Judul : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka
Harga : Rp. 72.500
Fuiiihhhh, akhirnya selesai juga saya membaca Amba. Membacanya terasa begitu berat dan tertatih-tatih. Bahkan untuk menulis resensinya pun rasanya begitu susah. Tapi, marilah saya mencoba menuliskannya disini dengan sudut pandang saya sebagai pembaca dengan keterbatasan pengetahuan saya akan sastra serta tragedi 1965 di Indonesia.
Amba bercerita tentang sosok perempuan yang mencinta seorang Bhisma namun ada seorang Salwa yang menjadi halangan cinta itu bersemi. Juga tentang tragedi pembantaian tahun 1965 serta penangkapan aktivis pergerakan yang diduga komunis hingga dibuang ke pulau Buru menjadi bumbu ruwet percintaan ini.
Laksmi Pamuntjak mungkin sengaja menggunakan nama-nama tokoh dalam Ephos Mahabrata sebagai jembatan untuk menceritakan kisah ini. Dalam cerita Mahabrata Amba adalah kakak dari kembar Ambika dan Ambalika. Putri Amba bertunangan dengan Prabu Salwa. Namun pada sebuah pertandingan dengan Bhisma, Sang Prabu mempertaruhkan tunangannya Putri Amba. Prabu Salwa kalah dan menyerahkan Putri Amba. Sayangnya Bhisma pun menolak Amba terkait dengan sumpahnya untuk tidak menikah.
Di novel ini, Amba diceritakan sebagai perempuan yang tidak ingin terikat di dunia domestik. Menikah, memiliki anak, melayani suami, dan menjadi setia. Ia mendambakan kebebasan. Namun, orang tuanya berpendapat lain. Ketika mereka bertemu dengan Salwa, pemuda santun yang sedang naik karirnya sebagai tenaga pengajar di sebuah Kampus, terbitlah niat kedua orang tuanya untuk menjodohkan mereka. Amba memainkan peran sebagai anak baik yang patuh dengan pengajuan syarat untuk terus dapat melanjutkan kuliah di Yogya, tempat Salwa bekerja. Orang tuanya pun mengijinkan. Sebuah promosi jabatan membuat kedua kekasih ini harus terpisah jauh. Yang kemudian menjadi titik mula sebuah pengkhianatan, perpisahan, kepergian serta kehilangan.
Di tengah pergolakan politik yang tidak menentu dan kekerasan yang meraja lela, Amba memilih untuk melamar menjadi penterjemah di sebuah rumah sakit di Kediri. Di kota inilah ia bertemu dr. Bhisma Rashad. Lelaki yang padanya Amba menemukan kejutan-kejutan yang tak pernah dirasakannya pada Salwa. Ikatan yang membuatnya jatuh cinta meski ia harus berkhianat. Cinta begitu besar yang tak mampu ia bendung hingga mereka pun tak mampu bersama. Pemberontakan memisahkan keduanya. Namun hati mereka tetap menyimpan kadar cinta yang tetap sama meski mati menjadi pertemuan kembali.
Alur flashback dan sedikit acak serupa puzzle yang hendak disusun ketika membaca buku ini. Kalimat-kalimat puitis yang penuh pemaknaan menjadi diksi yang sering digunakan penulis. Membuat saya agak terseok-seok untuk memahami. Sisi romansa sebuah buku selalu menjadi bagian favoritku. Begitu juga buku ini. Bagian antara Amba dan Bhisma menjadi bagian menarik buat saya, bahkan ketika Bhisma mati dan yang tertinggal hanyalah surat-suratnya. Surat-surat yang ia tulia hanya untuk Amba menjelaskan begitu besar rasa cinta yang ia miliki sehingga ia menganggap dirinya telah menikahi Amba. Menikahi hati Amba.
Sayangnya banyak singkatan-singkatan tentang organisasi politik yang tidak terlalu saya pahami. Saya berkeyakinan buku ini ditulis dengan pengharapan akan pembaca yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang tragedi 1965.
Buku ini masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literacy Awards tahun 2013, bersama novel Pulang yang memiliki seting cerita yang hampir sama tentang tragedi 1965. Tapi khusus buat saya, novel Pulang milik Leila S Chudori lebih mudah saya nikmati dari pada novel Amba ini.
Mungkin memang saya bukan tipe pembaca sastra. Saya agak susah memahami sesuatu ngejelimet dan langitan. Hahaha. Otak saya mungkin hanya mampu menerima novel pop. Anyway, Amba kuberi rating 3 bintang sambil kurapalkan sebuah doa agar Ia mencintaiku seperti Bhisma pada Amba. Meski raga terpisah tapi cinta tetap hadir melampaui kematian #eh #tetapaamiin :D (*)
Baubau, 3 Desember 2013
Comments
Post a Comment