Skip to main content

Sehangat Pelukmu

Hujan telah membasahi kota sejak sore. Titik-titik airnya membias di kaca jendela taxi. Serupa bunga api yang meledak saat pergantian tahun. Taxi yang kutumpangi melaju pelan di antara padatnya jalanan ibu kota. Hujan telah menimbulkan genangan di beberapa ruas jalan. Menimbulkan macet di beberapa titik kota. Jalan raya padat. Ini sabtu malam. Saat yang semua orang memadati jalan menuju ruas-ruas kota yang hingar bingar. Merayakan satu hari merdeka tanpa perlu memikirkan rutinitas kerja esok hari. Kaum urban yang adalah mayoritas pekerja kantoran memilih untuk menanggalkan segala atribut kantor dan juga beban kerja untuk melewatkan malam hingga larut. Membunuh stres dan mencecap sedikit kebebasan.

Ini malam kudus. Besok adalah perayaan natal. Suasana natal begitu terasa. Gereja-gereja dipadati jemaat merayakan lahirnya sang Mesias. Tak hanya rumah ibadah, pusat perbelanjaan pun selalu mampu memanfaatkan moment natal sebagai daya tarik pengunjung. Lebaran pun demikian. Pasar mampu melihat segala celah untuk mendatangkan konsumsi yang berujung pada profit. Banyak doa yang dilangitkan malam ini. Kidung natal terdengar di seantero kota. Melawan deru kota yang tetap bergegas. Hujan yang menimbulkan genangan. Dan kendaraan yang merayap lambat di jalan yang macet.

Aku selalu menyukai natal. Terasa hangat dan penuh suka cita. Meskipun aku bukan Kristiani dan tidak merayakan natal. Rasanya begitu nyaman menikmati siaran tv di rumah dan menonton banyak film-film keren. Tapi tahun ini natal tak terasa hangat. Malam ini hujan rintih membelah kota. Terasa sepi dan sunyi. Memunculkan sisi sedih. Dingin AC taxi menambah kualitas ketakhangatan di malam kudus. Perasaan untuk pergi ini menambah ketidaknyamanan suasana. Ada yang belum pas. Aku tahu. Kepergian ini terasa berat. Aku sangat paham. Tapi ini adalah keharusan. Aku sangat tahu yang memberatkan dari suasana ini. Tapi aku berusaha menahan. Bertahan adalah yang terbaik yang aku bisa lakukan.

Hujan masih basah di luar. Taxi yang membawaku ke bandara mulai merangsek keluar dari kemacetan kota. Perlahan tapi pasti mulai melaju kencang. Meninggalkan kepadatan kota. Hatiku ikut melaju bersamanya. Melepas rasa yang menyumbat hati. Tak melegakan. Kupandangi jendela kaca taxi. Titik titik air itu terasa basah di pipiku.

Lampu-lampu bandara tampak berkelap kelip. Duh, kenapa suasananya begitu syahdu, rutukku dalam hati. Laju taxi kemudian melambat. Kubayar nominal sesuai angka argo. Melangkah gontai memasuki bandara. Menyeret travel bag ke counter check in. Kuhempaskan tubuhku di ruang tunggu pesawat. Masih sejam lagi sebelum benar-benar meninggalkan kota ini. Kuraih handphoneku untuk membunuh waktu. Mengupdate fesbuk dan twitter. Dua social media itu terasa seperti pisau. Di sisi lain begitu membantu untuk random curhat tanpa perlu menjelaskan duduk perkara, di sisi lain mampu menjungkirbalikkan suasana hati hanya karena sebuah update atau tweet dari orang lain.

"I wish u were here. Bukan untuk memaksamu berkata "jangan pergi", tapi untuk merasakan hangatmu yang menguatkan. Agar perjalanan ini terasa ringan"
Your status has been updated

Jarum jam waiting room telah bergerak 45 menit dari waktu kedatanganku. Hmmm, 15 menit lagi, Pikirku.

Handphoneku bergetar. Ada pesan dan sebuah miscall. Entah sejak kapan aku mulai men-setting silent di nada panggil handphoneku. Sudah lama, sejak mulai jarang aku menerima telepon. Kecuali darinya. Dia yang jarang menelepon namun selalu aku tahu saat ia kapan akan menelepon. Jadi kupikir tak perlu menambah polusi suara dengan deringan handphone yang tak dibutuhkan.

Namun, miscall kali ini lain. Dari dia. Dari semua rutinitas teleponnya ini adalah saat yang paling ganjil ia menghubungiku. Namun juga paling ampuh memberikan letupan hangat di hati. Tidak mungkin ia menyempatkan diri meneleponku,pikirku. Kubuka pesan di inbox ku. " Belum take off kan. Aku di depan bandara. Keluarlah". Pesan itu tiba-tiba terasa begitu hangat. Ada yang memanaskan bara di hatiku. Ruang tunggu bandara terasa sehangat selimut karena pesan itu. Mukaku memerah. Aku mengangguk sambil membalas pesan itu " tunggu". Dan bergegas.

Di balik kaca jendela bandara aku melihatnya. Berbalut jas hujan basah. Setelan yang jarang aku lihat melekat di badannya. Tapi aku tak pernah salah mengenalinya. Kuhampiri tubuh yang menunduk sibuk mengutak atik handphone dengan cemas. Aku merasakan handphoneku bergetar. Ia mengirimiku pesan.

"Hai" sapaku.Ia mengangkat wajahnya. Rambutnya dipenuhi titik-titik air. Wajahnya tampak basah. Keringat bercampur air hujan. Pijar matanya mengerjap memandangku. Ada rasa lega di sana. Kucari sinar kerinduan. Tapi aku tak pernah mampu melihat lurus mata itu. Takutnya ia menemukan rindu yang selama ini kusembunyikan.

Ia tersenyum. Ujung matanya mengerut. "Aku balap loh naik motor ke sini. Hebat kan", katanya. "Bodoh" tanggapku. "Baru pulang dari acara natal gereja loh, aku bela-belain ke sini. Masa dianggap bodoh". Aku tersenyum. Ditanggalkannya jas hujan dari tubuhnya. Masih kulihat kemeja resmi dibalik sweater tebalnya. Namun masih sempat ia ganti alas kaki dan jeansnya. Tak mungkin padanan kemeja,jeans, dan sendal itu jadi kostum natalnya.

"Kok tau aku di bandara?"Tanyaku lagi.
" Aku baca statusmu. Kemarin-kemarin kan kamu sudah bilang sudah dekat berangkat. Meski nda mau bilang kapan tepatnya"
"Kirain kamu nda menyimak" kataku.
"Aku mengenalmu. Kamu selalu menutupi banyak hal, tapi di satu sisi kamu butuh untuk dimengerti"katanya memandangku.
" Lagian, aku berbakat jadi detektif"katanya sambil nyengir.

Kami tertawa. Dan kemudian hening merambat diantara kami. "Kamu takkan pernah bilang kalo mau pergi" katanya sambil memandang ujung sendalnya."Apalagi mau bilang goodbye".

"Aku nda pernah suka bilang selamat tinggal. Karena aku nda pernah suka perpisahan" kataku."I know. Aku juga" katanya sambil menyelipkan jemarinya di ruas tanganku. Mengalirkan damai dan membekukan waktu.

Suara cantik tiba-tiba memenuhi bandara. Mengumumkan pesawat yang sebentar lagi berangkat. Mencairkan waktu yang tergenggam di jemariku. Aku memejamkan mata. Menghirup udara sebanyak mungkin. Takut tak lagi mampu bernapas. Kuhembuskan perlahan. Aku kemudian berdiri mensejajarinya. Tepat di hadapannya. Aku memandang sekilas ke matanya, ada rasa kehilangan di sana.
Dilepaskannya sweaternya dan disampirkannya ke pundakku.
"Negara tujuanmu sedang musim dingin. Kalo tiba di sana dengan baju setipis yang kamu pakai,lima menit saja kamu sudah jadi patung es".
"Baju ini hangat" kataku setengah merajuk memandang ke baju rajut dan cardigan yang kukenakan.
"Percayalah untuk ukuran negara bermusim dingin. Baju masih sangat tipis".

Pengumuman keberangkatan pesawat kembali bergema. Ia menarikku ke dalam pelukannya. "Sweaternya pengganti diriku kalo kamu kedinginan atau kangen"bisiknya. Mataku basah. Aku mengangguk di dalam dekapannya. Ia melepas pelukannya. Kutatap lekat-lekat matanya. Kali ini aku ingin melihat dan merekam bening mata itu. Biarlah ia menemukan rindu di mataku. Diusapnya sisa air di ujung mataku. Dia tersenyum. Dan kutemukan rindu itu di sana. Mengerjap meski tak terkatakan.

Inilah saatnya, batinku. Aku menguatkan hati. Ditariknya lagi tubuhku dalam pelukannya " cepat pulang, karena aku akan sangat rindu". Aku mengangguk. "Selamat natal" bisikku. Kurasakan hangatnya dan kukunci dalam ingatanku. Dalam dekapnya kulangitkan doa untuknya " I wish nothing, but the best for u*"....

*adele,someone like u"

24 des 2011
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

  1. Aaak! Bisakah postingan ini untukku? Saya copy dan posting yah! yah! yah! Makasiih! :*

    ReplyDelete
  2. ah, curang, bahas hujan nda bilang2

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...