Pemilihan umum telah memanggil kita. Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila, hikmah Indonesia merdeka…..
Bait lagu yang dulunya sering terdengar di program berita malam jelang pemilu di TVRI bisa menjadi soundtrack yang cocok untuk keadaan Makassar (Rabu, 28 oktober 2008). Makassar menggelar pemilihan untuk memilih calon walikota secara langsung untuk pertama kalinya. pemilihan walikota makassar untuk periode 2008-2012 yang menjadi ikon sebagai bentuk partisipasi demokrasi masyarakat dalam politik mungkin begitu berarti bagi sebagian orang, namun mungkin juga tidak berarti bagi orang lain.
TPS-TPS (tempat pemungutan suara) untuk sarana pemilihan suara tersebar di tiap sudut kota. Kecamatan Tamalanrea pun tak ketinggalan. Khususnya di sekitar kampus Unhas yang mayoritas warga yang bertempat tinggal di area ini adalah mahasiswa. Saya pun termasuk dalam daftar wajib pilih tersebut. Meski sebenarnya, saya pun terdaftar di kampung saat pemilihan bupati April 2007 lalu. Dua hari kemarin surat undangan untuk datang memilih di TPS 9 telah sampai di tanganku bersamaan dengan undangan-undangan untuk teman-teman pondokanku yang lain.
Rabu, Pukul 10 pagi kawasan jl. Politeknik Unhas masih tampak lengang. Tak ada aktivitas mahasiswa yang begitu mencolok yang menunjukkan antusiasme mereka untuk datang ke TPS. Ada tiga TPS di sekitar kompleks Unhas. TPS 16 yang bertempat di depan Departemen Sosial. TPS 9 yang berada di dekat workshop Unhas, dan TPS 11 di kawasan perumahan BTN Asal Mula.
Saya bersama Surahmat Pakaya (Kak rahe) merupakan satu dari sedikit warga dari JL.Politeknik Unhas yang antusias untuk memilih. Kami memiliki undangan memilih di dua TPS yang berbeda. Saya di TPS 9, sedangkan Kak Rahe di TPS 11. Namun, atas informasi dari ibu Farida, salah seorang warga dekat pondokanku, kami bisa memilih di TPS terdekat. Kami pun lantas memilih di TPS 16 yang berdekatan dengan pondokan kami.
TPs 16 berada tepat di depan Departemen Sosial. Di belakang gardu-gardu seng yang menjual berbagai perlengkapan mahasiswa. Mulai dari pulsa, rental pengetikan, hingga fotokopi di pinggir jalan raya di perintis kemerdekaan Km. 10. TPS ini hampir tak terlihat dari jalan raya. Papan petunjuk tentang TPS itu hanyalah sebuah karton berukuran A4 yang dipasang di tiang listrik bergambar anak panah dan sebuah kertas kuarto yang bertuliskan TPS 16 di sisi bawahnya. Seandainya tak ada seorang yang berpakaian hansip di dekat papan petunjuk itu mungkin tak ada yang menyadari keberadaan TPS tersebut.
Meski matahari telah memanas dan waktu menunjukkan pukul 10.30, namun kondisi TPS masih sepi. Yang ada hanya enam orang petugas KPPS dan tiga orang saksi dari para kandidat. Hingga siang itu baru empat orang yang datang memilih. Kami yang memiliki undangan dari TPS lain terpaksa menunggu untuk pengecekan daftar pemilih. Untungnya kami tetap diberi kesempatan memilih di TPS tersebut dan dicatat dilembar terpisah sebagai pemilih yang berasal dari TPS lain.
Dari Daftar pemilih kacau hingga golput
Daftar pemilih tetap di TPS 16 sesungguhnya berjumlah 568 wajib pilih yang tersebar di sepanjang jalan Politeknik Unhas, kawasan perumahan BTN Antara hingga jalan Sahabat. Bahkan ada juga pemilih yang terdaftar dengan alamat mesjid Kampus dan Pusat kegiatan Mahasiswa (PKM). Mayoritas pemilih adalah mahasiswa yang tinggal di pondokan. Mulai dari pondok Jihad hingga pondokan yang berada di bagian dalam BTN Antara.
Namun yang datang memilih di TPS 16 sepanjang pemantauan kami dan informasi dari Komite pelaksanaan pemilu boleh dihitung jari. Jika diasumsikan bahwa pemilih wajib yang terdaftar memilih untuk mencoblos di TPS terdekat dari pondokan atau kost-kostan mereka, artinya bahwa dapat di bagi menjadi tiga wilyah TPS. Diantaranya TPS 16 yang mengkapling daerah di sekitar Jl. Politeknik. TPS 9, yang pemilihnya bertempat tinggal di sekitar workshop Unhas, dan TPS 11 untuk pemilih yang berada di sekitar BTN asal-mula dan BTN Antara. Namun untuk TPS 16 saja sampai pukul 12 siang, pemilih yang datang untuk menggunakan hak suaranya lebih banyak dari kalangan warga biasa, bukan mahasiswa. Menurut anggota KPPS TPS 16, daftar wajib pilih tersebut banyak yang double di TPS lain. “Bahkan di TPS 15, daftar wajib pilihnya persis sama dengan daftar di TPS 16” terangnya
Mahasiswa memang diindikasi sebagai kalangan yang paling banyak menyumbang suara untuk golongan putih (golput). Hasil survey KPU Jember menemukan 90% mahasiswa di Jember lebih memilih golput dari pada memilih (Radar Jember,Senin 21 juli 2008). Dr. Mansyur Semma (alm) dalam kuliahnya, komunikasi politik menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan orang memilih golput, diantaranya ia memiliki kesadaran politik dan paham akan sistem politik. Mereka memilih untuk menjadi golput kerena menilai kandidat yang ada tidak cocok untuk memimpin. Selanjutnya bisa jadi mereka adalah orang-orang yang mapan secara sosial dan ekonomi sehingga tidak bergantung pada situasi politik. Golput pun menjadi pilihan untuk menyuarakan ketidaksetujuan dan kekecewaan terhadap sistem politik.
Namun selain faktor itu, faktor lain pun bisa menjadi sebab mereka golput. Bisa jadi mereka terpaksa golput karena tidak terdaftar, tidak memiliki kartu pemilih atau tak memiliki undangan. Atau karena mereka memang malas untuk memilih dan tak peduli dengan politik. Faktor terakhir ini bisa jadi menjadi alasan bagi para mahasiswa untuk tidak memilih. Seperti yang diakui oleh Jumriani, mahasiswa farmasi 2006, ia tidak menggunakan hak pilih dengan alasan tak peduli dengan politik. Mahasiswi asal sengkang ini pun terdaftar di kabupaten sengkang yang juga mengadakan pemilihan bupati bertepatan dengan pilkada di makassar. Namun, tak satu pun dari dua pesta rakyat itu yang dihadirinya.
Persentase suara golput memengaruhi jumlah persentase suara dari kandidat. Website pemilu2004.goblogmedia.com menjelaskan bahwa untuk menghitung persentase pemenang pilkada yaitu dengan cara jumlah suara yang diperoleh dibagi dengan jumlah surat suara sah dikali 100 persen. Surat suara sah jika yang dipilih hanya satu kandidat calon. Sedangkan surat suara yang tidak sah jika tidak ada satu kandidat pun yang dicoblos atau mencoblos lebih dari satu kandidat.
Jika daftar pemilih 100 orang kemudian semua menggunakan hak pilihnya secara sah dan dan suara untuk kandidat A adalah 40 suara, maka persentase yang didapat adalah 40%. Sedangkan jika dari 100 pemilih yang terdaftar hanya 50 orang yang memiliki surat suara sah dan jumlah suara yang diperoleh adalah 40 suara maka persentase adalah 80%. Naik 40% jika dibanding jika semua orang menggunakan hak pilihnya. Jadi sesungguhnya ketika seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, maksa suara golputnya akan terbagi pada beberapa kandidat dan memberi peluang kepada kandidat dengan suara terbanyak untuk memperoleh persesntase yang lebih tinggi.
Sesungguhnya untuk kalangan yang berminat golput ada dua jalan yang bisa mereka tempuh yaitu tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih atau menggunakan hak suaranya tanpa memilih atau mencoblos, atau abstain dengan membuat surat suara yang tidak sah saat di bilik suara.
Golput pun adalah sebuah pilihan. Ia hanyalah sebuah jalan untuk membentuk kesadaran publik dan politik. Ketika persentase golput sangat tinggi maka perlu dipertanyakan bagaimana kepercayaan masyarakat pada sistem politik yang ada.
Mereka yang memilih
Meski sedikit, namun ada juga mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya. Eki misalnya, mahasiswa hukum, Unhas 2006 melihat bahwa pemilihan langsung adalah saat dimana warga negara ikut berpartisipasi dalam demokrasi. “ saya ingin menggunakan hak pilih sebagai warga negara yang baik ”jelasnya.
telah memiliki pasangan kandidat yang pas untuk pilihannya. Ia menilai pasangan kandidat tersebut berdasarkan visi misinya. Seperti halnya Eki, Ajie (mahasiswa fakutas hukum Reso 2006) juga menggunakan hak pilihnya. Ia memilih pasangan kandidat yang visi misinya sangat baik untuk Makassar ke depan. “ saya memilih seorang kandidat karena saya sangat berharap ia mampu menepati janjinya” terangnya.
(dwiagustriani dan surahmat pakaya)
Bait lagu yang dulunya sering terdengar di program berita malam jelang pemilu di TVRI bisa menjadi soundtrack yang cocok untuk keadaan Makassar (Rabu, 28 oktober 2008). Makassar menggelar pemilihan untuk memilih calon walikota secara langsung untuk pertama kalinya. pemilihan walikota makassar untuk periode 2008-2012 yang menjadi ikon sebagai bentuk partisipasi demokrasi masyarakat dalam politik mungkin begitu berarti bagi sebagian orang, namun mungkin juga tidak berarti bagi orang lain.
TPS-TPS (tempat pemungutan suara) untuk sarana pemilihan suara tersebar di tiap sudut kota. Kecamatan Tamalanrea pun tak ketinggalan. Khususnya di sekitar kampus Unhas yang mayoritas warga yang bertempat tinggal di area ini adalah mahasiswa. Saya pun termasuk dalam daftar wajib pilih tersebut. Meski sebenarnya, saya pun terdaftar di kampung saat pemilihan bupati April 2007 lalu. Dua hari kemarin surat undangan untuk datang memilih di TPS 9 telah sampai di tanganku bersamaan dengan undangan-undangan untuk teman-teman pondokanku yang lain.
Rabu, Pukul 10 pagi kawasan jl. Politeknik Unhas masih tampak lengang. Tak ada aktivitas mahasiswa yang begitu mencolok yang menunjukkan antusiasme mereka untuk datang ke TPS. Ada tiga TPS di sekitar kompleks Unhas. TPS 16 yang bertempat di depan Departemen Sosial. TPS 9 yang berada di dekat workshop Unhas, dan TPS 11 di kawasan perumahan BTN Asal Mula.
Saya bersama Surahmat Pakaya (Kak rahe) merupakan satu dari sedikit warga dari JL.Politeknik Unhas yang antusias untuk memilih. Kami memiliki undangan memilih di dua TPS yang berbeda. Saya di TPS 9, sedangkan Kak Rahe di TPS 11. Namun, atas informasi dari ibu Farida, salah seorang warga dekat pondokanku, kami bisa memilih di TPS terdekat. Kami pun lantas memilih di TPS 16 yang berdekatan dengan pondokan kami.
TPs 16 berada tepat di depan Departemen Sosial. Di belakang gardu-gardu seng yang menjual berbagai perlengkapan mahasiswa. Mulai dari pulsa, rental pengetikan, hingga fotokopi di pinggir jalan raya di perintis kemerdekaan Km. 10. TPS ini hampir tak terlihat dari jalan raya. Papan petunjuk tentang TPS itu hanyalah sebuah karton berukuran A4 yang dipasang di tiang listrik bergambar anak panah dan sebuah kertas kuarto yang bertuliskan TPS 16 di sisi bawahnya. Seandainya tak ada seorang yang berpakaian hansip di dekat papan petunjuk itu mungkin tak ada yang menyadari keberadaan TPS tersebut.
Meski matahari telah memanas dan waktu menunjukkan pukul 10.30, namun kondisi TPS masih sepi. Yang ada hanya enam orang petugas KPPS dan tiga orang saksi dari para kandidat. Hingga siang itu baru empat orang yang datang memilih. Kami yang memiliki undangan dari TPS lain terpaksa menunggu untuk pengecekan daftar pemilih. Untungnya kami tetap diberi kesempatan memilih di TPS tersebut dan dicatat dilembar terpisah sebagai pemilih yang berasal dari TPS lain.
Dari Daftar pemilih kacau hingga golput
Daftar pemilih tetap di TPS 16 sesungguhnya berjumlah 568 wajib pilih yang tersebar di sepanjang jalan Politeknik Unhas, kawasan perumahan BTN Antara hingga jalan Sahabat. Bahkan ada juga pemilih yang terdaftar dengan alamat mesjid Kampus dan Pusat kegiatan Mahasiswa (PKM). Mayoritas pemilih adalah mahasiswa yang tinggal di pondokan. Mulai dari pondok Jihad hingga pondokan yang berada di bagian dalam BTN Antara.
Namun yang datang memilih di TPS 16 sepanjang pemantauan kami dan informasi dari Komite pelaksanaan pemilu boleh dihitung jari. Jika diasumsikan bahwa pemilih wajib yang terdaftar memilih untuk mencoblos di TPS terdekat dari pondokan atau kost-kostan mereka, artinya bahwa dapat di bagi menjadi tiga wilyah TPS. Diantaranya TPS 16 yang mengkapling daerah di sekitar Jl. Politeknik. TPS 9, yang pemilihnya bertempat tinggal di sekitar workshop Unhas, dan TPS 11 untuk pemilih yang berada di sekitar BTN asal-mula dan BTN Antara. Namun untuk TPS 16 saja sampai pukul 12 siang, pemilih yang datang untuk menggunakan hak suaranya lebih banyak dari kalangan warga biasa, bukan mahasiswa. Menurut anggota KPPS TPS 16, daftar wajib pilih tersebut banyak yang double di TPS lain. “Bahkan di TPS 15, daftar wajib pilihnya persis sama dengan daftar di TPS 16” terangnya
Mahasiswa memang diindikasi sebagai kalangan yang paling banyak menyumbang suara untuk golongan putih (golput). Hasil survey KPU Jember menemukan 90% mahasiswa di Jember lebih memilih golput dari pada memilih (Radar Jember,Senin 21 juli 2008). Dr. Mansyur Semma (alm) dalam kuliahnya, komunikasi politik menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan orang memilih golput, diantaranya ia memiliki kesadaran politik dan paham akan sistem politik. Mereka memilih untuk menjadi golput kerena menilai kandidat yang ada tidak cocok untuk memimpin. Selanjutnya bisa jadi mereka adalah orang-orang yang mapan secara sosial dan ekonomi sehingga tidak bergantung pada situasi politik. Golput pun menjadi pilihan untuk menyuarakan ketidaksetujuan dan kekecewaan terhadap sistem politik.
Namun selain faktor itu, faktor lain pun bisa menjadi sebab mereka golput. Bisa jadi mereka terpaksa golput karena tidak terdaftar, tidak memiliki kartu pemilih atau tak memiliki undangan. Atau karena mereka memang malas untuk memilih dan tak peduli dengan politik. Faktor terakhir ini bisa jadi menjadi alasan bagi para mahasiswa untuk tidak memilih. Seperti yang diakui oleh Jumriani, mahasiswa farmasi 2006, ia tidak menggunakan hak pilih dengan alasan tak peduli dengan politik. Mahasiswi asal sengkang ini pun terdaftar di kabupaten sengkang yang juga mengadakan pemilihan bupati bertepatan dengan pilkada di makassar. Namun, tak satu pun dari dua pesta rakyat itu yang dihadirinya.
Persentase suara golput memengaruhi jumlah persentase suara dari kandidat. Website pemilu2004.goblogmedia.com menjelaskan bahwa untuk menghitung persentase pemenang pilkada yaitu dengan cara jumlah suara yang diperoleh dibagi dengan jumlah surat suara sah dikali 100 persen. Surat suara sah jika yang dipilih hanya satu kandidat calon. Sedangkan surat suara yang tidak sah jika tidak ada satu kandidat pun yang dicoblos atau mencoblos lebih dari satu kandidat.
Jika daftar pemilih 100 orang kemudian semua menggunakan hak pilihnya secara sah dan dan suara untuk kandidat A adalah 40 suara, maka persentase yang didapat adalah 40%. Sedangkan jika dari 100 pemilih yang terdaftar hanya 50 orang yang memiliki surat suara sah dan jumlah suara yang diperoleh adalah 40 suara maka persentase adalah 80%. Naik 40% jika dibanding jika semua orang menggunakan hak pilihnya. Jadi sesungguhnya ketika seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, maksa suara golputnya akan terbagi pada beberapa kandidat dan memberi peluang kepada kandidat dengan suara terbanyak untuk memperoleh persesntase yang lebih tinggi.
Sesungguhnya untuk kalangan yang berminat golput ada dua jalan yang bisa mereka tempuh yaitu tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih atau menggunakan hak suaranya tanpa memilih atau mencoblos, atau abstain dengan membuat surat suara yang tidak sah saat di bilik suara.
Golput pun adalah sebuah pilihan. Ia hanyalah sebuah jalan untuk membentuk kesadaran publik dan politik. Ketika persentase golput sangat tinggi maka perlu dipertanyakan bagaimana kepercayaan masyarakat pada sistem politik yang ada.
Mereka yang memilih
Meski sedikit, namun ada juga mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya. Eki misalnya, mahasiswa hukum, Unhas 2006 melihat bahwa pemilihan langsung adalah saat dimana warga negara ikut berpartisipasi dalam demokrasi. “ saya ingin menggunakan hak pilih sebagai warga negara yang baik ”jelasnya.
telah memiliki pasangan kandidat yang pas untuk pilihannya. Ia menilai pasangan kandidat tersebut berdasarkan visi misinya. Seperti halnya Eki, Ajie (mahasiswa fakutas hukum Reso 2006) juga menggunakan hak pilihnya. Ia memilih pasangan kandidat yang visi misinya sangat baik untuk Makassar ke depan. “ saya memilih seorang kandidat karena saya sangat berharap ia mampu menepati janjinya” terangnya.
(dwiagustriani dan surahmat pakaya)
Comments
Post a Comment