“Prang” bunyi gelas pecah beradu dengan lantai. Disusul dengan dentang kuali tanah liat yang pecah. Asap membumbung dari dapur belakang kakek penyihir. Kesatria Putih yag sedang berkuda di padang dekat hutan segera berlari ke halaman belakang yang tidak jauh dari padang. Ia segera menuju dapur. Ia tampak panik. Namun sebelum ia menggapai pintu belakang, peribiru tampak keluar dari dapur yang masih dipenuhi asap. Pakaiannya penuh debu. Mukanya menghitam dan rambutnya acak-acakan. Kesatria Putih tak perah melihatnya begitu berataka. Bahka ketika mengalahkan aga sekalipun ia sekacau dari hari ini.
“Hahahahahaha” kesatria putih tak mampu menahan tawanya. Wajah acak-acakan Peribiru tampak begitu lucu baginya. Seperti menggelitik perutnya. Peribiru menatapnya penuh kemarahan. Matanya memerah. Debu di wajahnya tampak bergaris putih. Dia berlari tertunduk. Menabrak pundak Kesatria Putih yang masih saja tertawa melihatnya. Berlari menuju hutan. Dan menghilang.
Kakek penyihir yang baru tiba dari memetik tanaman obat di padang depan rumah berlari tergopah gopah menuju dapur. “Ada apa?” tanyanya pada Kesatria Putih.
“Aku tak tahu. Tapi tampaknya Peribiru telah meghancurkan dapur kakek untuk ketiga kalinya. Dan sepertinya ini yang paling parah” jelas Kesatria Putih.
Kakek penyihir mengamati dapurnya. “Iya. Kali ini lebih hancur” katanya sambil menggelengkan kepala melangkah masuk ke dapur diikuti oleh Kesatria Putih.
“Ilmu ramuan sebenarnya tidak menjadi sebuah pengetahuan wajib bagi seorang Peri. Tapi Peribiru sangat ingin mempelajarinya. Ketika ia bisa menguasainya ia menjadi peri yang sempurna. Dan ia bisa memilih jalan hidupnya kelak” tutur Kakek Penyihir.
“Mengapa ia sangat ngotot kakek?” tanya Kesatria Putih sambil membersihkan dapur yang dihancurkan Peribiru. Tanaman-tanaman kering yang berada di dalam toples-toples berjatuhan. Untungnya tidak pecah. Kompor yang dipakai Peribiru masih menyala. Kesatria putih memadamkannya.
“ Entah. Sepertinya ia ingin menyempurnakan pengetahuannya. Peri memiliki tingkatan. Ketika ia telah mencapai tingkat sempurna ia bisa memilih menjadi peri utuh atau tidak”.
“Menurutku Peribiru sudah cukup hebat. Dia bersamaku membunuh naga. Selain itu dia menyelematkanku dari Mimi hitam” kata Kesatria Putih.
“Kesatria, kamu belum mengenal Peribiru. Dia selalu berusaha keras untuk mencapai apa yang diinginkannya. Ia ambisius. Aku khawatir itu bisa mencelakakannya” jelas Kakek Penyihir. Hari mulai petang. Matahari hampir terbenam. Peribiru belum pulang juga. Ia pergi bersama Naga Ekor Merah sejak insiden tadi pagi. Kesatria putih yang menemani kakek penyihir di halaman rumah tampak mulai khawatir.
“ Kek, mengapa Peribiru belum pulang juga?” Tanya Kesatria Putih.
“ Entahlah. Ia memang selalu menyendiri jika sedang mengalami masalah. Pernah sekali ia melarikan diri dari rumah selama tiga hari. Semua orang panik mencarinya. Pada hari ketiga ia muncul sambil tertawa nyengir tanpa pernah merasa bersalah. Tunggulah sampai besok, mungkin ia akan kembali malam ini. Namun ketika ia pulang, aku pesankan jangan lagi menyinggung tentang insiden pagi tadi” Kata kakek penyihir.
Kata-kata kakek tidak membuat Kesatria Putih menjadi tenang. Ia mengkhawatirkan Peribiru. “Jika sampai besok pagi ia tidak kembali aku akan mencarinya” tekadnya.
***
Pagi menjelang. Matahari belum bersinar terang. Sisa malam masih menggantung di barat bumi. Kesatria Putih yang tidak bisa tidur semalaman keluar menuju halaman belakang. Ia ingin mengecek apakah ada jejak Naga Ekor Merah. Mungkin saja Peribiru pulang semalam dan menambatkan Naga Ekor Merah di halaman belakang dan memilih bermalam di penginapan terdekat. Namun tak ada yang ditemuinya di halaman belakang. Jejak kaki-kaki naga yang besar di tanah yang becek juga tak ada. Dimana gerangan Peribiru dan Naga Ekor Merah bermalam? Padahal semalam hujan turun dengan lebat disertai badai petir . Belum selesai Kesatria Putih menerka-nerka di mana gerangan Peribiru, dari arah barat tampak seperti burung besar yang terbang menukik ke arahnya dengan begitu cepat. Ia berusaha menghindar hingga tersungkur ke tanah. Ia baru menyadari bahwa ternyata burung besar itu adalah Naga Ekor Merah.
Naga itu mendarat ke tanah dengan bunyi berdebam keras. Ia kehilangan keseimbangan saat mendarat. Kesatria Putih segera berlari menghampirinya. Sayap Naga Ekor Merah tampak terluka. Hal itulah yang membuat tidak mendarat dengan sempurna.
“Dimana Peribiru, Ekor Merah?” Tanya Kesatria Putih. Ia tak menemukan Peribiru. Yang pulang
hanyalah Naga Ekor Merah. Kakek Penyihir segera menghampiri mereka. “Ada apa? Kenapa dengan sayap Naga Ekor Merah?” tanya Kakek. Segera ia ke dapur dan meracik ramuan untuk luka Ekor Merah. Kesatria Putih menuntun Naga Ekor Merah ke istalnya.
“Tampaknya Naga Ekor Merah diserang oleh naga yang tinggal di barat laut. Luka cakarannya menunjukkan hal tersebut “jelas Kakek saat mengobati luka Ekor Merah.
“Berapa hari Ekor Merah bisa sembuh, Kek? tanya Kesatria Putih.
“ Lukanya tak terlalu dalam. Besok ia sudah pulih. Namun untuk terbang jauh sebaiknya lusa” jelas Kakek.
“ Aku harus mencari Peribiru, Kek. Rasanya ia sedang dalam bahaya” kata Kesatria Putih gusar.
“Iya. Tunggu aku mengobati Ekor Merah. Jika besok ia tidak apa-apa. Kamu boleh berangkat pagi berikutnya”.
Kesatria putih merasakan ada yang tak beres dengan Peribiru. Ia telah mampu melakukan telepati meski belum terlalu kuat dengan Peribiru. Sejak ia terkena kutukan Mimi Hitam dan ditolong oleh Peribiru. Ada kekuatan ajaib yang secara tak kasat mata mengikat keduanya. Setelah kejadian ia terbebaskan dari pengaruh Mimi hitam, ia sedikit banyak mampu merasakan suasana hati Peribiru. Ketika ia ceria, tertawa, atau saat kesal. Dan baru kali ini ia merasakan jalinan tak kasat mata yang terasa beda. Terasa dingin dan mencekam. Ketika Peribiru minggat di hari pertama ia belum merasakan perasaan ini. Ia sangat yakin Peribiru dalam masalah.
***
Naga ekor merah telah pulih. Kesatria Putih pun telah mengemasi perbekalannya. Ia harus menemukan Peribiru meski ia tak tahu harus mencari ke mana. Tapi, ia yakin harus terbang ke arah barat laut. Bertemu dengan penyerang Ekor Merah. Disanalah ia harus memulai perjalanan.
Pagi masih basah. Matahari belum bersinar. Kesatria Putih menghalau Naga Ekor Merah ke padang rumput belakang rumah. Tampak luka Ekor Merah telah sembuh dan meninggalkan jejak parut di sana.
“Aku berharap kepadamu Naga Ekor Merah. Kita harus menemukan Peribiru” bisik Kesatria Putih ditelinga Naga Ekor Merah. Seperti memahami perkataan Kesatria Putih, Ekor Merah menggoyang-goyangkan ekornya dan sayapnya. Ia terbang menuju hutan mencari hewan buruan untuk sarapan.
Kakek penyihir tergopah-gopah keluar dari rumah. Ia membawa botol cairan kecil di tangannya. “Kakek tidak tahu apa yang nanti kalian hadapi di sana. Namun obat ini mampu menyembuhkanmu dari luka. Aku tak lagi membekali apapun. Aku yakin keahlian pedangmu sudah cukup memadai untuk melindungi dirimu, Peribiru, dan Ekor Merah”.
“Baik Kek. Aku akan membawa Peribiru pulang” kata Kesatria Putih. Naga Ekor Merah telah kembali dari perburuannya. Ia tampak sangat bersemangat. Ia mendarat di sisi Kesatria Putih dan Kakek Penyihir. Membungkuk untuk mempersilakan Kesatria Putih naik ke pundaknnya. Dikepakkannya sayapnya sebagai tanda pamit dari Kakek Penyihir. Dan kemudian ia membumbung ke langit ke arah barat laut.
***
Laut membiru tampak membentang luas. Sudah dari tadi Kesatria Putih meninggalkan pegunungan tempat Kakek Penyihir tinggal. Namun ia belum menemukan tanda-tanda keberadaan naga yang tinggal di barat laut. Hingga Ekor Merah menukik menuju ke balik karang. Tampaknya ia ketakutan dan memilih mendarat di batu karang yang menonjol di lautan. “Perairan dangkal” pikir Kesatria Putih. Tiba-tiba dari langit berkelebat bayang hitam. Naga barat laut. Pantas saja Ekor Merah memilih mendarat. Ditenangkannya Ekor Merah sambil tetap memperhatikan kemana arah terbang sang Naga Barat Laut.
Naga tersebut membumbung tinggi dan kemudian melesat ke tengah laut. Kesatria Putih menunggang Naga Ekor Merah dan mengejar Naga Barat Laut. Dilihatnya naga tersebut menukik turun ke sebuah kapal besar. Bajak laut. “Apakah Peribiru diculik oleh bajak laut?” tanya Kesatria Putih.
Namun sebelum ia melesat terbang kawanan naga yang ditunggangi oleh bajak laut telah terbang mendekatinya.
“Hei, ini adalah naga yang kita serang kemarin” kata anggota bajak laut itu. Tubuhnya kurus namun menjulang tinggi. Menggunakan rompi yang tak berkancing. Memperilhatkan tonjolan tulang-tulangnya.
“ Kali ini penunggangnya bukanlah perempuan” kata seorang bajak laut lagi yang bertumbuh gempal.
“Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk mencari perempuan itu” kata Kesatria Putih. Naga Ekor Merah tampak mulai terbang panik. Kerumunan naga yang terdiri dari empat ekor naga yang terbang mengelilinginya mengeluarkan eraman-eraman yang menakutkan. Kesatria Putih harus menjaga keseimbangan terbangnya agar tidak terjatuh.
“ Oh perempuan itu. Perempuan yang menantang kami bertarung. Dia begitu sombong hingga melarang kami melakukan aktivitas pembajakan. Kemarin dia menghalangi kami saat menyerang sebuah kapal dagang” kata seorang bajak laut lagi. Tubuhnya tegap dan berwarna gelap. Kesatria Putih menerka bahwa inilah pemimpin bajak laut ini.
“ Saya ke sini tidak bermaksud menghalangi aktivitas pembajakan kalian. Saya hanya mencari perempuan itu” kata Kesatria Putih masih berusaha bernegosiasi. Tampaknya ketika anggotanya yang lain telah bersiap-siap menyerang dirinya dan Ekor Merah.
“ Hahahahahaha. Kami telah menawannya. Dan karena dia tidak terlalu berguna buat kami pagi tadi dia telah meniti papan titian dan terjun ke laut”.
Kesatria Putih tahu jika Peribiru tidak mahir berenang. “Dimana kalian membuangnya?”.
“Entahlah. Di tengah laut tadi. Mungkin ia sudah dimakan hiu”.
“Kalau begitu saya permisi dulu. Sepertinya saya tak lagi memiliki urusan dengan anda” pamit Kesatria Putih. Disentakkannya kakinya sebagai pertanda agar Ekor Merah terbang menjauh. Namun ia tiba-tiba dihadang oleh para bajak laut tersebut.
“Kamu mungkin tidak ada lagi urusan dengan kami. Tapi kami masih ada urusan denganmu. Kamu telah sampai di wilayah kekuasaan kami dan mengetahui aktivitas kami. Kamu harus kami habisi dulu” sahut sang pemimpin bajak laut sambil menghunus pedangnya dan menyerang Kesatria Putih. Dengan sigap Kesatria Putih menangkis serangan pemimpin bajak laut tersebut. Naga Ekor Merah pun juga melawan naga-naga yang menyerang.
Serang dari segala arah diperoleh oleh Kesatria Putih. Dengan sigap ia tetap mampu menangkis serang-serang tersebut dan tetap menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh. Bunyi pedang saling beradu. Semburan api yang dipancarkan oleh naga-naga itu pun menerbangkan hawa panas yang membakar. Si kurus menyerang Kesatria Putih dari sisi kanan.Disabetnya pedangnya.
“Sing”
“Ting” bunyi pedang Kesatria Putih menangkis serangan. Namun tak para bajak laut tidak memberi kesempatan kepada Kesatria Putih. Serangan dari sisi kiri oleh pemimpin bajak laut dan sisi belakang oleh anggotanya yang lain secara bertubi-tubi diterima oleh Kesatria Putih.
Bunyi pedang terus beradu. Naga-naga pun berusaha saling serang dan mempertahankan diri. Para penunggangnya pun harus berusaha menahan keseimbangan sembari terus bertahan dan menyerang.
“Seeet” pedang menyabet lengan Kesatria Putih. Pedang itu milik si Badan Gempal. Kesatria Putih mampu membalas dengan sabetan di punggung si Gempal. Namun serang dari berbagai sisi membuatnya hilang konsentrasi dan keseimbangan. Ekor Merah pun mendapat serangan yang cukup kuat dari keempat naga yang lain.
“Buk” Kesatria Putih merasakan hantaman kuat ditenguknya. Ia kehilangan keseimbangan. Hal terakhir yang diingatnya adalah gravitasi bumi menariknya ke laut. Dan gelap.
***
Peribiru tersentak “Kesatria Putih” gumamnya. Kepalanya pusing. Seluruh badannya terasa sakit. Dijilatnya bibirnya yang kering. Asin. Ia merasakan air membasahi tubuhnya. Sesaat ia tidak mengingat apapun. Pasir pantai menempel di wajahnya. Ia berusaha bangkit dan menyadari ia berada di bibir pantai. Ia terdampar. Ia pun mengingat saat ia menyerang para bajak laut, disekap, dan meniti di papan titian.
“Hufft. Aku terdampar dan ada apa dengan kesatria putih? Mengapa tiba-tiba aku mengingatnya?” gumam Peribiru. Ia berusaha bangkit meski tubuhnya terasa sakit. Bajunya basah dan terkoyak robek oleh batu karang. “Bagaimana dengan Ekor Merah?” pikirnya. DIa menyesal karena kelalaian dan kesesalannya ia membahayakan temannya. “Aku harus mencari bantuan”batinnya.
***
Kesatria Putih tersadar oleh percikan air yang terasa asin diwajahnya. Ia merasakan lengan kanannya perih oleh air asin. “Bajak laut sialan”rutuknya. Ia bangkit dan berjalan ke arah hutan. Matanya tertuju pada sebuah carikan kain di karang. Diperhatikannya secara seksama. Itu adalah potongan kain Peribiru. Ada kemungkinan Peribiru ada di pulau ini, pikirnya. Matahari sudah hampir terbenam dan sebentar lagi malam. Awan mendung menggantung di langit. Ia harus mencari tempat berteduh sebelum petang dan turunnya hujan.
Ia menyeret kakinya memasuki hutan. Terseok-seok. Rasanya seluruh tubuhnya hampir patah. Pulau ini entah dimana. Ia agak lemah dalam pelajaran membaca peta. Apapun yang terjadi di depan sana akan ia hadapi. Ia sudah sampai dis ini. Semua demi satu orang. Peribiru.
“Dia harus mendapatkan balasannya nanti. Jauh-jauh terdampar ke pulau antah berantah hanya untuk mencarinya”gerutu Kesatria Putih.
Hutan makin lebat ketika malam mulai turun. Petir telah menggelegar di langit. Kesatria putih menemukan tempat perlindungan yang cukup buatnya di sebuah batu besar yang agak menjorok ke dalam serupa goa kecil. Di sana ia meringkuk. Melepaskan lelahnya. Hujan telah turun ke bumi. Membuat suasana dingin yang menggigil. Dicobanya membuat api namun tanah, batu, dan ranting begitu basah. Kesatria putih memejamkan mata. Dirasakannya semua sendinya terasa ngilu.
“ Seandainya ada yang obat yang bisa menghilangkan sakit ini?” gumamnya. Dan tiba-tiba ia tersentak. Dirabanya saku jubahnya. Ditemukannya botol kecil dari kakek penyihir.
“Hei, ini kan obat dari kakek. Tak ada salahnya aku coba” sahutnya girang sambil meneguk beberapa tetes cairan tersebut. Beberapa saat kemudian ia terlelap.
Sesuatu yang terasa dingin dan berat terasa bergerak di pahanya. Kesatria Putih tersentak dari tidurnya. Ia tidak bergerak. Hanya saja matanya yang awas terhadap keadaan. Benda tersebut terus bergerak dan kemudian terasa membelit. Diayungkannya pedangnya untuk memotong benda tersebut.
Seettt…dan kemudian terdengar erangan kesakitan jauh ke dalam goa. Tak ada cahaya. Semua tampak gelap. Ia tak pernah tahu makhluk apa yang membelitnya itu. Namun kesatria putih tak perlu menebak karena makhluk itu kembali menyerangnya begitu rupa. Dua ekor makhluk itu kembali berusaha membelitnya. Ia merasakan makhluk itu merangkak mendekatinya. Dengan insting dan mengandalkan pedengarannya kesatria putih berusaha menghindari serangan dari ekor-ekor tersebut. Sesekali serangannya meleset dan ekor-ekor itu berhasil membuatnya terjungkal ke tanah. Ditemukannya bekas ranting yang kemarin berusaha di bakarnya. Ia butuh cahaya. Agar bisa melihat kepala makhluk tersebut. Dicobanya lagi menyalakan ranting dan dedaunan tersebut. Ceess….Sekali dia membenturkan batu api itu. Namun belum berhasil. Dicobanya lagi hingga dua kali. Masih belum berhasil.Hingga kali ketiga saat dirasakannya ekor-ekor makhluk itu mulai membelitnya, api mulai menyala terang.
Belitan makhluk itu pun kendur. “Hei, ternyata kamu takut dengan api makhluk aneh”teriak Kesatria Putih. Segera dibuatnya obor untuk menghalangi ekor-ekor makhluk tersebut. Sejurus kemudian ia baru mengetahui wujud mahkluk tersebut. Ia adalah ular raksasa berekor tiga. Namun satu ekornya telah lepas karena pedang kesatria putih. Namun kepala ular tersebut menyerupai kepala manusia yang bertaring.
“Ada manusia lagi. Kali ini sesuai seleraku. Seorang lelaki. Mungkin aku takut pada api, tapi api takkan pernah membunuhku. Jadi kemarilah. Biar kau menjadi sarapanku. Hahahahaha” katanya melengking dan mendesis.
Kesatria Putih berpikir cepat. Manusia lagi? “Siapa yang datang sebelum aku?” tanyanya.
“Seorang perempuan. Hah, aku tak pernah menyukai perempuan. Aku lebih menyukai pria. Lagipula dia tidak berbau seperti manusia meski tampaknya ia adalah manusia.”
“Kemana dia pergi?” tanya Kesatria Putih lagi.
“Memang apa pedulimu dengannya. Kau tak perlu memikirkannya. Kau sebaiknya mempersiapkan dirimu untuk menjadi sarapanku”
Kesatria Putih berusaha mengulur waktu dan berusaha mencari cara melumpuhkan ular raksasa berwajah manusia ini.
“ Ayolah beritahu aku kemana perempuan itu pergi. Setelah itu kamu boleh menyantapku”.
“Perempuan itu sempat singgah di goa ini tadi. Namun sepertinya ia melihat sisik-sisik kulitku yang telah berganti. Ia melanjutkan perjalananya ke dalam hutan. Ia tidak tahu bahwa di dalam hutan ada hal yang lebih mengerikan dibanding diriku. Hahahahahaha”
“Apa hal yang mengerikan itu?”
“Hei, kau terlalu mengulur waktu. Kamu membuatku makin kelaparan” geram sang ular raksasa.
Kesatria Putih melompat menghidari serangan-serangan ekor si ular raksasa. Sesekali berusaha menakutinya dengan api. Ekor-ekor itu menggeliat-geliat berusaha menghindari sengatan api.
“ Ayolah. Beritahu aku.Tak ada ruginya buatmu. Nanti juga aku menjadi santapanmu” rayu Kesatria Putih.
“Di dalam sana ada penyihir jahat yang mampu mengendalikan pikiran dan tubuhmu. Jika berada di bawah pengaruhnya kamu akan menjadi zombie.Puas?” Raung sang ular raksasa.
Ia tak lagi tinggal diam. Ekor-ekornya kembali menyerang kesatria putih. Tak dipedulikannya lagi sengatan api dari obor yang dipegang Kesatria Putih. Obor itu terjatuh. Serta merta ular raksasa tersebut berusaha membelit tubuh Kesatria Putih. Namun dengan sigap Kesatria Putih menghindar ke samping dan melayangkan pedangnya ke leher ular raksasa tersebut. Kepala ular itu masih saja mendesis hingga terjatuh dan dari pangkal lehernya.
“Kau yang menjadi sarapanku. Untungnya saja aku tak suka dengan daging ular” kata Kesatria Putih. Subuh telah meremang. Dikemasinya barangnya dan dilanjutkannya perjalanannya. Ia yakin ia akan segera bertemu Peribiru.
***
Di tengah hutan yang lebat Peribiru menemukan pondok penyihir yang dicarinya. Penyihir Tua. Tak banyak yang tahu mereka tinggal di pulau ini. Tapi keduanya cukup terkenal meski beberapa informasi tidak juga begitu baik. Ada yang menyebutkan penyihir itu jahat. Mereka mampu melakukan sihir hitam. Tapi itu semua hanyalah rumor. Peribiru lebih percaya jika membuktikannya sendiri. Ia pun sudah mendengar dari kakek penyihir bahwa kekuatan penyihir tua cukup dahsyat meski harus berhati-hati dengan kekuatan itu. Mereka bukan hanya penyihir tapi juga ahli nujum. Mereka mampu melihat masa depan meski masa depan itu belum tentu terjadi.
Diketuknya pintu pondok tersebut. Belumlah cukup tiga ketukan pintu tersebut membuka perlahan. Peribiru melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Agak ragu namun tetap saja dia masuk. Ruangan yang dimasukinya beraroma rempah-rempah. Beberapa toples berisi tumbuhan-tumbuhan kering. Beberapa botol berisi potongan-potongan yang cukup mengerikan. Melayang dalam botol berisi air. Sebuah kuali mengepul disudut ruang. Ada meja di sudut yang lain. Diatasnya sebuah bola Kristal putih yang berkabut.
“Aku sudah menunggumu” suara tersebut membuat Peribiru terlonjak kaget. Hampir saja ditumpahkannya botol berisi tubuh-tubuh kodok yang sudah dikuliti. Penyihir itu tiba-tiba saja telah duduk di depan meja. Kabut-kabut bola Kristalnya mulai berputar.
“Maaf. Saya masuk tiba-tiba”ucapnya gugup.
Penyihir itu tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya melambaikan tangan, isyarat agar Peribiru mendekat. Pelahan meski sedikit takut peribiru mendekati penyihir tersebut. Ditatapnya bola Kristal yang ada diatas meja.
“ Kamu kemari untuk mencari cara menukar keabadianmu untuk menjadi manusia?” Tanya sang penyihir.
“Hah? Itu..Aku…” Peribiru gugup. “Aku kesini hanya ingin mempelajari ilmu ramuan” lanjutnya.
“ Kamu ingin mempelajari ilmu ramuan agar kamu mampu menyempurnakan sisi peri dalam dirimu kan? Ketika seorang peri telah sempurna, mereka memiliki pilihan untuk abadi atau tidak”,kata penyihir.
“Apakah semua karena lelaki itu?” tanyanya lagi.
“Lelaki siapa?” Tanya Peribiru.
“Jangan pura-pura bodoh gadis kecil. Ia telah menyusulmu kemari. Mencarimu. Kupikir ada cinta di antara kalian. Hanya saja dia adalah manusia dan dirimu adalah peri.Sungguh ironi”.
“Kesatria Putih” gumam Peribiru perlahan.
“Oh jadi namanya Kesatria Putih. Waktu seusiamu, aku pun pernah merasakan cinta. Tapi, jangan pernah terlena olehnya. Ia hanya membuatmu lembah dan tak berkutik” lanjut penyihir sambil terus merapalkan mantra di atas bola kristalnya.
“Ada baiknya aku pulang. Sepertinya Anda tidak mampu menolongku” kata Peribiru.
“Duduklah sebentar gadis kecil. Kamu pasti lelah. Minumlah rum ini segelas kemudian kamu boleh pulang” kata sang penyihir sambil bagkit mengambil segelas minuman dan menyodorkannya pada Peribiru.
“ Kamu belum layak memperoleh kesempurnaan peri” kata penyihir. “Kamu di sini saja menjadi tawananku. Terisolasi dalam hutan membuatku jauh dari hal-hal yang menghiburku. Kesatria putih akan segera kemari. Tapi kamu akan segera berada di bawah pengaruhku. Aku perlu melihat apakah cinta masih menjadi picisan yang mampu melemahkan.Hahahahahaha”
Peribiru tak mampu berpikir. Ia mendengar semua perkataan penyihir tersebut. Namun tubuhnya seakan terkunci. Pikirannya tak mampu ia kendalikan. Ia hanya mampu mengingat sesuatu.
“Kesatria putih…tolong” gumamnya dalam kepala dan kemudian tak sadarkan diri.
***
Kesatria putih tersentak. Ia mendengar Peribiru memanggilnya. Meminta tolong kepadanya. Peribiru dalam bahaya. Ia tak pernah meminta tolong kepada Kesatria Putih sebelumnya. Segala hal pasti ia mampu lakukan sendiri. Seberat apapun itu. Tapi kali ini, mendengarnya berucap lirih di dalam kepalanya menandakan bahwa Peribiru benar-benar membutuhkannya. Kesatria Putih harus bergegas. Ia yakin ia akan segera menemukan Peribiru.
100 meter di depannya didapatinya pondok penyihir. Ini adalah rumah penyihir yang dimaksud oleh sang ular raksasa. Namun sebelum ia melangkah masuk halaman pondok itu sebuah panah melesat dan tertancap di pohon disamping ia berdiri. Ia mengenali panah itu. Anak panah milik Peribiru. Dia mengarahkan pandangan ke arah datangnya anak panah itu. Dilihatnya sang penembak.
“Peribiru!!!”Serunya.
Namun jawaban yang didapatnya adalah tembakan panah beruntun. Kesatria putih dengan sigap menghindar dari serangan itu.
“Hei, ada apa denganmu? Ini aku, Kesatria Putih”.
Tapi sepertinya Peribiru tidak mendengarnya. Ia malah segera menyerang Kesatria Putih . Mereka pun lantas beradu pedang. Kesatria Putih bingung.Ia berusaha melawan namun juga berusaha untuk tidak memberikan serang yang ofensif yang mampu melukai Peribiru. Yang mampu ia lakukan sekarang hanyalah menghindar dari serangan Peribiru sebisanya.
“Kumohon, hentikan ini “ kata Kesatria Putih sambil menahan serangan Peribiru. Ia baru tahu jika Peribiru mampu menggunakan senjata pedang. Baru kali ini ia melihatnya. Ditatapnya mata Peribiru. Ia berusaha mencari jawaban mengapa Peribiru menyerangnya. Namun yang didapatinya adalah tatapan mata kosong. Ia tak menemukan pijar mata Peribiru yang selalu ceria dan mengerjap lucu saat mengerjainya.
“ …Penyihir yang mampu merubah seseorang menjadi zombie” kalimat sang ular raksasa terngiang di telinga kesatria putih. Jangan-jangan Peribiru telah berada dibawah pengaruh mantra sang penyihir.
“Apa yang harus aku lakukan untuk menyadarkan Peribiru?” Kesatria Putih bingung.
***
Penyihir menyaksikan pertarungan itu dari jauh. Ia menyeringai sinis. “Cinta hanya mampu melemahkan”.
Kesatria Putih melihat penyihir tersebut dikejauhan. “Aku harus bertarung dengannya, bukan dengan Peribiru” batinnya. “Hanya dia satu-satunya yang tahu bagaimana mengembalikan Peribiru”.
Kesatria Putih pun memburu sang penyihir. Menyerang penyihir dengan pedangnya yang ditangkis oleh tongkat sihir penyihir yang panjang.
“Lepaskan mantramu dari Peribiru” teriaknya.
“ Hahahahaha. Mantra itu telah mengikatnya kuat. Ia lahir dari kebenciannya akanmu. Cari tahu sendirilah apa yang bisa membuatnya terlepas dari mantra itu” kata sang penyihir dengan santai.
Kesatria Putih geram. Diayungkannya pedangnya ke arah penyihir. Berusaha untuk melukai sang penyihir. Disisi lain Peribiru tetap saja berusaha menyerang Kesatria Putih. Kesatria Putih kewalahan menerima serangan. Perhatiannya terpecah, Ia pun berusaha menebak apa maksud perkataan sang penyihir.
Sebuah boneka voodoo tergenggam di tangan sang penyihir. Kesatria Putih yakin dengan merebut boneka tersebut Peribiru dapat terlepas dari mantranya. Peribiru tak lagi menggunakan pedang dan anak panah. Ia kini menggunakan tongkat sihirnya dan melancarkan serangan sihir kepada Kesatria Putih. Dengan sigap Kesatria Putih menghindari serangan sihir tersebut. Berlari ke arah sang penyihir dan merebut boneka jerami tersebut. Sebuah sihir kuat dari sang penyihir dihindarinya dan hampir mengenai tubuh Peribiru. Peribiru berang. Tampaknya ia mulai tersadar. Ia melancarkan serangan ke arah sang penyihir. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Kesatria Putih pun lantas menyerang sang penyihir. Ia tahu serangannya takkan mampu melemahkan penyihir itu, namun ia mampu memecah kosentrasi sehingga ia tak menangkis sihir yang dikeluarkan Peribiru.
“Aaaarrggghhh….”penyihir tersebut tersungkur ke tanah.
“Hahahahahaha…meski boneka itu telah kamu rebut ia tetap berada dibawah pengaruh mantra. Aku tak bermaksud membunuh kalian. Sudah cukup hiburan ini dari kalian” dan ia pun menghilang.
Tersisa Kesatria Putih dan Peribiru yang masih berada di bawah pengaruh mantra sihir. Segera dibukanya benang merah yang melilit di boneka jerami itu. Namun Peribiru masih saja belum tersadar. Masih terus berusaha menyerangnya. Jika Peribiru tidak dibawah pengaruh mantra, mungkin ia akan mengakui kehebatan Peribiru dalam bermain pedang. Tapi sepertinya saat ini Peribiru belum bisa diajak bercanda.
“Kumohon, kita beristirahat sejenak. Kamu menyerang membabi buta” pinta Kesatria Putih sambil menahan serangan Peribiru. Tapi Peribiru tidak mengindahkan permintaan Kesatria Putih.
Suara pedang terus beradu. Kesatria Putih pun mulai lelah. Ia pun berang.
“Apa yang kamu inginkan Peribiru? Aku jauh-jauh mencarimu hingga ke sini dan hanya bertarung denganmu. Rasanya begitu sia-sia harus bertarung denganmu di sini. Apa yang membuatmu membenciku? Aku terlalu meremehkanmu?”teriak Kesatria Putih. Kali ini ia tak hanya menghindar tapi mulai menyerang Peribiru.
“Tak pernah sedikit pun aku membencimu. Kumohon sadarlah. Aku menginginkan Peribiru yang dulu. Yang energik dan selalu tampak bahagia. Bukan yang memandangku dengan tatapan kosong dan sorot mata kebencian. Kumohon …” tangkisnya lagi. Namun Peribiru telah menyudutkannya. Sebuah tikaman tajam terasa perih di bahunya. Peribiru telah menancapkan pedang di bahu kirinya.
“Mengapa kamu melakukan ini? Aku menyayangimu..” gumamnya dan semua gelap.
***
Kakek penyihir meminumkan ramuan yang terasa pahit dilidah. Kesatria putih tersentak dan buru-buru bangkit ketika mengetahui ia berbaring di dipan milik kakek penyihir. Bahu kirinya dibebat dan masih terasa nyeri. Kepalanya pening. Dimana Peribiru? pikirnya. Mengapa ia bisa berada disini? ini pasti bukan mimpi.
“Sudah terbangun anak muda?”Tanya kakek penyihir. Seperti mengetahui tanda tanya yang berkecamuk di kepala kesatria putih kakek pun menceritakan dengan singkat apa yang terjadi.
“Naga ekor merah menemukan kalian di pulau tempat penyihir dan ahli nujum tinggal. Peribiru setengah sadar ketika ia melihat kelebat bayang Ekor Merah. Kalian lantas terbang kemari. Aku menemukan kalian berdua dalam kondisi tak sadarkan diri” jelas kakek.
“Bagaimana dengan peribiru?”
“Ia baik-baik saja. Kondisinya telah pulih. Ia ke hutan untuk mencarikanmu obat”.
“ Bagaimana ia bisa terlepas dari mantra penyihir itu kek?”
“Kalo itu, kamu tanyakan saja kepadanya”.
“Satu hal lagi Kek. Mengapa Peribiru mencari penyihir itu?” Tanya kesatria putih.
“ Ketika peri mampu menyempurnakan sisi perinya. Maka ia punya pilihan untuk menjadi abadi atau tidak” sahut kakek penyihir sambil tersenyum bijak.”Istirahatlah Kesatria Putih”.
“Kek, satu pertanyaan lagi” pinta Kesatria Putih memelas.
“Baiklah.Apa lagi pertanyaanmu?”
“Sang penyihir berkata bahwa yang Peribiru berada dibawah pengaruh mantra yang memanfaatkan kebenciannya kepadaku. Aku tak mengerti”.
“ Cinta yang besar mampu berubah menjadi benci yang sama besarnya. Penyihir itu yang memutar hal tersebut pada diri peribiru. Tapi kamu berhasil menggembalikannya lagi” sahut Kakek Penyihir sambil berlalu.
Kesatria Putih masih saja belum mencerna jawaban-jawaban dari kakek. Kepalanya masih pusing. Dipejamkannya matanya. Didengarnya pintu berderik. Dan dirasakannya seseorang duduk disamping pembaringannya. Dibukanya matanya, ditemuinya peribiru duduk disampingnya. Matanya sembab.
“Maafkan aku” katanya sambil tertunduk.
Kesatria Putih berusaha bangkit dan duduk. “Hei, jangan menangis. Semua baik-baik saja”katanya sambil mengusap pipi Peribiru.
Digenggamnya tangan Peribiru. Masih sehangat dulu.
“ Aku yang mencelakakanmu. Bahkan sampai menusukmu” katanya lagi.
“Tapi permainan pedangmu boleh juga. Aku hampir kewalahan” kata Kesatria Putih tersenyum. “Jangan menyalahkan dirimu. Semua baik-baik saja bukan?”.
Ada diam diantara mereka .Lama.
“Peribiru, bagaimana caranya dirimu terlepas dari mantra itu?” Tanya Kesatria Putih.
“Hmmm….rasanya seperti berada di sebuah tempat sendirian. Bertarung dengan kesendirianku. Aku mendengar suara-suaramu di dalam benakku. Namun tak kutemukan dirimu. Hingga akhirnya aku mendengar kamu memanggil namaku dan berkata menyayangiku. Saat itulah aku tersadar. Dan telah menemukanmu bersimbah darah. Tepat saat itu kulihat Ekor merah mendarat di sisimu. Aku menaikkan tubuhmu dan menungganginya pulang. Setelah itu aku tak ingat kita telah sampai di rumah kakek” jelas Peribiru.
“Apakah benar kamu ingin menyempurnakan sisi peri dalam dirimu?” Tanya Kesatria Putih.
“Setiap peri menginginkan itu. Itulah titik tujuannya. Tapi mungkin aku terlalu terburu-buru dan terlalu ambisius”.
“Apakah karena pilihan immortal dan mortal itu?”.
“ Ada sisi dimana aku ingin menjadi manusia. Tapi pilihan-pilihan itu masih seperti labirin di depanku. Masih banyak yang perlu aku pelajari”, jawab Peribiru.
Kesatria putih tersenyum. “Aku percaya suatu saat nanti kamu mampu bijak memilih pilihan-pilihan itu. Asal jangan pergi tanpa pamit lagi”.
“ Apa itu penting buatmu?” Tanya Peribiru.
“Aku takkan pernah mau bertarung dengan bajak laut, membunuh ular raksasa, atau bahkan rela tertusuk olehmu jika itu tidak penting” sahut Kesatria Putih.
Peribiru tersenyum. “ Selama aku pergi, aku selalu mampu merasakan bahwa dirimu mencemaskanku. Seperti sebuah telepati yang menghubungkanmu denganku. Kupikir itu sudah cukup membuatku tenang”.
“Aku merasakannya juga” kata Kesatria Putih sambil menarik bahu Peribiru ke dalam rengkuhannya.
“Aku menyayangimu. Jangan membuatku cemas lagi” bisiknya. (*)
Comments
Post a Comment