Skip to main content

Burasa Untuk Lebaran

Idul Fitri 2017 ini adalah lebaran ke empat saya tidak pulang. Kalo dihitung dengan idul Adha udah sampai angka delapan. Bukan tak ingin pulang, karena sesungguhnya pulang selalu dirindukan. Hanya karena banyak pertimbangan utamanya pada pendanaan. Kemudian di bulan februari tahun yang sama kami sekeluarga sudah sempat mudik, sehingga untuk mudik kali ini mungkin bisa dimaafkan. Saya tidak ingin bercerita soal mudik. Saya ingin bercerita bagaimana saya melalui berkali-kali lebaran khususnya soal makanan. 

Burasa dibungkus


Makanan dan lebaran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Mereka tidak saling menggantikan. Mereka saling melengkapi. Lebaran tanpa makanan khas lebadan kurang afdhol. Pernah sekali saya ijin ke suami untuk ga usah masak pas lebaran karena biasanya habis sholat kita ngacir ke ibukota buat jalan-jalan dan pulang keesokan harinya. Tapi dia ngotot harus ada masakan lebaran. Apa saja menunya, yang penting rasanya seperti berlebaran. Maka dengan kemampuan memasak seadanya saya pun coba-coba memasak. 

Saya masih ingat lebaran pertama saya di Depok, saya masak soto dengan daging yang sangat alot serasa karet. Lebaran tahun ke dua saya cukup mencoba membuat coto makassar. Berbekal resep di internet saya menganggap diri saya berhasil. Setelah menggepuk dagingnya dengan sangat keras, akhirnya coto makassarku tidak berasa karet.  Berteman dengan nasi putih rasanya masih tidak pas, hanya saja cita rasa kampung sedikit banyak mulai tergapai. 
Direbus selama 4 jam (more less)

Tahun berikutnya saya membuat coto makassar dan ketupat. Ini pertama kalinya saya membuat ketupat. Seumur-umur mamaku pun ga pernah bikin ketupat. Kenapa ketupat? Karena banyak yang jual kulit ketupat dan hanya sekedar memasukkan biji beras dalam kulit ketupat tanpa usaha keras mengolahnya seperti burasa (makanan khas lebaran di sulawesi Selatan terbuat dari beras yang disantani kemudian direbus). 

Tahun ini saya memberanikan diri membuat burasa dan kari ayam. Sejatinya menu inilah yang paling dekat dengan rasa lebaran di Bengo, kampung saya. Jauh hari saya memesan daun pisang di penjual sayur. Juga kelapa parut. Resepnya saya minta dari Etta. Bertahun-tahun Etta selalu membantu mama membuat burasa. Setelah meninggal dia masih tetap setia membantu mama Ate bikin burasa. 

Menurutnya burasa yang enak adalah berbanding 1:1. Satu liter beras berbanding dengan satu butir kelapa yang takarannya 1 liter air santan. Cara masaknya adalah didihkan santan kemudian masukkan beras. Aduk hingga santan meresap ke dalam beras. Jangan lupa tambahkan garam. Jangan terlalu asin. Masak selama empat jam. 

Mengikuti instruksi yang diberikan, saya dengan percaya diri membuat burasa. I made my very first burasa. Beruntung waktu jaman kanak-kanak sampai kuliah saya selalu dapat peran membungkus burasa tiap kali mo lebaran. Sayangnya saya harus belajar sendiri mengikatnya. Pelajaran mengikat tidak pernah sempat saya pelajari selama mamaku hidup. 
Burasaku yang gurih

Tapi pada akhirnya saya berhasil membuat burasa. Menurut suami rasanya enak. Kalo suami suka belum tentu enak. Nah, kalo saya bilang enak, maka yakinlah dia benar-benar enak. Dan burasa yang saya bikin enak menurut saya. Yeeeiiii, Berhasil!!! Im really proud of myself. Hahaha. Lebay sih tapi biarin. Soalnya bikin burasa ga semua orang bisa lakukan. Kari ayamnya pun berhasil. Ini sih gampang aja. Cukup sediakan bahan dan ikuti instruksi resep. Dan... Tadaa!!!! Tahun depan saya harus belajar bikin ayam nasu likku'. Ribetnya pasti naik tingkat. 

Bogor, 19 Juli 2017 

Comments

  1. Sangat bagus penulisannya.. mudah diingat dan dibaca ... http://aromaessen.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar Dari Mesin Cuci Tua

Pagi ini mesin cuci rumah kami rusak. Micro komputernya tidak bisa berfungsi. Lampu kecilnya kelap kelip dan mesin mengeluarkan suara bip bip bip. Tombol on off nya tidak berfungsi. Untuk mematikan arus listrik harus menggunakan langkah ekstrim, mencabut kabel colokannya. Sudah seminggu ini mesin cuci itu tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Mesin tuanya kadang berteriak bip bip bip seakan protes disaat dia melakukan tugas mencuci. Airnya mengalir tidak deras. Entah di pipa mana yang tersumbat. Kemudian keran air pengisi airnya tidak berfungsi. Kami mengisi airnya dengan cara manual. Mengisinya dengan berember-ember air. Ternyata membutuhkan banyak air untuk mengisi penuh air di tabung mesin cuci itu. Cukup boros mengingat biasanya saya mencuci pake tangan irit air.  Pagi ini, mesin cuci itu tidak lagi mampu melakukan tugasnya. Komputernya rusak. Sore kemarin terakhir ia berfungsi. Mengeringkan cucianku dengan lampu tanda pengering yang mati. Aku sudah yakin mesin cuci itu ru...

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Meet Esti Maharani

Baru saja saya menghempaskan tubuh di kasur di rumah kakakku yang beralamat Sudiang setelah menempuh waktu 4 jam dari Bone ketika saya menerima pesan text darinya. "Dwi, saya lagi di Makassar. Kamu di mana?" pengirim Esti PJTL 2006. Kubalas segera "Saya juga di Makassar. Kamu dimana?". Dan berbalas-balas smslah kami. Ia menjelaskan bahwa ia baru saja mendarat dan on the way menuju hotel tempatnya menginap. Ia sedang ada liputan musik di Makassar. Wah, sebuah kebetulan yang kemudian membawa kami berada di kota yang sama di waktu yang bersamaan. Esti Maharani, saya mengenalnya 5 tahun yang lalu. Disebuah pelatihan jurnalistik tingkat lanjut (PJTL) yang diadakan oleh Universitas Udayana, Bali. Kami sekamar. Anaknya ramah, suka tersenyum, dan chubby. Saat itu ia mewakili Majalah Balairung, Universitas Gajah Mada dan saya mewakili UKM Pers Universitas Hasanuddin. Dua minggu kami belajar tentang reportase lanjutan bersama rekan-rekan dari universitas lain. Setelah itu k...