Ramadhan ke 29. Ramadhan kali ini tak sampai 30 hari. Waktu aku kecil, aku selalu sedih jika ramadhan tak cukup 30 hari. Rasanya tak lengkap. Tapi kali ini aku tak mempersoalkannya lagi.
Ramadhan kali ini meyakinkanku bahwa aku adalah hidup yang terus bergerak dan berubah. Ia meyakinkanku bahwa berubah adalah sebuah kewajaran. Hidup adalah sebuah siklus dinamis yang akan terus berputar. Ketika aku berharap dan meminta agar semuanya tak berubah. Artinya aku melarang hidup bekerja sesuai tugasnya. Dan itu sebuah kemustahilan.
Idul fitri ini adalah idul fitri tersunyi yang aku jalani seumur hidupku. Ini adalah ramadhan kedua yang kulalui tanpa mamaku. Harusnya Ramadhan lalu aku mendengar nyanyi sunyi ini, tapi baru kali ini sakit itu menohokku. Tak ada iar mata yang membuat mataku perih.Aku hanya merasa semua begitu berubah. Dan tak ada daya ku berharap agar semua tidak berubah. Karena aku masih di sini dan masih hidup.
Lebaran kali ini kulalui hanya berdua dengan Etta. Kedua kakakku memilih lebaran di tempat suaminya. Alasannya mereka telah lebaran di Rumah tahun lalu.tinggallah aku yang berlabaran berdua dengan Etta. Pilihsn berlebaran dengan kedua kakakku taklah terturtup, hanya saja aku tak ingin merusak tradisi lebaranku yang selalu kulalui di rumah. Lagian kalo habis sholat Ied aku bisa langsung nyekar di kuburannya mama di samping rumah. mungkin suatu saat ketika aku menikah tradisi lebaran di rumah pun akan kukondisikan.
Tak ada buras khas lebaran atau ayam nasu likku' yang selalu dibuat mamaku saat lebaran. Pertama aku tak tahu membuatnya, kedua kalo pun aku tahu buat, aku malas melakukannya. lagian tak ada kakak Ipah yang biasanya lebih pintar memasak. Aku cuma menunggu jatah bungkusan dari rumah puang aji atau mungkin dari kakak-kakakku yang akan pulang setelah lebaran.
Lebaran kali ini seperti titik balik untukku. Aku seperti tak berada lagi di rumah. Tempat ini tak lagi terasa menjadi tempat pulangku (mungkin). Aku hanyalah singgah sebentar di sini. Rumah ini adalah tempat pulang dwi kecil yang dulu merasa begitu nyaman di sini. Tapi kini aku telah menjadi dewasa. Telah berada di titik hendak beranjak dari rumah dan membuat rumah khusus untuk diriku sendiri.
Setiap orang pada akhirnya akan pergi. Pergi dari rumah. Meski ia kembali, ia takkan menetap. Ia hanya berkunjung. Mungkin kali ini aku juga sedang berkunjung. melihat jejak-jejak kecilku dan tersadar bahwa aku jejak itu tak cocok lagi dengan kakiku yang telah bertumbuh. Aku kini hanya singgah sejenak dalam perjalananku pulang ke rumah. ke rumah yang telah kubangun di hati seseorang yang mungkin tak lama lagi akan aku lihat wujudnya berpijak di tanah. Melindungiku dari panas dan hujan. Melanjutkan tradisi lebaran keluarga di sana.
-masih berharap seperti rumah (19 Sep 2009)
Ramadhan kali ini meyakinkanku bahwa aku adalah hidup yang terus bergerak dan berubah. Ia meyakinkanku bahwa berubah adalah sebuah kewajaran. Hidup adalah sebuah siklus dinamis yang akan terus berputar. Ketika aku berharap dan meminta agar semuanya tak berubah. Artinya aku melarang hidup bekerja sesuai tugasnya. Dan itu sebuah kemustahilan.
Idul fitri ini adalah idul fitri tersunyi yang aku jalani seumur hidupku. Ini adalah ramadhan kedua yang kulalui tanpa mamaku. Harusnya Ramadhan lalu aku mendengar nyanyi sunyi ini, tapi baru kali ini sakit itu menohokku. Tak ada iar mata yang membuat mataku perih.Aku hanya merasa semua begitu berubah. Dan tak ada daya ku berharap agar semua tidak berubah. Karena aku masih di sini dan masih hidup.
Lebaran kali ini kulalui hanya berdua dengan Etta. Kedua kakakku memilih lebaran di tempat suaminya. Alasannya mereka telah lebaran di Rumah tahun lalu.tinggallah aku yang berlabaran berdua dengan Etta. Pilihsn berlebaran dengan kedua kakakku taklah terturtup, hanya saja aku tak ingin merusak tradisi lebaranku yang selalu kulalui di rumah. Lagian kalo habis sholat Ied aku bisa langsung nyekar di kuburannya mama di samping rumah. mungkin suatu saat ketika aku menikah tradisi lebaran di rumah pun akan kukondisikan.
Tak ada buras khas lebaran atau ayam nasu likku' yang selalu dibuat mamaku saat lebaran. Pertama aku tak tahu membuatnya, kedua kalo pun aku tahu buat, aku malas melakukannya. lagian tak ada kakak Ipah yang biasanya lebih pintar memasak. Aku cuma menunggu jatah bungkusan dari rumah puang aji atau mungkin dari kakak-kakakku yang akan pulang setelah lebaran.
Lebaran kali ini seperti titik balik untukku. Aku seperti tak berada lagi di rumah. Tempat ini tak lagi terasa menjadi tempat pulangku (mungkin). Aku hanyalah singgah sebentar di sini. Rumah ini adalah tempat pulang dwi kecil yang dulu merasa begitu nyaman di sini. Tapi kini aku telah menjadi dewasa. Telah berada di titik hendak beranjak dari rumah dan membuat rumah khusus untuk diriku sendiri.
Setiap orang pada akhirnya akan pergi. Pergi dari rumah. Meski ia kembali, ia takkan menetap. Ia hanya berkunjung. Mungkin kali ini aku juga sedang berkunjung. melihat jejak-jejak kecilku dan tersadar bahwa aku jejak itu tak cocok lagi dengan kakiku yang telah bertumbuh. Aku kini hanya singgah sejenak dalam perjalananku pulang ke rumah. ke rumah yang telah kubangun di hati seseorang yang mungkin tak lama lagi akan aku lihat wujudnya berpijak di tanah. Melindungiku dari panas dan hujan. Melanjutkan tradisi lebaran keluarga di sana.
-masih berharap seperti rumah (19 Sep 2009)
hiks...hiks.... terharukumi...
ReplyDelete