Jika bukan karena ibu maka saya tak akan menginjakkan kaki di tempat ini. Ibu yang bekerja sebagai tenaga kerja di negara tetangga memintaku lewat telepon untuk membuat rekening agar mudah mengirim uang di kampung. Sayalah yang didaulat sebagai pembuka rekening. Karena sayalah yang paling paham soal hitung-hitungan meski belajarnya otodidak.
Saya duduk di depan perempuan itu. Gemetaran. Untungnya ia tak memintaku mengisi biodataku sendiri. Perempuan tersebut tersenyum dan menanyaiku. Dari namaku hingga nama ibuku. Lantas ia menyodorkan polpen untuk kutandatangani formulir itu. Dengan grogi kuraih polpen itu dan membuat dua garis goresan yang gampang saya ulangi.
Perempuan itu tersenyum puas. Giginya tersusun rapi. Sapuan bedaknya tipis dan tidak menor. Bibirnya yang tipis selalu tersenyum. Ada rambut nakal yang sedikit berantakan keluar dari sanggulnya. Perempuan itu tetap melayaniku tak peduli ia berbau keringat dan matahari. Tiba-tiba saya jatuh cinta. Saya menyukai perempuan itu. Perempuan cantik yang selalu tersenyum menyambutku jika saya melangkahkan kaki masuk ke bangunan ber AC itu.
Saya makin rajin ke bank tersebut. Jika dulunya hanya sebatas mengecek kiriman ibu yang tidak menentu, kali ini saya datang seminggu sekali. Sekedar untuk melihat perempuan tersebut. Saya telah hapal rutinitasnya. Senin sampai kamis perempuan itu akan berbaju seragam dan menyanggul rambutnya. Sedangkan hari jumat ia akan mengurai rambutnya dan berbaju bebas. Saya selalu menyukai bagaimana pun dia.
Hingga suatu hari saya memberanikan diri bertanya" Halo, siapa namamu?"
Ia tertawa keras. Merdu dan membahana. Ia tak menjawabku. Hanya menatapku genit dan menunjukkan papan kecil yang tersemat di bajunya. Ia tidak pernah tahu bahwa saya memang benar-benar tidak tahu namanya dan tidak tahu membaca namanya. Bukan hanya namanya, tapi semua abjad. Saya benar-benar tidak tahu membaca.(*)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
suka endingnya :)
ReplyDelete