpakaian khas Buton mengambil barisan menjemput tamu. Gendang bertalu dan penari yang terdiri dari pria usia baya beraksi memainkan golok dan membuat takjub para penonton.
Tarian dari kabaena |
***
Awalnya aku ingin berpartisipasi di acara ini. Kak Yusran yang memiliki kenalan di Departemen Pariwisata kota Bau-Bau menawarkan diri untuk turut dalam karnaval budaya. Karnaval yang memeragakan baju adat Buton. Awalnya kami ingin memakai baju pengantin adat Buton. Namun karena kami telah menikah para budayawan melarang kami untuk memakai baju pengantin. Baju yang harus aku pakai adalah baju yang dperuntukkan untuk perempuan yang telah menikah namun belum punya anak. Karena tidak memiliki persediaan baju tersebut maka kami urung ikut bergabung.
Ragam baju untuk anak-anak |
Sebagai pendatang aku agak bingung dengan semua ragam pakaian dan pernak-pernik pakaian adatnya. Perlu dibuat semacam katalog untuk pakaian kombo wolio ini. Kak Yusran saja yang orang Buton belum bisa menuturkan secara jelas perbedaannya. Departemen terkait perlulah mememikirkan hal tersebut. Sebagai upaya pelestarian khasanah budaya.
***
Magrib menjelang. Adzan telah berkumandang penanda untuk berbuka puasa. Para gadis-gadis penjaga nampan membuka nampan makanannya. Memberikan piring pada tamu-tamu di depannya dan mengisinya dengan makanan yang sesuai keinginan para tamu. Para turis-turis asing tersebut telah duduk di depan nampan-nampan makanan.Menikmati makanan dan mengajak gadis-gadis tersebut bercengkrama.
Mungkin jika ini bukan bulan puasa, aku akan beruntung melihat para gadis-gadis itu menyuapi tamu-tamun di depannya.
Di masa lalu acara kande-kandea juga disebut sebagai acara muda-mudi. Ajang saling kenal dan bercengkrama dengan gadis. Nampan-nampan itu hanya boleh dijaga oleh anak gadis yang belum menikah. Saat acara ini berlangsung para pemuda disilakan untuk duduk di depan para gadis tersebut. Meminta makan dan disuapi. Disinlah ajang para pemuda untuk mendekati perempuan yang dia sukai. Aku bisa membayangkan bagaimana romantisnya zaman itu ketika seorang gadis menjaga nampannya dan datanglah seorang pria yang manaruh hati padanya dan berkenalan lewat acara tersebut. So Sweet!!!!
Bersama suami |
Parade baju kombo wolio menjadi pegelaran terakhir di acara kande-kandea ini. Para pemuda dan gadis-gadis serta anak-anak berjalan layaknya model diantara para turis-turis. Untungnya aku tak perlu ikut dalam parade itu. Akan sangat memalukan buatku. Hahahahaha,memang cocoknya aku menjadi turis saja.
Para turis tampaknya sangat puas dengan acara ini. Mereka tak henti-hentinya memuji. “Very beautiful” kata seorang bule asal Switzerland. Setiap ada gadis berbaju adat yang mendekatinya ia kembali memuji “Very beautiful”. Aku juga sempat bercerita dengan pasangan yang berasal dari New Zeland. Mereka sangat senang dengan perjamuan ini. Ketika aku menanyakan kesannya tentang kota Bau-Bau, mereka mengatakan sangat bersih. Lebih bersih daripada Wakatobi dan Ambon.
Aku sangat menikmati acara budaya seperti ini. Selalu tampak eksotis di mataku. Di tempat tinggalku di Bone, acara adat mulai jarang dilakukan. Pernah dulu diadakan mappadendang, sebuah acara pesta panen. Namun itu dulu sekali saat aku masih kecil. Cerita-cerita pesta adat hanya dituturkan oleh mamaku tanpa pernah aku saksikan. Karena itulah acara kande-kandea ini begitu menyenangkan buatku. Meski pun pada akhirnya aku adalah penonton di negeri sendiri. Tapi bukankan ini adalah sebuah bentuk apresiasi?
Para turis tersebut begitu menikmati adat dan kebudayaan Indonesia. Mereka jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk menyaksikan sebuah pegelaran budaya yang mungkin terlalu sering ditonton masyarakat. Lantas mengapa harus bermimpi jauh-jauh liburan ke luar negeri jika Indonesia mampu menawarkan sesuatu yang eksostis yang tak dimiliki bangsa lain?
keren
ReplyDeleteterima kasih :)
Deletekeren
ReplyDelete