Skip to main content

I'm Sorry

Pagi ini ada beberapa garis merah di dahi dan wajahmu.Seperti kamu baru saja berkelahi dengan kucing. Garis itu memerah. Cakaran yang paling banyak kulihat di wajahmu sejauh ini. Kupikir kamu takkan mencakar wajahmu. Saya yang kurang waspada padahal kebiasaanmu sebelum bangun adalah gelisah dan mengusap usap wajah dengan tangan dan jemarimu. Kaos tangan yang setia menutupi jemarimu semalam kucopot karena basah oleh pipismu.

Beberapa hari lalu mukamu penuh dengan gigitan nyamuk. Ada empat bentol kecil merah yang pasti terasa gatal di wajahmu. Juga tiga di lengan kirimu. Aku kembali tidak menjagamu dari gigitan nyamuk nakal yang pasti menyenangi wajahmu dan juga ketidakberdayaanmu untuk melawannya. Aku hanya mampu mengoles bekas gigitan itu dengan minyak gosok agar cepat sembuh. Tapi pasti itu akan meninggalkan setitik bekas hitam di wajah putihmu. Seperti beberapa titik bekas gigitan nyamuk yang lain di wajahmu.

Aku tak mampu menjagamu. Bahkan untuk mencegahmu muntah pun susah. Kamu masih saja selalu muntah jika tidak bersendawa atau kebanyakan minum ASI. Sejauh ini hanya selang satu atau dua hari kamu tidak muntah. Bahkan pernah setiap hari. Aku merusak harimu. Membuatmu tidak nyaman dan merasa sakit. Bahkan ketika menyusuimu aku tak mampu menjagamu agar tidak tersedak. Mungkin dadamu sakit jika harus tersedak. Bunyinya terdengar begitu sakit. Aku hanya mampu menegakkan badanmu agar kamu mudah bernafas dan berharap sakitnya sedikit berkurang.

Belum cukup dua bulan usiamu. Aku berusaha memberikanmu yang terbaik, namun aku juga kadang salah. Aku mungkin merusak harimu. Kelak mungkin aku mengacaukan hidupmu. Kita akan berselisihi paham akan banyak hal. Aku menginginkanmu seperti ini dan kamu memilih untuk menjadi seperti itu. Kita mungkin akan bertengkar. Kamu ngotot dengan pendapatmu dan aku juga demikian. Kelak aku mungkin akan mendiktemu untuk hal yang kuanggap baik. Kita akan berselisih paham, saling mendebat, dan mungkin tak menemui jalan tengah. Akan selalu seperti itu, sayang.

Tapi aku harap ketika kita selesai berselisih paham aku ingin kita saling mendekap. Saling mengaliri kehangatan. Membisikan kalimat "aku mencintaimu" dengan lirih. Karena kita selalu memiliki cinta yang sama meski segala hal berbeda. Maafkan bunda yang mungkin tidak mampu menjagamu.
Aku mencintaimu, Ara...
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...