Aku punya kotak ajaib. Sebuah kotak sepatu yang kubungkus dengan kertas kado. Tempat aku menyimpan barang-barang berharga milikku. Ia tak berisi emas, tak berisi berlian, tak berisi uang, atau bahkan surat-surat tanah milik Ettaku.
Kotak itu berisi sebuah surat cinta yang kudapat dari seorang teman SMP yang dulu begitu aku suka. Kumpulan kertas ulangan waktu sekolah dulu.dengan nilai beragam. Mulai dari nilai sepuluh hingga angka tiga. Buku raport dari SD hingga SMP. Surat pertama yang kudapat lewat pos. Sebuah jam tangan Oreo yang kudapat dari hadiah 1000 pengirim pertama undian oreo. Dan sebuah surat perjanjian pra nikah antara Mama dan Ettaku. Dan satu lagi, tiga buku diary berkunci yang gemboknya telah kurusak agar aku mampu membaca apa yang kutulis waktu itu. Kunci-kunci diary itu entah dimana sekarang… Unik kan…..????
Kotak itu akan aku wariskan buat anak-anakku suatu saat nanti….romantis bukan?
Selain kotak, aku juga punya mesin waktu. Sebuah meja yang berlaci. Seperti pada kartun Doraemon, dimana Doraemon punya mesin waktu melalui laci meja belajar Nobita. Yah..kalo dibilang seperti itu gambarannya. Tapi laci meja belajarku tidaklah mungkin bisa dimasuki dan kemudian membawamu ke tempat-tempat yang ingin kamu kelanai. Yang pastinya ia tak bisa membawamu ke zaman dinosaurus. Tidak bisa membawa ke abad 22. Dan yang pastinya, mesin waktu ini hanya aku yang mampu memakainya….hehehe…
Aku menjenguknya tadi. Meja itu akan dipakai Kak Ipah untuk praktek dokternya. Tempat prakteknya sudah jadi, namun peralatan-peralatan dan meja obatnya belum dibereskan. Meja itu menjadi prabot pertama selain tempat tidur kayu untuk pasiennya.
Dia terdiam di situ. Masih dalam bisu. Mungkin menunggu kisah yang akan direkamnya lagi.
Ia pernah menempati istana terbaik yang pernah kumiliki. Istana terindah yang pernah aku punyai. Sebuah ruang berukuran 2 x 3 meter di rumah panggungku. Tempat penuh dengan buku, poster, mimpi, dan semua khayalanku. Ruang itu sangat sederhana. Tampak sesak malah. Ada tempat besi, rak buku tempat komik, novel, majalah, tabloid, dan boneka-bonekaku. Dan tak lupa meja itu.
Tapi biarkan aku menceritakan istanaku dulu. Dari segi dekorasi tak begitu baik. Layaknya kamar di rumah kampung, ya begitu saja. Tak ada yang begitu istimewa. Warnanya coklat triplex. Ada gantungan pintu yang gemerincing di bagian tengah kamar itu. Tepat di gantungan lampunya. Selain itu ada tweety juga tergantung. Entah ia dianggap sebagai peri kamar atau papan pengumuman. Karena dibelakang hiasan tweety itu, ada pengumuman dari ratu istana itu.
Tak di cat hanya dipenuhi dengan banyak wajah. Populasi instanaku sangat banyak. Pernah aku mencoba mensensusnya lebih dari 100 orang. Termasuk poster-poster yang terpasang memenuhi hampir semua inci dari kamar itu. Jika langit-langit kamar bisa ditempeli poster, pastinya juga takkan terlewatkan dengan asumsi ketika terbangun bisa melihat wajah segar. Tapi tidak terjadi.
Terus terang kamar itu merupakan legacy dari kakak-kakakku. Kamar itu selalu menjadi penanda kedewasaan bagi kami. Setiap orang yang berpindah ke kamar itu, berarti ia telah mandiri. Karena kami tinggal di kampung dan untuk kuliah harus tinggal di kota, sehingga setiap yang kuliah harus numpang di rumah keluar atau nge-kos di kota. Secara otomatis anggota keluarga di rumahku akan berkurang, dan perpindahan kamar pun terjadi.
Awalnya kamar itu ditempati kakak tertuaku, Anti. Pada zamannya, kamar itu tidak begitu dipenuhi oleh poster. Variasi poster pun begitu berbeda. Saat Kak Anti menjadi penguasa di kamar itu, poster-poster yang terpasang adalah poster Tommy Page, Nike Ardilla, Paramita Rusady dan Ongki Alexander, Ryan Hidayat dan juga poster dirinya.
Yah…poster dirinya, di zamannya ada fasiltas untuk membuat foto menjadi poster satu warna. Merah, biru atau kuning. Yah…kakka tertuaku memang hidup di zaman belum ada Mtv. Selera musiknya pun saat itu paling keren White Lion. Sejaman sih. Kalo dari musik Indonesia, ya…dangdut dan lagu Nike Ardilla. Anggaplah zaman kakak tertuaku ini masih zaman peradaban pertengahan. Kalo bukan ice age.
Setelah Kakak Anti pergi, kamar itu resmi dimiliki oleh kakak keduaku, Ipah. Di tangannya kamar ini berubah. Ada tape yang biasa ia gunakan untuk konser, deretan kaset-kaset pita, mulai dari Kahitna, Fatur Rahman, Protonema, Boyzone, Firehouse, Vertical Horizon hingga Bon Jovi. Tak ketinggalan BACKSTREET BOYS (Princes Charming dalam imaji kami berdua).
Dekorasi kamar pun berubah. Semua inci di pasangi oleh 5 wajah yang sama. Backstreet Boys. Kalo semua gambar itu dihitung perkepala, wajar saja populasi kamar begitu banyak. Zamannya telah ada Mtv. Tontonan kami malah MTV Singapura yang sinyalnya lewat parabola. Generasi 96-an. Dia juga yang kemudian membuatku menyukai Boybands.
Majalah-majalah remaja yang kami baca pun bukan lagi Aneka yess yang selalu menghadirkan berita dalam negeri saja. Kawanku dan Anita menjadi dua majalah pamungkas untuk mencari segala sesuatu tentang Backstreet Boys dan Boybands. Aliran musiknyalah yang kuikuti, pop dan musik 90-an.
Ia pulalah yang menggantung hiasan tweety dan membuat kebijakan di “kerajaan”itu. Jadi sebenarnya dialah ratu yang meletakkan pondasi wilayah territory di kamar itu.
Terkadang ketika kami bercerita kembali, Kak Ipah selalu mengatakan “liat apa yang saya wariskan ke kamu. Selera musik yang lumayan, dan juga selera buku yang lumayan. Kalo kak Anti hanya mewariskan lagu dangdut padaku”.
Aku dan kak Ipah begitu dekat, mungkin karena usia kami tidak terlampau jauh. Karena itulah kadang aku hidup dibawah pengaruhnya. Hahahaha
Ketika dia kuliah, otomatis kamar itu menjadi milikku. Awalnya aku membuatnya begitu apa adanya. Dengan puluhan gambar Backstreet Boys menggantung. Tapi kemudian aku mengubahnya. Semua poster itu kucabuti. Dan ku cat dia dengan warna biru langit. Dan sebuah ide konyol untuk menggambari awan di beberapa tempat. Jadi idenya seperti hidup di langit. Tapi kadang imaji tak seperti realitas, dan akhirnya awannya tampak aneh. Tapi saat itu aku sangat puas. Aku kurang tahu sejak kapan kamar itu ku tempati. Kelas satu SMP, mungkin..
Yang aku tahu, di kamar itulah aku banyak menyulam mimpi-mimpiku.seperti kakak-kakakku yang lain, kamar itu menjadi tempat berkhayal, bermimpi, dan belajar hingga larut malam. Tempat yang paling indah untuk malas-malasan dan berpura-pura tidak mendengar panggilan Mama.hehehehe
Kamar itu dan segala isinya telah merekam semua mimpi-mimpi kami. Mimpi-mimpi masa remaja kami. Aku yakin tak hanya aku yang bermimpi, tapi semua kakak-kakakku.
Dan meja itu, meja yang menjadi saksi bisu untuk tiap laku kami diatasnya. Ketika kami sedang belajar, membalas surat cinta, atau curhat di diary. Aku selalu merasa nyaman di atasnya. Aku pernah melist mimpi-mimpiku di situ.
Dan ya..laci itu, ku coba untuk membukanya tadi. Masih ada sisa-sisa kenanganku di sana. Beberapa gambar Backstreet Boys, F4, berlembar-lembar tulisan yang merekam hari-hariku di kelas dua SMA. Aku menggunakan mesin waktu. Ku baca tiap lembarannya. Membuatku tertawa dan kadang terharu. Beberapa istilah yang kubuat sendiri tak mampu lagi aku pahami. Beberapa kenangan bahkan sudah begitu samar.
Surat-surat dari teman sekelas, saat aku tidak ke sekolah yang selalu mengatakan “kelas sunyi tanpa dirimu yang selalu ribut dan berteriak”. Ternyata bad habbit itu telah lama aku idap, dan ironisnya Etta baru tahu kalo aku begitu ribut ketika memetik buah pepaya malam lalu. (kita mungkin harus sering sama-sama, etta.).
Aku seperti melihat kembali Dwi yang enerjik, selalu optimis, punya banyak mimpi, begitu aktif, dan menyenangi tiap pekerjaannya. Ada cerita-cerita d imana aku membuat mading, menulis cerpen, dan membuat proyek pribadi. Begitu indah saat itu.
Namun, itu kemudian membuatku melihat nanar saat ini. Tak kutemu lagi Dwi yang begitu energik, selalu optimis, dan mampu menyelesaikan semua masalah. Yang kudapati sekarang adalah diriku yang telah menua dan tak mampu mewujudkan mimpiku. Yang sadar dengan ketakmampuannya. Padahal aku pernah bermimpi di usiaku yang sekarang aku telah menemukan jalan hidup. Ironisnya, aku pun mulai takut untuk bermimpi. Kenyataan begitu berbeda dengan imaji.
Itu pun yang dirasakan Kak Ipah “apalah lagi yang hendak dimimpikan oleh ibu beranak satu” katanya suatu waktu.
Dan aku pun merasakan hal yang sama. Aku kemudian berusaha realistis, menyelesaikan tugas akhir sebagai suatu beban. Dulunya, aku melalui tiap ujianku dengan sebuah mimpi di ujung sana. Aku selalu menganggapnya seperti sebuah titian yang harus dijalani dan di seberang sana akan ada pangeran yang menunggumu. Dan aku kuat dengan mimpi itu. Tapi itu semua hanyalah semu. Telah banyak titian, dan pangeran itu tak kunjung datang menemaniku untuk menggapai mimpi. Tugas akhir kemudian menadi beban yang beigtu berat. Seperti harus memakan tepung beras disaat tenggorokanmu sedang haus dan sakit. Begitu menyesakkan.
Setiap orang memintaku untuk selesai untuk bisa menghadapi realitas. Dan pada akhirnya aku harus tunduk pada realitas. Aku kalah. Mungkin bermimpi bukanlah sebuah jalan. Meski Kugi mengatakan teruslah bermimpi, dan Aria pun mengatakan untuk juga tetap bermimpi karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.namun itu tak juga bisa membuatku terlepas dari beban ini.
Semua telah berubah, aku bukan lagi gadis remaja yang bebas bermain di alam fantasi. Bermimpi bisa bertemu dengan pangeran William, mewawancarai nick carter, memiliki perusahan majalah sendiri. Entahlah, waktu terasa makin menyempit, dan aku harus terbangun untuk menyadari bahwa mimpi itu hanyalah sebuah imaji indah. Sadar bahwa tangan dan kakiku hanya mampu membuatku berjalan sejauh ini. Mereka bukanlah sayap yang mampu menderbangkanku lebih tinggi.
Semua telah berubah. Kamar itu kini tak ada, meja itu tak lagi untuk merekam mimpi-mimpiku. Lacinya sudah harus di benahi untuk praktek kak ipah. Aku hanya punya sebuah kardus bekas tempat sepatu yang mungkin akan sesekali membuatku merasa remaja.
Semua memintaku untuk selesai. Alasannya sudah terlalu lama kuliah apalagi yang kamu tunggu. Sudah harus bekerja. Sudah saatnya menikah. Dan banyak lagi hal-hal yang lain….
Aku rindu dwi yang energik, selalu melakukan hal-hal kecil yang menggembirakan dan mampu memuaskan dirinya…..(*)
Aku menulis refleksi ini sambil mendengar lagu Backstreet Boys…ternyata aku telah begitu tua untuk menikmati lagunya…..
haha..... dwi aku juga punya kotak seperti itu dulu, yang paling kuingat ada buku besar judulnya "apa dan mengapa" yang selalu kubaca setiap pulang sekolah waktu sd
ReplyDeletehttp://lumerkoz.edu I'm happy very good site biaxin side effects punctuation linger vicodin side effects hearts flagyl cagle attacked maxalt salturkey zovirax side effects pythagorean griffins
ReplyDelete