Akhirnya ujian itu aku lalui juga. Selalu ada imaji-imaji tentangnya sebelum aku benar-benar di situasi itu. Dan nyatanya imaji itu 50% tepat, 50% terlalu dibesar-besarkan oleh rasa pesimis yang selalu berada di hati.
Lima orang dosen yang menjadi pengujiku. Lima orang yang membuatku tersudut dan merasa begitu kecil di ruang berukuran 3 x 4 m persegi itu. Ruangan sempit dengan AC jadul yang begitu ribut menambah ketegangan. Satu persatu memberi tatapan yang begitu menikam. Senyum tipis sedikit-sedikit tertuju padaku. Yang bagiku seperti seringai yang begitu menakutkan. Mata-mata itu menatapku tajam. Percik-percik api di membara di sudut mata itu. Rasanya begitu kecil, bodoh, dan sangat tolol berada di ruangan itu.
Empat orang bertanya dan kesemuanya itu harus aku jawab. Hingga lidahku kelu dan tenggorokanku kering dan gatal. Kujawab dengan semua pengetahuan yang aku punyai saat itu. Kujawab hingga otakku tak lagi sinkron dengan gerak lidahku. Sampai aku tiba pada titik bahwa ku juga mulai tak mengerti pada apa aku jelaskan. Tiap jawab selalu didapati celah untuk salah. Membuat keder dan menyadari bahwa inilah saatnya untuk menjadi sasaran tembak.
“tenanglah, hanya dua jam kamu akan di siksa dan berada di posisi terbodoh, setelah itu semuanya berakhir” petuah dari kakakku terngiang dikepalaku. “tersenyum sajalah. Ketika tidak tahu jawab saja dengan senyum dan anggukan kepala seolah-olah mengerti” pesan dari beberapa teman pun ku jalankan. Aku menemukan benang merah yang mengaitkan prasyarat untuk masuk dan keluar dari sebuah predikat mahasiswa. Sama-sama menguji mental. Ketika masuk, ospek adalah hal yang paling menakutkan yang harus dihadapi. Kemarin aku telah menemukan rasa ketakutan yang mampu mengimbanginya. Ujian skripsi. Meski berbeda konteks, namun dua-duanya menguji mental. Dan dua-duanya menggunakan dua pasal pamungkas :
1. panitia tidak pernah bersalah
2. jika bersalah, kembali ke pasal pertama
Dan selalu ada sosok yang bijak yang akan menemanimu di ketakutan itu. Dan aku pun memilikinya, pembimbing II yang begitu baik menyuntikkanku semangat. Dia tak bertanya sama sekali, hanya berkata “ saya puas dengan jawaban-jawabannya. Hebat”.
Seperti motor balap yang telah lelah mengelilingi lap yang tiba-tiba mendapat ban baru dan bahan baker. Seperti itu rasa yang tiba-tiba muncul. Visualisasi dalam film saat itu yaitu ketika ruangan itu terlihat kelabu, mencekam, dengan dinding es yang dingin tiba-tiba berubah warna. Perlahan bersemu merah, hangat, dan dinding-dinding es itu pun mencair.
Jika aku sanggup membuat sebuah perayaan awards. Maka beliaulah yang akan mendapatkan lifetime achievement award untuk dedikasi bimbingannya untukku. “Pak, terima kasih” Dan pada akhirnya aku bisa berkata pada diriku “it’s done honey”
Comments
Post a Comment