Puluhan penanda telah jauh hadir serupa mercuar pemberi cahaya pada perahu-perahu yang terobang ambing. Isyarat silih datang dan pergi. Memantik hati dan membawa firasat. Jalan menemuimu dipenuhi petunjuk-petunjuk yang tak lagi mampu aku terjemahkan. Tentang jalanan datar tanpa gundukan dan belokan ataukah peringatan bahaya agar berhati-hati.
Aku berjalan ke depan. Menyongsong segala yang akan kutemui. Menepis was-was dan curiga. Pada hatiku kupercayakan kompas penunjuk arah dan ia membawaku kepadamu.
Kepada ribuan detik yang kita lalu bersama. Ratusan menit yang merekam kenangan kita. Puluhan jam yang berusaha kita luangkan. Dan hari-hari tak begitu banyak yang bisa kita klaim milik kita.
Aku menuju ujung hatimu. Terjun bebas tanpa tahu entah apa yang akan menantiku di dasar sana. Bahkan kuragu apakah hatimu memiliki dasar yang mampu membuatku kembali berjejak meski telah patah.
Isyarat masih saja silih berganti. Menyusup di tidur malamku, mengejutkan serupa hantu. Membuatku terjaga di sisa malam, mengingatmu, dan merindukanmu hingga hatiku terasa panas dan ingin meledak. Merindukan lenganmu yang akan kembali merangkulku, merengkuh ke dalam dadamu yang menyenangkan dan bersandung nina bobo setelah kamu berbisik "jangan khawatir, aku disini".
Namun yang kulalui adalah malam-malam yang panjang dan sepi. Lenganku kurengkuh mengikat tubuh. Tidak untuk menangkan hati tapi membuatnya kuat dan tabah.
Kemudian kita saling bercerita isyarat. Menautkan keping-keping kekhawatiran. Ragu kita melangkah. Melepaskan genggaman menjadi pilihan. Tapi hati memilih menolak. Aku mempercayainya. Ia telah mengantarku kepadamu menepis isyarat yang dulu membuatku ragu.
Aku tidak ingin melepas tanganmu. Bawa aku bersamamu kemanapun itu. Lupakan firasat yang menakutkan hati kita. Kali ini biar aku yang menarik tanganmu dan menggenggamnya. (*)
Makassar, 18 Agustus 2013
Comments
Post a Comment