Skip to main content

Lelaki Bermata Biru


Hari ini kukuatkan tekadku untuk masuk kelas sekalipun bola besi malas menggantung manja di kakiku. Aku selalu kalah melawan rasa malas apalagi ditambah godaan teman-teman untuk menikmati musim semi yang baru dimulai. Matahari hangat dan rimbunan bunga yang bergantungan di pohon menjadi variable penganggu lain. Tak ada yang mampu melawan untuk bermain-main di bawah matahari, berjemur, sambil membaca buku atau menyoraki pria-pria yang kami tidak kenal di lapangan basket yang sibuk menggiring bola ke keranjang.

Tapi hari ini matahari hangat dan rayuan teman-teman tak mampu menahan langkahku. Bola metal di kakiku terasa lepas. Ringan kulangkahkan kakiku menuju kelas bahasa. Butuh kekuatan yang maha dahsyat untuk melepas kunci rantai kemalasanku. Dan kekuatan itu jelas adanya. Kekuatan yang mampu membuatku tunduk dan patuh. Melangkah begitu riang menuju kelas.

Kelas masih sepi. Belum seorang pun di sana. Hanya ada Tatiana yang duduk di kursi sofa depan ruang kuliah. Kulihat kelebat Mary, salah satu pengajar di kelasku di lantai dasar. "Jangan-jangan dia tidak datang?"pikirku was-was. Minggu terakhir aku mengikuti kelas, diajar oleh dirinya. Jika hitunganku benar artinya dua hari berturut-turut di kelas bukan jadwalnya mengajar di kelasku.

Aku mengambil program bahasa Inggris. Kelasku memiliki tiga staf pengajar yang bergantian mengajar satu sama lain. Minggu lalu dua hari aku bolos tidak masuk kelas. Pertama karena malas kedua karena bukan dia yang mengajar. Dia adalah moodboosterku. Dia adalah kekuatan maha dahsyat yang mampu menyeret kakiku datang ke kelas. Sejak pertama ia memperkenalkan diri dihadapan kami, sejak saat aku aku tahu magnetnya begitu kuat untuk dilawan.

Rambut pirangnya bergaya awut-awutan.Tato kotak bermotif di lengan kanannya. Gaya busana casual yang tidak rapi serta gaya menyapa yang sedikit gaul. Ketika pengajar lain lebih menyukai menyebut kami "Guys" atau "You" ia lebih suka menggunakan kata "friendsis". Sampai saat ini aku masih mencari tahu cara penulisan yang tempat dari kata yang sering ia ucapkan tersebut.

Hari ini aku sangat yakin bahwa giliran dia yang mengajar. Sayangnya, melihat Mary datang dan kelas yang masih sunyi, aku bimbang. "jangan-jangan ia batal mengajar hari ini" batinku. Dengan malas kusapa Tatiana yang sibuk dengan handphonenya. Kulangkahkan kakiku ke toilet. Mrapikan rambutku yang tak karuan karena angin. Dengan langkah gontai aku keluar dari toilet dan berdiri di papan pengumuman membaca apa saja yang mampu menyibukkan mataku. Sekelebat seorang berlalu di belakangku sambil mengucapkan namaku "hai Dwi" suara itu renyah masuk ke telingaku. Seluruh sarafku berhenti sesaat dan menegang. Impuls suara itu benar-benar melumpuhkan. Untungnya aku membelakangi sumber suara itu. Ia tak perlu melihatku grogi, nervous, dan salah tingkah. "Hai" jawabku serak. Kumaki lidahku yang keluh tak mampu bicara. Tapi hati kecilku meloncat kegirangan. Mampu kurasakan ada sumringah riang di sana.

Kelasku mulai ramai. Jong Im, perempuan asal korea teman sekelasku sudah duduk manis di salah satu meja yang membenuk setengah lingkaran. Helen duduk di sampingku. Tatiana, Tugba, dan Erika. Hanya kami berenam yang cukup rajin masuk kelas dari 12 orang yang mengambil kelas ini.

Ethan, begitu aku dan teman-teman memanggilnya. Kami tak perlu susah payah untuk menyebutkan title Mr atau Mrs. Umur kami toh tidak beda jauh. Dengan santai ia akan menyapa tentang weekend kami. Beberapa di antara kami menjawab "good", "Fine" dan kemudian diam. Ia memancing lagi dengan pertanyaan yang sedikit meminta jawaban yang panjang. Tak ada di antara kami yang menjawab. Dengan sedikit ragu, aku menceritakan pengalamanku mengikuti Athens Beautification. Ia memperhatikan dengan seksama. Rasanya kata-kata dimulutku malu untuk keluar. Hanya respon ringan serupa anggukan kepada atau "yeah" yang mampu aku ucapkan.

"Frendsis" Sapaan itu meluncur dari mulutnya saat pelajaran dimulai. Pelajaran pertama kami mereview pelajaran kemarin. Pelajaran yang saya skip. Untungnya cukup mudah dipahami. ia mulai menjelaskan kembali untuk merefresh ingatan kami. Sayup-sayup penjelasannya yang cukup cepat masuk ke telingaku. Aku lebis  suka memperhatikan dirinya. Rambutnya masih saja acak tak karuan. Hari ini ia memakai sepatu kets, celana motif army, dan kemeja orange kotak-kotak yang melekat di badan. Lengan panjangnya ia tarik sebatas siku memperlihatkan tato persegi panjang bermotif entah bermakna apa.

Hari ini adalah tepat empat bulan aku mengenalnya. Sejak pertama masuk mengajar dan meminta maaf karena menjelaskan begitu cepat. Sejauh ini apa yang kutahu tentangnya? aku hanya mengenal namanya, Ethan. Alamat emailnya pun tidak ia sertakan dalam silabus yang ia bagikan. Ethan, lelaki yang tak kuketahui nama belakangnya. Sayangnya, ia telah menjerat hatiku. I'm falling for him. Setiap geraknya mendatangkan reaksi kimia. Ia adalah definisi tampan dalam imajinasi kanak-kanakku tentang pria berambut pirang. Dulunya kupikir semua pria bule adalah cakep. Sayangnya teori itu terbukti salah. Ratusan pria bule berambut sewarna jagung atau kecoklatan pernah kulihat. Simpang siur di halaman kampus. Tak semuanya secharming film-film hollywood atau secakep anggota boyband. Tapi ia adalah pengecualian. Dia adalah definisi tampan itu sendiri. Lengkap dengan kepribadian casual yang sering aku lihat difilm-film remaja amerika.

Aku tak pernah berani menatap wajahnya. Tiap kali dia mengevaluasi kami satu-satu, aku memilih menunduk menatap lembaran kertas latihan dan menjawab "No" jika ia bertanya apakah aku menemukan kesulitan. Ia tidak pernah berlama-lama berdiri di samping mejaku. Mungkin karena ia berpikir aku cukup paham, padahal sejatinya, aku setengah kecerdasanku menguap jika ia berdiri terlalu dekat denganku.

 I'm into him. Pria yang hanya kukenal dengan nama Ethan. Sekali pernah kumencari akun facebooknya. Ethan, Ohio, Athens, sebagai keywords. Sayangnya, facebook tak mampu menemukan sosok yang kumaksud. Puluhan Ethan ia sediakan, tapi bukan sosok yang melumpuhkan sarafku. Aku cukup puas mengetahui nama pertamanya dan melihatnya berdiri nyata di kelasku. Sekalipun perisai tebal perlu kubangun untuk terlihat tampak biasa. Ironi rasanya ketika jauh, medan magnetnya menarikku mendekat dan aku tidak menolak untuk itu. Namun ketika jarak kami hanya beberapa kaki aku berusaha membangun perisai untuk menjauh darinya.

Ia adalah Mr. Ethan buatku. Hingga suatu hari tanpa sengaja aku melihat folder di komputer yang terproyeksi ke papan tulis. Bahan pelajaran yang ia simpan. Brown, Ethan. Sekilas mataku menangkap judul folder itu sebelum ia terklik dan meloncat ke folder lain. Sekilas yang membuatku tersenyum lebar dalam kelas yang sedikit harus kutahan. Untungnya ia tidak mempertanyakan maksud senyumku tersebut. Diam-diam kutulis diatas halaman buku catatanku. Mr. Ethan Brown lengkap dengan dua titik dan kurung terbuka serta gambar hati kecil.

Seketika saat online, Ethan Brown menjadi fokus utamaku. Kucari akunnya di facebook. Tanpa waktu lama facebook menampilkan fotonya. Lengkap dengan kampung halamannya. Sayangnya, privacy akunnya cukup ketat. Hanya postingan lama yang mampu aku lihat. Album foto profil dan cover facebooknya. Selebihnya tak ada info lain. Hati kecilku ingin mengaddnya menjadi temanku. Tapi sisi hati kecilku yang lain meminta untuk jangan melakukannya. Aku membingkai sosoknya di imajinasi kecilku. Dengan potongan-potongan informasi yang tidak lengkap. Ia telah membahagiakan hatiku. Aku tak ingin merusak imajinasiku tentangnya dari informasi-informasi yang lebih detail. Aku tak ingin patah hati jika mengetahui ia memiliki pacar. Cukup ia menjadi pribadi yang ku kenal sekarang. Tanpa perlu mengetahuinya lebih lanjut. Aku menjaga hatiku untuk tidak patah. Aku membekukan dirinya dalam karakter imajinasi yang membuatku bahagia. Hingga hari ini, aku hanyalah secret admirer jika bukan stalker yang melihat akun facebooknya dan menyimpan dengan rapi salah satu fotonya.

Khayalanku terhenti ketika ia tiba-tiba berdiri di dekatku. Kembali menanyakan apakah aku kesulitan dengan pelajarannya. Beberapa benar-benar aku tidak paham karena ia menjelaskan terlalu cepat. Aku cukup kaget. Ia benar-benar mampu membuatku mati seketika. Aku berusaha menguasai detak jantungku yang bertalu. Fokus pada ketidaktahuanku dan merangkai kalimat yang cukup simpel dengan grammar yang (kuharap) benar saat bertanya bagian yang tak kumengerti.

Untunglah, ia paham pertanyaanku. Ia duduk berlutut di depan meja. Aku berharap ada kotak kecil berisikan cincin mungil ditangannya. Hanya saja yang ia pegang hanyalah marker yang ia ia mainkan disela-sela jarinya. Kali ini mau tak mau saya harus memandangnya. Ia sedang menjelaskan jawaban atas pertanyaanku. Hanya saja lagi-lagi suaranya sayup masuk ketelingaku dengan noise rendah dan tone yang rendah. Aku menemukan telaga biru di bening matanya. Mata biru itu memandang tepat ke mataku. Seketika aku tidak mampu merasakan tempatku berpijak.

Aku butuh ke toilet. Mengembalikan seluruh kerja sarafku. Sedikit lunglai aku melangkahkan kakiku. Sempat kudengar ia bertanya cemas "Are you okay?" yang kujawab dengan anggukan. Inginnya kuteriak, "Reduce your charm. It has poisoned me", tapi kalimat itu hanya ada dalam benakku. Kubasuh mukaku dengan air dingin dari keran. Aku mencoba mengumpulkan jiwaku. Kumelangkah kembali ke kelas sedikit tegap. Kudapati dirinya duduk di meja tempatku duduk. Ia membantu Helen menyelesaikan soal latihannya. Ia beranjak berdiri ketika melihatku datang dan tidak mempertanyakan lagi apakah aku sakit atau tidak. Aku mengambil polpen ekstra dari tasku karena polpen yang sedari tadi kupakai menghilang entah kemana. Mungkin terlupa di toilet, pikirku.

Sebentar lagi kelas berakhir, ia menutup pelajaran hari ini dengan beberapa pengumuman. Salah satunya adalah hari ini adalah kelas terakhirnya. Dan minggu depan adalah akhir dari kelas kami. Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin memulai spring semester. kubereskan buku-bukuku ketika ia tiba-tiba mendekat dan menyodorkanku polpen "maaf, sepertinya aku tidak sengaja mengambilnya" katanya padaku. Aku hanya mampu nyengir sambil meraih polpen yang sedari tadi kucari-cari.  Kuselipkan kertas-kertas latihanku dibuku catatanku. Mataku tertuju pada halaman yang sempat kucatatkan nama Ethan lengkap dengan gambar hati kecil. Ada yang berubah disana, sebuah lingkaran di gambar hati itu. Serta sebuah tulisan tangan yang bukan punyaku. Ada tanda panah di lingkaran hati itu dan tulisan "it means?" tak lupa emoticon lucu mengedip. Sempat kulihat Ethan tersenyum kecil padaku. "NOOOOOOO" teriakku dalam hati. (*)

Comments

  1. Apalagi kalo pacarnya itu cowok yah :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaaaarrrggghhhh!!!!!! Jahat :'(.

      Delete
  2. gyaaaaa ia cakep tuh kak >.< kira-kira masih ada kesempatan untuk bertemu? jangan lupa sampaikan salamku juga ya kak ^^ hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyyyaaa. Cakep Banget. Duh!!!!
      Kamis nanti farewell. Harus berfoto dengannya. HARUS!!!!!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar