Skip to main content

3 Cinta, 3 Rindu

Aku merindukanmu hingga menangis. Aku mungkin seolah-olah kuat di hadapanmu. Menanggapi semua pembicaraan. Tersenyum dan sesekali berkomentar tentang ceritamu. Tapi disini aku ingin jujur padamu bahwa aku tak pernah benar-benar menyimak cerita. Aku tak pernah benar-benar berkomentar akan tuturmu. Aku sibuk dengan pikiranku. Aku sibuk dengan bagaimana aku menata hatiku. Selalu menyakitkan sebuah perpisahan. Dan aku harus selalu menghadapinya berkali-kali denganmu.

Aku tak ingin melepasmu. Tinggal dan tetaplah disini. Itu mauku. Jika aku egois aku mampu menyakiti banyak hati untuk itu. Tapi pada akhirnya jalan terbaik adalah menyakiti diri sendiri. Agar aku tahu bahwa sakit itu memang benar-benar sakit. Agar aku berhenti menyakiti orang lain. Karena sakitnya akan sama.

Aku merindukanmu hingga menangis. Aku menangisi keterbatasanku sebagai manusia. Aku hidup dalam imaji dongengku. Aku tersesat didalamnya. Kau mencintai siapa? Apakah aku sebagai aku atau aku sebagai karakter fiktif itu. Aku takut aku tak lagi bias membedakan antara diriku dengan tokoh fiktif itu. Aku takut aku tak lagi bisa menemukan diriku yang sebenarnya. Aku takut ia menjadi altar ego dari diriku.

Aku merindukanmu hingga menangis. Tapi aku tak ingin menyakiti lebih banyak hati lagi. Pada akhirnya aku memilih konsekuensi ini. Aku tak tahu apakah hanya aku sendiri yang merasakan ini. Aku tak pernah tahu apakah kau pun menyakiti dirimu sendiri. Aku masih beranggapan bahwa kau baik-baik saja. Hanya aku saja yang merasakan sakitnya merindukanmu.

Jika kau merindukanku, kumohon kabari aku. Agar aku tak sendiri merasakan sakitnya.
***

Aku baru menyadari bahwa dirimu telah mengucapkan selamat tinggal. Kau meneruskan hidupmu. Dan aku pun meneruskan hidupku. Tapi aku tak pernah benar-benar menyadari bahwa kau telah menyelesaikan halaman itu sendirian. Hingga hari ini. Ketika aku tak pernah lagi mendengar bagaimana kau menyapaku. Lewat sarana apapun itu.

Bahkan saat aku berulangtahun sekalipun kau tak lagi mengirimiku kalimat biasa “Happy Birthday”. Aku tahu kau tak melupakannya. Kita pernah begitu dekat. Seseorang diluar sana yang bahkan tak begitu menorehkan kesan tetap memberikanku kalimat itu.

Atau karena aku dan kamu memang telah bersepakat dalam diam untuk tak membahasnya. Secara tak sengaja kita memutuskan ikatan itu. Aku memungkin memicunya dank au mengeksekusinya dalam kata yang tak pernah aku sadar.

Aku merindukan saat-saat imajiner kita. Menonton bersama. Mendengar music yang sama. Memilih film-film tua. Berdiskusi mengawan-awan. Tak tersentuh namun mampu kurasakan dengan hati. Waktu telah mendewasakan kita. Waktu telah membuat kita begitu realistis terhadap semua ini.

Kita pernah memiliki teras itu. Aku menyebutnya tempat singgah.Kau menyebutnya beranda. Rasanya telah begitu lama tak lagi mendengar pengandaian itu. Jika aku menyapamu sekarang, kita tak lagi membahas segala yang imajiner itu. Kita telah menjadi kelinci-kelinci dalam dunia Sophie. Aku rindu diskusi kita tentang buku-buku. Film-film yang sangat kita. Atau ribuan mimpi-mimpi konyol yang kita buat.

Kau menyebut diri kita adalah orang-orang bersayap. Aku menyebutmu malaikat. Tapi mungkin kita telah memilih untuk terjun dari gedung tertinggi di dunia. Menjatuhkan diri. Menghujam bumi. Membuat diri kita berdarah. Agar aku dan kamu menjadi manusia.
***

Aku memimpikanmu lagi. Sangat nyata. Sangat dekat. Seperti teman lama yang bertukar kabar dan saling mencandai. Akhir-akhir ini aku selalu memimpikanmu. Apakah pertanda aku selangkah lebih dekat dengan dirimu? Apakah tak lama lagi aku akan menjangkaumu. Membuat nyata mimpi-mimpi masa kecilku.

Ataukah kau datang seperti bagaimana aku menyebutmu. Pangeran impian yang selalu menunggu di ujung jembatan. Kau menemaniku menyembuhkan hati. Merawat luka. Dan membagi bahagia padaku. Kita tak pernah benar-benar bersentuhan. Kau mungkin tak pernah sadar bahwa aku adalah nyata. Aku pun mungkin hanya mampu menjadikanmu teman khayal yang juga tak pernah jadi nyata bagiku.

Tapi aku masih memelihara mimpi untuk memelukmu. Berjinjit. Pasti itu yang akan terjadi. Setidaknya aku telah yakin pada satu hal. Bahwa ketika aku memeluk kelak aku akan berjinjit untuk menjangkaumu. Bukankah terdengar sangat romantic?

Aku pernah menuliskan satu cerpen tentangmu. Satu cerpen masa SMA yang masih kusimpan namun tak pernah berani aku baca lagi. Aku masih mengingat kisahnya. Tapi aku belum berani membacanya kembali. AKu terlalu takut untuk menyadari bahwa dirimu memang hanyalah sebuah kabut di pagi hari.

The world on the outside is trying to pull me in
But they can't touch me
'Cause I got you(*)

Tulisan lama-September awal-

Comments

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar