(Her side and my side)
Handphone monoponic-ku berbunyi nyaring. Membangunkanku dari tidur yang cukup lelap semalam. Kulirik jam dinding yang menjadi aksesoris tunggal di kamarku, 05.25. masih subuh. Kurewind kembali box memory di benakku mencari sesuatu yang membuatku tidur semalam. Kudapati sebuah laku biasa : mengirim message pada beberapa orang, mememncet tuts-tuts handphoneku, mencari lagu yang cocok untuk pengantar tidurku di menu radionya.
“belajarlah untuk lupa.ada kalanya luka mengering dan membekas. Tapi percayalah ia akan sembuh. Dan bekasnya akan kita lupakan…. Belajarlah untuk angkuh seperti dia angkuh padamu”.pesan ini pun kekirim lagi.
Tak selang beberapa menit, dua buah balasan pesan masuk di handphoneku.
“aku tak ingin bertemu dengannya. Aku tak ingin bertemu dunia. Sakit rasanya harus selalu tertawa, padahal sebenarnya aku menangis. Aku lelah. Aku ingin tidur panjang. Tak bangun lagi….”
Deg…..ini adalah pernyataan yang tak pernah ia tuliskan dalam pesan sebelumnya jika ia merasakan suffering yang sama. Aku khawatir sebuah hal konyol akan ia lakukan.
Ku segera membalas pesannya.
“Jangan bodoh. Hanya karena satu keledai dungu dan kamu tak ingin lagi melihat dunia. Dunia tidaklah kejam. Hanya saja kamu terlalu suka melihat yang satu itu. Kamu sudah melangkah jauh pantang untuk mundur. Dunia akan timpang jika dirimu tak ada.”
Kukirim segera pesan itu.
Dan mengetik pesan baru “sisters, something wrong with her. Ini titik colapsnya…beri dia semangat. Ke kampuslah hari ini kumohon…”kupencet pilihan “kirim ke-banyak”. Kukirimi 7 pesan yang sama ke 7 orang berbeda.
“I hate myself”
Tiga pesan yang sama masuk di inboxku. “Kumohon jangan bodoh. Kami ada disini untuk memberimu semangat. Kami ada disini untuk menemanimu menangis.belajarlah memafkan, maafkan dirimu. Hidup ini indah, kamu hanya ada dipersimpangan dan kami di sini akan ada untuk menemani melangkah. Ke kampuslah. Aku akan ada di sana. Aku menunggumu tak seperti kemarin. Bacalah Laskar Pelangi, ia cocok untukmu. Sholat subuh ya”balasku.
jawaban singkat muncul di HP-ku “ya”.
Air bening mengalir di pipiku..Aku hanya bisa berharap semoga dia tak melakukan hal bodoh….
***
(my side)
“aku menunggumu, tak seperti kemarin”
aku yang salah…tak menunggunya kemarin. Padahal aku sudah mengiriminya pesan untuk ke kampus dan mengatakan bahwa aku ada. Aku terlalu larut pada diriku sendiri dan egois untuk tak memedulikannya. Padahal aku tahu ia sedih dan galau. Butuh teman, paling tidak untuk tertawa sejenak dan lupa pada luka yang kembali terbuka.
Aku selalu tak pernah menyadari bahwa ia adalah sosok yang rapuh. Sosok pencinta yang tak boleh tersakiti. Ia telah tersakiti dan aku yang bodoh selalu membiarkannya patah. Luka itu seperti rayap yang megrogoti tubuhnya. Meremukan tubuhnya sedikit demi sedikit. Meninggalkan luar yang utuh namun kekosongan dan kepedihan yang tak terperih.
Aku tak layak disebut sahabat. Tak layak disebut teman berbagi. Aku selalu hanya peduli pada diriku dan hanya sekedar mengetahui kamu baik-baik saja dari luar. Aku tak pernah melihatmu lebih dekat, menggegam tanganmu dan bertanya “apakah kamu benar baik-baik saja?”.
Maaf…..Biarkan aku memperbaiki kesalahan….
***
(our side from my point of view)
kita adalah saudara. Layaknya saudara perempuan. Kita kadang kompak tapi juga kadang marahan. Layaknya saudara, kita selalu bertukar baju. Layaknya saudara kita selalu curhat. Layaknya saudara kita selalu ngumpul bareng. Layaknya saudara kita pun kadang “berkelahi”. Layaknya saudara, kita mampu memahami karakter masing-masing…
Dan apakah kita saudara? Jawabnya kita sahabat. Saudara bisa menjadi sahabat dan sahabat bisa menjadi saudara. Tapi bolehkah aku melihat dari sini. Dari titik aku berpijak???
Kita terlalu larut dalam semua candaan kita. Kita telah kabur untuk memandang ini baik, ini buruk, ini keterlaluan dan ini adlah main-main. Kita telah menjadikan semua hal begitu abu-abu.
Kita terlalu se-enak diri kita melihat orang lain. Kita selalu mendeskreditkan banyak orang. Kita terlalu menganggap diri kita hebat. Aku Cuma takut ketika kita tak lagi di tempat ini dan harus beranjak pergi. Kita tak mampu hidup tanpa kita. Kita harus belajar mandiri. Dunia di luar sana lebih liar. Dan kita harus menjadi bebas.
Kita selalu punya mimpi yang terapalkan ditiap candaan kita. Kita pun selalu punya salah yang meluncur seenaknya tanpa kita sadari dan tak pernah lagi bisa kita tarik. Mungkin kita harus belajar dewasa….belajar untuk melihat lebih dekat. Belajar emik pada lingkungan. Bukankah sakit jika kita tercubit, begitu pula orang lain jika mereka tercubit.
Pada orang-orang yang tersakiti, kami minta maaf. Kami tak pernah bermasud menyakiti. Tapi kalo itu membuat sakit, kami minta maaf…
semoga tak ada kutuk yang kalian rapalkan untuk tingkah konyol kami….
(kastil-07.25 pagi….rabu 7 May 2008)
Comments
Post a Comment