Skip to main content

Menyapih Ara

Hari ini adalah hari dimana saya harus tega melihatnya menangis. Menghitung apa saja yang masuk dalam perutnya. Mengkalkulasi dan mereka-reka apakah ia cukup memenuhi energi hari ini. Lima buah pare telah saya siapkan. Untuknya. Untuk menjauhkannya dari sumber hidup yang selama ini ia andalkan. Tubuhku. Payudaraku. 

Semua begitu cepat tanpa persiapan.  Ia kembali ke aktivitasnya mogok makan dan mengandalkan ASI-ku. Padahal di Bone ia cukup mau makan sekalipun saya tidak menyebutnya banyak. At least dia akan mengunyah barang tiga atau empat suap. Hitungan yang selalu kuanggap sah untuk aktivitas makannya. Saya tidak memintanya memakan sepiring penuh lengkap dengan lauk pauk dan sayur. Saya hanya memintanya membuka mulut, mengunyah nasi atau lauk pauknya saja. Tanpa membuangnya begitu makanan itu masuk mulutnya. Tiga atau empat suap tak masalah bagiku. Asalkan sudah kupastikan ada makanan yang masuk ke mulutnya. Tapi setibanya di Baubau ia sama sekali tidak mau makan. Bahkan hanya sekedar menyentuh nasinya. Entah apa yang membuatnya demikian kukuh dengan pendiriannya. Ia sama sekali tidak mau makan. Setiap kali ia diberi makan maka dengan segera ditutupnya mulutnya dengan lengannya. Tak dibiarkannya satu butir nasi pun yang masuk. 

Dan kemudian saya memutuskan untuk menyapihnya. Menghentikan ketergantungannya pada air susuku. Ia tidak pernah mengkonsumsi susu formula. Menjadi sebuah problem lagi untuk membiasakannya meminum susu. Telah kucobakan Dancow untuknya di Bone dulu. Sukses hanya menyentuh mulutnya setelah itu ia tepis. Susu bubuk itu kini jadi mainan Khanza untuk bonekanya. Kucobakan susu Promise milik Khanza, susu yang harga 100ribu perkotak. Juga ia tolak. Entah rasanya yang aneh atau dia memang tidak suka. 

Ketika ia menolak semua susu itu, saya menyerah mengajarinya. Belakangan ini dia doyan minum milo. Minum yang sejatinya bukan susu. Kuajarkan dia minum susu UHT, tapi ia lebih suka menghabiskan teh kotak. Hari ini tanpa persiapan saya menyapihnya. Tanpa mengucapkan sebuah kalimat perpisahan pada aktivitas menyusunya semalam. Aktivitas yang kusadari tidak hanya memberikan ketenangan buatnya, tapi juga memberikan ketenangan buat saya. 

Buah pare itu kuparut dan kubalurkan ke payudaraku. Sekali ia mencoba ia memilih menjauh. Pahitnya tidak tertahankan oleh lidahnya. Ia menangis. Seperti dirampas mainan kesayangannya. Tak tega rasanya. Namun, ini adalah pembelajaran. Kubelikan air mineral dan susu UHT. Ia pun akhirnya meminum susu itu. Meski tidak dengan lahap. Tapi ia berhasil meminumnya sedikit sedikit. Tidak ada ritual bobo siang hari ini. Tidak ada nenen yang membuat terlelap. Saya tahu ia begitu mengantuk, tapi ia pun tidak berteriak meminta nenen. Ia hanya menangis dan gelisah. Ayahnya membawanya bermain untuk melupakan laranya. Meski sesekali ia merintih begitu perih. 

Kucoba buatkan makanan untuknya. Tapi juga tetap ditolaknya. Bersikukuh dia tidak memakan apapun. Susunya pun tak tersentuh. Entah adakah air mineral yang masuk ke tubuhnya. Yang pasti celananya belum basah ketika kugantikan siang tadi. 

Kumasukkan susu UHT ke dalam botolnya. Cukup senang ia mengambilnya dan berkata "bobo". Ritual yang sering ia lihat ketika Khanza mngedot. Tapi lagi-lagi ia tidak pandai ngedot. Puting botol mungkin terlalu keras untuknya. Sekalipun telah kugunting ujungnya tetap saja ia tak mampu mengontrol debit susunya. Ia meminumnya sekali kemudian berhenti. Ia belum mau makan. Entah sampai kapan. Rasanya geregetan melihatnya. 

Saya mungkin ibu yang kurang pandai memberinya makan. Terlalu ideal untuk memberinya tanpa gula dan garam diawal ia belajar makan, hingga lupa pada rutinitas makan yang harus terjadwal. Saya pun terlalu nyaman memberinya air susu. Tanpa perlu untuk mendisiplinkannya makan. Sayalah yang kurang pandai membesarkannya. 

Awalnya kupikir menyusui adalah perkara yang sangat susah, ternyata menyapih pun tak kalah susahnya. Kami telah memilik ikatan. Bonding kami kuat karena proses menyusui tersebut. Sehingga rasa-rasanya ada yang hilang ketika ia tidak menyusu sepanjang siang ini. 

Menyapih serupa berpisah dengan Ara. Menyadari bahwa ia kini bertubuh besar dan tidak lagi harus bergantung pada saya. Menyapih bukan sekedar memisahkan anak dari ASI tapi juga mengajarkan kemandirian. Tidak bergantung pada orang lain. Tapi ternyata menyapih bukanlah perkara gampang. Butuh kondisi psikologis yang baik. Persiapan mental yang cukup untuk menghadapi efek sampingnya. Seperti kata tetangga, proses menyapih adalah proses yang mengurai air mata, tapi harus dilakukan. Saya telah mencobanya dan kami sama-sama menangis. Saya belum siap menyapihnya. Saya masih ingin dia menyusu di payudara saya. Saya masih ingin bermain mata dengannya kala ia menyusu. Detail-detail kecil yang kelak akan saya rindukan ketika ia besar. Mungkin saya yang belum siap disapih dari Ara. Mungkin juga proses menyapih serupa proses move on antara sepasang manusia. Dibutuhkan sikap dewasa untuk saling melepaskan. Tapi saya yakin, ketika keduanya akan melepaskan hati mereka tidak bertaut lagi. Hari ini saya belum siap menyapih Ara dan Ara pun belum siap menyapih saya. Mungkin butuh waktu yang tidak lama lagi untuk kami saling melepaskan. Tapi belum sekarang. 

Dan sore ini, ia kembali tidur di atas tubuhku mengisap payudaraku. Rasanya begitu tenang merasakan ia dalam dekapanku. Kami masih saling belajar untuk melepaskan. We working on it. (*)

Baubau, 25 Agustus 2013

Comments

  1. bagi saya sebaliknya, mbak dwi ibu yg luar biasa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya masih belajar mbak Mila :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dapat Kiriman Moneygram

Ini adalah pengalaman pertama saya mendapatkan kiriman uang dari luar negeri. Sedikit norak dan kampungan sih. Tapi tak ada salahnya membaginya di sini. Setelah saya googling di internet kurang yang mau berbagi pengalaman tentang transferan luar negerinya. Nah, karena Kak Yusran yang bersekolah di Amerika berniat mengirimi saya uang buat tiket ke Bau-Bau, maka dia akhirnya mengirimkan uang. Dalam bentuk dollar lewat jasa layanan Moneygram yang banyak tersedia di supermarket di Amerika. Moneygram sama seperti Western Union. Tapi Western Union lebih merakyat. Mereka bekerja sama dengan kantor Pegadaian dan kantor pos. Sehingga di kampungku pun ada fasilitas Western Union (tapi saya belum tahu berfungsi atau tidak). Moneygram sendiri setahu saya hanya bekerja sama dengan beberapa bank. Saya belum pernah tahu kalo Moneygram juga sudah bekerja sama dengan kantor pos, meskipun informasi dari teman-teman di twitter mengatakan demikian. Jasa layanan pengiriman uang macam Moneygram dan Western

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar

June, I Wont Remember

Ada yang ironi membaca judul yang kubuat di atas. Mengapa? Karena dua tahun lalu saya mengumpulkan cerpen-cerpen dan prosaku dalam satu buku yang kuberi judul "June, I Remember".  June, you come. As usual. Once in a year. Setia seperti matahari pagi yang terbit. Sayangnya, Juni kali ini tidak begitu kunantikan. Ada satu, dua dan beberapa alasan kenapa saya tidak begitu senang dengan Juni. Ini hanyalah pendapat pribadi dan hanyalah pada tahun ini.  Kenangan dan ingatan akan bulan juni di masa silam terlalu romantis di kepalaku. Membulat dalam ruang kosong hampa dan beterbangan di sana. Kemudian Juni tahun ini seperti chaos yang meluluhlantakkan  ruang kosong itu. Angan membuyar, debu kenangan mengabut. Namun, sekalipun demikian kenangan-kenangan itu melekat samar di benakku. Karenanya Juni tahun ini datang membawa hawa tak menyenangkan. Saya perlu berlari. Chaos pastinya tak mampu terelakkan namun pergi adalah langkah paling kongkret untuk meminimalisir kesakitan. Maka, Juni,