Skip to main content

Akan Kuceritakan Padamu Ara*


Ini hari ke 10mu. Aku baru saja merebahkan badanku di sisimu.Kamu tertidur untuk yang ketiga kalinya hari ini.Setelah meminum ASI yang harus kuberikan sedikit-sedikit agar dirimu tidak muntah.Semenjak pulang ke bone telah tiga kali kamu muntah karena Asi yang terlalu banyak kamu konsumsi, padahal kapasitas lambungmu masih kecil. Aku harus memperkirakan kapan kamu butuh ASI tanpa harus menunggu rasa laparmu yang membuatmu menangis dan kemudian meminta padaku ASI dengan wajah yang penuh antusias. Ekspresi tak sabaran dan ingin segera mendapatkan yang kamu inginkan. Tak jauh beda dengan diriku.
Aku mengantuk. Lelah.Tapi aku harap kamu tak menganggapnya sebagai keluhan. Ternyata aku bukan ibu yang baik.Toh akhirnya kamu pun memuntahkan semua ASI yang ada di lambungmu. Hanya karena aku tak tega melihatmu menangis dan gelisah.

Nak, biar kuceritakan padamu tentang proses kelahiranmu. Telah banyak ibu yang kutemui dan jawaban mereka tak pernah mampu aku imajinasikan. Katanya jika ada sakit maka sakitnya adalah yang paling sakit. Ada pula yang bilang sakitnya seperti digigit dinosaurus. Aku tak mampu membayangkannya. Maka disini ingin kuceritakan padamu sakit itu. Dariku, ibumu, untukmu yang kelak juga akan menjadi ibu.

9 bulan lebih aku mengandungmu. Setiap bertemu orang mereka selalu menanyakan sudah bulan keberapa, ketika kujawab maka mereka akan segera bilang bahwa ukuran perutku terlalu kecil untuk usia bulannya. Aku khawatir ketika kamu lahir beratmu tidak cukup 2,5 kg. Ketika kutanya dokter Ema (dokter kandungan yang juga membantu proses kelahiranmu) berkata bahwa kemungkinan beratmu baru 2 kg, saat itu usiamu dalam kandungan 7 bulan lebih. Aku begitu rajin meminum susu ibu hamil dengan satu tujuan agar beratmu ideal.

Juli menjadi taksiran partusku. 10 hari pertama kamu belum memberikan tanda akan lahir. Masih saja aku dengan santai naik motor kemana-mana dan jalan-jalan ke Mall. 10 hari kedua pun sama saja. Tak ada tanda yang kau tunjukkan. Ada 2 tanggal spesial di 10 hari ketiga.31 juli, tanggal pernikahan aku dan ayahmu dan 2 agustus, tanggal lahirku. Aku tak pernah meminta agar dirimu lahir ditanggal-tanggal itu, tapi aku hanya berharap. 29 juli, pemutaran film Harry Potter 7. Aku pun berhasil menontonnya tanpa tanda-tanda kamu akan keluar dari rahimku.
Ini adalah serial Harry Potter terakhir.Telah lama aku menantinya, untungnya segera tayang setelah hampir berbulan-bulan film box office tidak diimpor karena masalah pajak. Aku sangat ingin menontonnya. Mungkin ketika kamu lahir aku tak sempat lagi menonton di bioskop karena tak mungkin kutinggalkan dirimu. Dan sepertinya kamu mendengar pintaku, aku masih bisa menontonnya di XXI.

31 Juli, berlalu. Aku masih juga rajin jalan ke Mall dibonceng motor oleh ayahmu. Hingga tanggal 1 agustus, ramadhan pertama. Aku menemukan bercak darah. Pembukaan 1. Belum terasa sakit. Hari itupun jadwal check up ke dokter. Dokter menyarankan untuk segera ke rumah sakit karena diindikasikan ketubang berkurang. Tapi masih sempat aku dan ayahmu buka bersama di Mall. Pukul 8.30 malam kakak Ipah yang datang ke Makassar untuk urus paspor menemaniku ke rumah sakit Pertiwi. Ayahmu mengendarai motor,sedangkan aku dan tantemu memakai taksi.Masih saja aku yang mendaftar untuk persalinan. Sakitnya belum seberapa.Masih bisa aku tahan.

Pukul 10 malam, aku sudah dapat ranjang di kamar bersalin. Resident (Dokter yang sedang ambil spesialis kandungan) mengukur pembukaan berapa di rahimku. Dokter residennya pria nak. Tapi aku tak lagi mempedulikan itu. 2 jam lagi ulang tahunku. Hei, ini tanggal 2 agustus. Jika kamu lahir 2 jam kemudian kita akan memiliki tanggal lahir yang sama.

Aku pun harus sering-sering jalan. Untuk memicu kepalamu turun ke rahim dan menambah pembukaan lagi. Tengah malam Ema datang. Titimu yang satu itu selalu hadir setiap aku butuhkan. Bersama kak Riza. Ayahmu "kupaksa" membeli burger. Malam itu sangat ingin makan burger.

Pukul 2 malam, teman-teman di BBM khususnya grup RUSH (teman angkatanku di kampus) memberi semangat. Mengirimiku dukungan dan mengajak ngobrol lucu-lucu agar aku lupa sakitnya. Ema pun pulang. Kasian kalo dia menunggu hingga pagi, padahal ia juga ngantor. Ayahmu dan Kakak Ipah harus rela tidur di bangku ruang tunggu yang keras, harus berdingin-dingin, dan penuh nyamuk.

Aku lelah berjalan. Aku ingin tidur. Pukul 3 pagi, dokter coast kembali memeriksa tensi dan jantungmu. BBku berbunyi, dia berkata "bunyi BBM ta". Lucu rasanya sudah di kamar bersalin tapi masih saja terkoneksi dengan jejaring sosial. Ah, itulah teknologi nak.

Dokter residen kembali memeriksa pembukaanku. Belum beranjak dari 1. Ia memberikan induksi. Semacam obat yang dimasukkan ke rahim agar memberi rangsangan kepadamu agar segera keluar. Aku lelah. Aku ingin tidur saja. Ibu-ibu disampingku sudah 2 orang yang melahirkan dan kamu belum juga turun ke rahim. BB ku pun sudah lowbat, selowbat diriku.

Pukul 5 pagi. Aku tidak bisa tidur. Lelah rasanya. Sakitnya mulai terasa. Seperti nyeri haid. Datang sebentar-sebentar terus pergi lagi. Aku bertanya ke kakak ipah, jawabnya masih lebih sakit dari itu. Seberapa sakit kah? Aku memilih tiduran saja setelah sarapan dan mandi. Kakak Ipah pulang ke sudiang sedangkan ayahmu sibuk mengurus untuk persiapan keberangkatannya ke Amerika. Aku harap kita bisa kompak setelah ayahmu berangkat sayang.

Aku sempat terlelap. Untunglah. Aku butuh tidur. Siangnya ada seorang pasien yang dikurek. Berteriak-teriak memanggil Tuhan. Membuatku sedikit senewen. Jika kurek sesakit itu bagaimana melahirkannya. Tak ada teman di sampingku. Hanya satu orang penjaga yang boleh masuk. Aku mau itu ayahmu. Padahal di luar ada Ema, kakak ipah, dan Wardi.

Di panas terik sambil berpuasa dia keliling mencari studio foto untuk foto visa di tengah desakan smsku untuk segera balik ke rumah sakit karena aku merasa sendirian. Itulah ayahmu, berusaha menyelesaikan segalanya.
Pukul 1.30 siang dokter residen kembali memeriksa pembukaanki. Baru naik 1 tingkat. 2 cm. Ia menambahkan 1 obat perangsang lagi. 1 residen 2 dokter coast 1 (salah satunya teman SMA Ema). Mereka pun mengajak ngobrol seolah aku bukan pasien tapi teman sepantaran. Hei, ibu kan baru 25 tahun. Masih muda.
Pukul 3 sore. Sakitnya mulai bergejolak di perut. Sakit ngilu yang menjalar di sekitar perut hingga rahim. Dokter residennya sudah berganti. Kali ini 1 perempuan 1 laki-laki. Pembukaan 4 cm. Dokternya bilang, kalo masih kuat jalan, sebaiknya jalan. Aku tak sempat bercermin tapi aku yakin wajahku sangat acak-acakan. Memakai sarung, baju kaos ayahmu, sangat tidak cantik. Aku memberanikan diri turun dari ranjang. Keluar dari kamar bersalin dan tertatih-tatih. Banyak orang di koridor tapi aku harus berjalan. Kukelilingi satu lantai. Menginjak tiap ubinnya sambil menahan rasa sakit yang meningkat secara konstant. Tak pernah lagi berhenti sakit. Namun kadang ada sakit yang mampu kamu tahan tapi tiba-tiba selanjutnya ada sakit dua kali lipat yang menyerangnya. Aku harus berpegangan di dinding atau besi-besi kokoh di tembok-tembok. Rasanya dirimu menggerakkan semua anggota badanmu mengaduk-aduk perutku. Kali ini tak lucu seperti biasa aku menikmati gerakmu dalam tubuhku. Kali ini sangat sakit. Aku mengeluh, kakak ipah bilang kalo tidak sakit tidak akan keluar.

Oh Tuhan, rasanya ujiannya adalah klimaks sebuah sakit. Kapan? Gemes rasanya menunggu rasa sakit di atas sakit itu. Aku merindukan mamaku saat itu juga. Aku ingin ia di sampingku menemani. Menjadi ibu bukanlah perkara gampang. Dan ia telah melakoninya sampai tutup usia. Sebelum aku sadar bahwa ia adalah kasih yang tak pernah kering, ia telah pergi. Disaat aku belum tahu bagaimana hakikat perempuan itu.
Pukul 5 sore, sakitnya makin menjadi-jadi. Konstan bertambah. Aku ingin marah-marah dan ayahmu adalah pelampiasan itu. Aku memaksanya mengusap-usap belakangku. Sakitnya bukan di sana tapi di perut namun entah kenapa bagian pinggul yang dipijit mampu memberi sedikit kelegaan. Sangat sedikit.

Ada Icca dan Ema. Namun tak sanggup lagi aku menyapa. Sakitnya telah mengalihkan duniaku. Aku hanya mampu berdoa. Melafalkan banyak pujian kepada Tuhan dan RasulNya. Memberanikan diri merasakan sakit yang lebih sakit. Aku minum terlalu banyak. Dan sepertinya rahimku sudah tak lagi mampu berkemih. Tak lagi mampu membedakan antara sakit kontraksi maupun keinginan untuk buang air. Air ketubanku merembes namun tidak pecah. Pembukaannya terus bertambah berbanding lurus dengan sakitnya. Sakit ini yang paling aku ingat. Sakit dipembukaan 8-9. Menyayat perut. Rasanya berputar dan kemudian memberi serangan. Aku harus berpegangan pada sesuatu atau meremas sesuatu agar mampu bertahan. "Jangan mengedan dulu" pesan dokternya. Takutnya terjadi pembengkakan di rahim. Aku harus menarik nafas dalam-dalam setiap sakit itu muncul. Dan itu tidaklah mudah. Menyesal rasanya tak pernah ikut latihan pernafasan untuk kehamilan.
Lengan-lengan ayahmulah yang menjadi sasaran remasanku. Ternyata yang dikatakan para ibu-ibu benar adanya. Suami harus ada untuk dicakar. Tapi ia dengan rela dicakar. Mungkin itu empati terbesarnya karena tak mampu mengambil sakit ini. Sakit itu tiap beberapa menit menyerang. Serasa ingin buang air besar. Tapi ini lebih sakit. Mampu memaksamu untuk mengedan meski sekalipun kamu tak ingin. Kamu harus menahannya hingga pembukaannya benar-benar lengkap.10.

Pukul 6 sore, pembukaannya hampir lengkap. Tapi mereka menunggui dokter Ema. Wah, kalo menunggu sampe prakteknya bubur bisa jam berapa. Untungnya setelah berbuka para perawat sudah menyarankan untuk mengedan. Kupikir sakitnya akan berkurang ketika mengedan, tapi nyatanya lebih sulit. Tak ada pengurang rasa sakit. Semua merangkak ke puncak. Dan ini belum puncak. Mengedan pun harus seperti saat buang air besar. Bukan di leher. Tapi itu tak pernah semudah diucapkan. Beberapa kali aku merasakan ada cairan makanan di leherku karena mengedan di leher. Para suster mempersiapkan persalinanmu. Membantuku menarik nafas dan menarik paha untuk berkuat. Aku tak pernah mampu membayangkan bagaimana bentuk rupamu yang akan keluar di sana. Lubang sekecil itu mampu menjadi jalan keluar untukmu.

Rasa-rasanya aku ingin menyerah. Tapi menyerah tidak memberikan jalan keluar. Satu-satunya jalan adalah aku harus. Mengeluarkanmu dari perutku secepatnya. Agar semua sakit terhapuskan. Dokter Ema telah datang. Dengan sangat cekatan menganestesi dan menggunting lubang keluarmu. Memintaku mengedan sedikit dan menarik dirimu keluar. Ketika kamu keluar maka kudengar tangismu yang menguapkan rasa sakit. Semua hilang. Seperti itulah klimaksnya.

Pukul 8 malam, 2 agustus 2011. Kamu lahir . Namamu Mahavidya Neela Sarasvaty. Panjang 50 cm, berat 3600 gram. Bayi besar kata orang-orang. Tapi yang kutemui adalah bayi mungil yang cantik bermata sipit. Dibaringkan di sampingku dan kuberikan ASI pertama. Kau menggenapiku saar itu juga. Aku mensyukuri keberadaanmu. Jika cinta adalah seberupa wujud maka dirimu cinta itu, nak.

Sesaat aku ingin bertemu ayahmu. Dipersalinan tadi dia tak sempat menemaniku, terlalu banyak ibu-ibu yang melahirkan. Jadi tak boleh ditemani. Jahitanku masih terasa sakit, tapi kupikir itu tak lagi sakit dibandingkan sakit sebelumnya. Ternyata di luar ada Ema, Icca, Echy, dan Wuri. Mereka begitu baik menunggui proses kelahiranmu.Kelak akan kau miliki teman-teman sebaik mereka.

Ayahmu memilihkan kamar VIP untukmu. Agar kamu merasa nyaman. Hari kedua kamu demam dan perlu perawatan. Kekurangan cairan kata dokter. ASIku masih sedikit sedangkan kebutuhan minummu agak banyak dengan berat 3,6 kg. Kamu pun harus disuntik antibiotik karena ditakutkan infeksi karena lewat bulan. Aku dan ayahmu selalu khawatir akan dirimu. Kami ingin memberikan yang terbaik. Kami orang tua baru yang serba belum tahu. Kamu mengajari kami dan kita sama-sama belajar.
Sampai hari ini aku mulai bisa mengikuti ritmemu. Memahamimu meski kadang harus sedih melihatmu muntah karena tak sanggup melarang keinginanmu untuk ASI.

Aku mungkin takkan menyanyikanmu lagu seperti ayahmu, tapi aku tetap memutarkan playlist lagu nursery rhyme buatmu dan membacakanmu dongeng hingga tertidur. Memangkumu hingga tertidur sampai kamu terbangun lagi. Menebak apa yang ada dalam mimpimu yang kamu tunjukkan dalam ekspresi tidurmu. Damai rasanya melihatmu tidur dengan nyenyak tanpa gelisah. Selalu kubisikkan doa untukmu. Tumbuhlah besar anakku sayang dan melesatlah seperti anak panah. Aku mencintaimu...

*Ara : Nama panggilan dari Saraswati, sebelum dikandung dan dilahirkan
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dapat Kiriman Moneygram

Ini adalah pengalaman pertama saya mendapatkan kiriman uang dari luar negeri. Sedikit norak dan kampungan sih. Tapi tak ada salahnya membaginya di sini. Setelah saya googling di internet kurang yang mau berbagi pengalaman tentang transferan luar negerinya. Nah, karena Kak Yusran yang bersekolah di Amerika berniat mengirimi saya uang buat tiket ke Bau-Bau, maka dia akhirnya mengirimkan uang. Dalam bentuk dollar lewat jasa layanan Moneygram yang banyak tersedia di supermarket di Amerika. Moneygram sama seperti Western Union. Tapi Western Union lebih merakyat. Mereka bekerja sama dengan kantor Pegadaian dan kantor pos. Sehingga di kampungku pun ada fasilitas Western Union (tapi saya belum tahu berfungsi atau tidak). Moneygram sendiri setahu saya hanya bekerja sama dengan beberapa bank. Saya belum pernah tahu kalo Moneygram juga sudah bekerja sama dengan kantor pos, meskipun informasi dari teman-teman di twitter mengatakan demikian. Jasa layanan pengiriman uang macam Moneygram dan Western

June, I Wont Remember

Ada yang ironi membaca judul yang kubuat di atas. Mengapa? Karena dua tahun lalu saya mengumpulkan cerpen-cerpen dan prosaku dalam satu buku yang kuberi judul "June, I Remember".  June, you come. As usual. Once in a year. Setia seperti matahari pagi yang terbit. Sayangnya, Juni kali ini tidak begitu kunantikan. Ada satu, dua dan beberapa alasan kenapa saya tidak begitu senang dengan Juni. Ini hanyalah pendapat pribadi dan hanyalah pada tahun ini.  Kenangan dan ingatan akan bulan juni di masa silam terlalu romantis di kepalaku. Membulat dalam ruang kosong hampa dan beterbangan di sana. Kemudian Juni tahun ini seperti chaos yang meluluhlantakkan  ruang kosong itu. Angan membuyar, debu kenangan mengabut. Namun, sekalipun demikian kenangan-kenangan itu melekat samar di benakku. Karenanya Juni tahun ini datang membawa hawa tak menyenangkan. Saya perlu berlari. Chaos pastinya tak mampu terelakkan namun pergi adalah langkah paling kongkret untuk meminimalisir kesakitan. Maka, Juni,

Kartu pos Bergambar Usang

 Setelah vakum 3 tahun lebih, saya akhirnya kembali mengaktifkan kembali akun Postcrossing. Setelah memastikan   alamat rumah gampang ditemukan oleh pak pos dan pengantar barang, maka saya yakin untuk kembali melakukan aktivitas berkirim kartu pos ke berbagai penjuru dunia dan berharap kartu pos-kartu pos dari berbagai penjuru dunia mendatangi rumahku. Rumah pertama yang harus saya kirimi kartu pos beralamat di Jerman. Saya pun memutuskan untuk mencari kartu pos. Tempat yang paling pasti menyediakan kartu pos adalah di kantor pos dan toko buku. Saya memilih membeli di toko buku saja. Mutar-mutar di Gramedia dan bertanya ke karyawannya dimana bagian kartu pos,sejenak sang karyawan tertegun, kemudian balik bertanya “postcard?”. Next time, saya harus bertanya postcard alih-alih kartu pos. Ia kemudian mengantarku ke satu rak putar yang berada di sudut toko.  Di rak itu bertengger kartu pos-kartu pos berwarna putih, bergambar alam Indonesia, dengan signature khas Indone