Matahari masih dingin meski pagi mulai beranjak menuju siang. Ada rinai-rinai hujan yang yang dibawah awan tipis kelabu yang mendinginkan pukul 9 pagi itu. Selalu menyenangkan memandangi titik-titik hujan dari balik jendela kamar sambil bergelung di bawah selimut hangat. Tapi hari ini adalah beda. Tas ransel telah dikepak. Beberapa barang yang kuanggap perlu telah kumasukkan dalam kantongan kertas. Hari ini aku akan pulang ke rumah. Entah telah berapa lama aku tak pulang ke rumah. Kota telah membuatku lupa tentang sawah-sawah di desa. Bunyi jangkrik kala malam. Kebun tomat dan cabe di samping rumah.Pengairan kecil depan rumah yang selalu dipenuhi anak-anak kala sore utuk bermain air. Dan juga halaman mesjid yang selalu riuh rendah oleh anak-anak yang bermain-main di sana.
Pulang kali ini serupa akumulasi semua rindu. Kota telah membentuk tiap penduduknya menjadi individualis, materialis, serta konsumtif. Aku perlu pulang kembali agar kembali peka pada sekitarku. Tidak lagi menjadi pribadi yang memiliki dunia sendiri. Di kota semua orang hanya peduli pada urusannya masing-masing. Rutinitas mengalihkan banyak ruang-ruang social. Dan setiap orang bergaul sebagai sebuah keharusan untuk memiliki ruang social. Bukan berdasar pada hakikat mereka adalah makhluk social. Ah, mungkin aku yang terlalu introvert.
Tak hanya pulang ini yang bermakna. Perjalanan kali ini pun perlu aku sesapi baik-baik. Akan kunikmati tiap detiknya. Kali ini sedikit berubah. Aku tak menggunakan mobil angkutan umum. Seorang kawan, kalo boleh menyebutnya dekat mengajakku pulang kali ini. Rumahnya hanya sejam dari tempat tinggalku. Ia mengajakku ikut serta. Dengan pertimbangan lebih lowong, gratis, dan lebih banyak waktu berdua, aku setuju saja ikut pulang bersamanya. Dan lagian aku tak pernah bisa menolak ajakannya.
Empat jam jarak tempuh yang akan kami lalui. Biasanya jika mobil pribadi akan lebih cepat tiba di rumahku. Aku mungkin Cuma butuh waktu 3,5 jam saja untuk sampai di rumah. Sedang ia butuh waktu empat sampai 4,5 jam untuk sampai di rumahnya.
Sebuah pesan teks bersarang di handphoneku. “ On the way ke kostmu”. Aku pun siap-siap membereskan beberapa barang yang tersisa. Membereskan kamar kost yang sebentar lagi masa sewanya berakhir.Dinding-dindingnya lembab karena hujan yang tak pernah berhenti. Beberapa buku yang berserakan di lantai kunaikkan di atas meja. Kasur lipat pun telah aku bereskan. Takutnya jika banjir aku tak perlu khawatir barang-barang itu terendam.
Kutatap sekilas kamar kostku. Banyak kenangan yang aku lalui di sini. Tumpukan sampah sisa pembakaran yang kebanyakan adalah bungkus makanan instant menjadi bukti bahwa betapa tak sehatnya menjadi anak kost. Namun selalu ada hal menyenangkan yang hanya kamu rasakan saat menjadi anak kost.
Aku menunggu di warnet depan jalan besar di lingkungan kostku. Sembari membuka situs-situs yang tak penting. Rasa-rasanya ada cerita yang ingin aku tulis, namun aku tak sanggup menuliskannya sekarang. Entah kapan.
Handphoneku berbunyi penanda ada pesan masuk. Aku tak perlu membacanya. Segera kumatikan layar monitor dan membayar ke operator warnet. Aku mengemas barang-barangku. Menunggunya di pintu depan.
Ia menghentikan mobilnya tepat di depanku. Membuka kaca jendelanya dan mengerjapkan mata sambil tersenyum padaku. IA masih tetap sama. Masih seperti saat pertama kali aku mengenalnya. Aku tersenyum. Segera kubuka pintu bagian depan mobil dan mengambil posisi duduk di sampingnya. Diraihnya pundakku dan ditariknya aku ke dalam pelukannya “Aku merindukanmu” bisiknya.Aku membalas pelukannya. Kubenamkan wajahku di lehernya. Kupejamkan mataku. Aroma parfumnya masih sama. Tak berubah. Aku hanya mengangguk ketika ia membisikku. Aku ingin pelukan itu tak berakhir, namun seperti setiap pelukan yang tak memiliki durasi lama, kami tahu ada saat dimana waktu meminta kami merenggangkan tangan, merenggankan dekapan, dan menarik diri. Pelukan serupa dua jiwa rapuh yang saling bersatu untuk menguatkan. Dan ketika ia merenggang, jiwa-jiwa itu harus kembali menguatkan dirinya sendiri. Tidak lagi bertumpuh pada jiwa yang lain.
Seperti itu pula jiwaku. Ketika pelukan itu berakhir, aku seperti harus menutupi sebuah lubang yang tinggalkan oleh jiwanya di hatiku. Tersenyum adalah hal yang paling reflex kulakukan. Sebuah upaya yang cukup membantu. Setidaknya membuat hati sedikit terobati dan juga menjadi selubung menutupi kesedihan.
Ia menggeggam tanganku. Seperti biasa, ia mengusap-usap punggungnya. Atau sekedar menangkupkannya saja di telapak tanganku. Atau jika ia bosan disematkannya jemarinya diantara jemariku.
Perjalanan pulang pun di mulai. Ia mengambil rute tol. Menyetel radio agar suasana tak begitu diam. Membeli dua botol air mineral untuk dikonsumsi. “Jika mau pipis, bilang ya. Kalo mual juga bilang” katanya. Hmmm…Pengemudi yang baik. “Kalo berhenti sejenak saja untuk bercerita, boleh?”tanyaku, namun hanya dalam hati saja.
Ia tak lagi menggenggam tanganku. Ia harus berkonsentrasi pada kendaraan yang dikemudikannya. “Perjalanan tiga setengah jam ini, apa yang akan kita jadikan bahan obrolan?” pikirku. Namun selalu ada saja hal yang menjadi topic pembicaraan kami. Ia menceritakan sebuah film yang tak pernah selesai aku nonton endingnya. Dia bukanlah storyteller yang bagus. Tapi cukuplah untuk membuatku tertawa. Mungkin karena ekspresi yang harus digambarkan dan juga harus focus pada jalan yang di depannya. Ia tampak lucu ketika harus sesekali berpaling kepadaku dan juga harus tetap waspada di jalan raya.
Kami saling menceritakan tentang pengalaman surat cinta kami waktu sekolah dulu. Kepada siapa ia mengirim surat cinta tersebut. “Aku masih menyimpan satu surat cinta dari seorang kakak kelas di SMP yang dulu aku suka” kataku sambil tertawa. “Waktu aku kirim surat cinta ketika si cewek itu nanya karena aku takut ditolak aku Cuma bilang itu hanya main-main” katanya sambil mengerjitkan hidung dan mengerjapkan mata.Kami pun membahas lagu-lagu yang hits dijaman kecil dulu. Mainan apa yang kami mainkan. Dan juga acara tivi apa yang paling diingat waktu kecil.
Tak terasa telah dua jam kami berkendara. Jalanan mulai menanjak dan berbelok-belok. Sesekali aku mengeluarkan lelucon garing “Berapa belokan perjalanan dari kota sampai rumahmu?” tanyaku. “Waahh, aku tidak menghitung” jawabnya polos. “Dua. Kiri dan kanan” kataku sambil nyengir. Ia tertawa bodoh. Hihihhihihi.
Kami melalui batu-batu gunung menjulang tinggi. Pohon-pohon yang tinggi di daerah cagar alam.
“Aku sering liat monyet berkeliaran di sini” kataku. “Kamu?”
“belum pernah”jawabnya.
“Sayang sekali” kataku datar.
Kami berhenti sejenak di warung untuk sekedar merenggangkan persendian. Ia memilih warung dekat sungai yang selalu menyajikan makanan tradisional. “Disini menu favoritku adalah indomie goring” katanya sambil memesan seporsi mie goring dengan telur ceplok. Aku hanya memesan sagelas teh. Memperhatikannya makan dan sesekali mencuri pandang kepadanya. “Sebentar lagi aku akan sampai. Perjalanan ini segera berakhir” batinku.
Kami melanjutkan perjalanan lagi setelah merasa cukup segar. Aku tahu sebentar lagi penanda-penanda yang kutemui di jalan yang biasanya aku pakai sebagai pengingat bahwa aku akan segera sampai ke rumah akan kutemui. Aku memilih lebih banyak diam. Memperhatikan pemandangan diluar jendela kaca mobil. Ia menyanyi mengikuti lagu yang diputar dihandphonenya yang tercolok ke speaker mobil. Gelombang FM telah dari tadi tak terjangkau.
Aku meletakkan kepalaku di dashboard. Memperhatikannya. “Kenapa?” tanyanya penasaran.
Aku hanya menggeleng. “Cuma ingin melihatmu” jawabku.
Aku membuat ekspresi lucu di wajahku. Dan ia tertawa. Kucium sekilas pipinya. “Hei…” ekpresinya.
“Iseng” jawabku sambil tertawa. Ia hanya tersenyum sambil menatap jenaka.
“Aku akan merindukan perjalanan pulang bersamamu” kataku dalam hati.
Tak terasa 10 menit lagi aku akan sampai. “Yee…sebentar lagi sampai” teriakku girang. “Kasi tau ya harus menepi dimana” katanya.
Aku menunjuk ke depan. Tempatnya untuk menepi. Dilambatkannya mobilnya hingga kecepatan nol. Aku mengemasi ranse dan barangku. Dia menatapku. Masih dengan tatapan matanya yang mengerjap riang dan tersenyum. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Berharap perpisahan ini terbawa bersamanya. “Makasih ya sudah kasi tumpangan” kataku sambil tersenyum. “Aku sangat berharap bisa menemani sisa satu jam perjalananmu” lanjutku dalam hati.” Nanti aku kabari kalo sampai di rumah”katanya padaku yang kujawab dengan anggukan.
Rasanya tak ingin turun dari mobil itu. Namun, Seperti pelukan, berada di mobil itu pun punya batas waktu. Dan sebentar lagi waktu yang kupunya berangka nol. Aku menggegam tangannya erat dan melepaskannya. Ia hanya tersenyum dan mengedipkan matanya. Mungkin ini adalah bahasa perpisahan yang cukup mudah buat kami. Khususnya buatku. Tak ada pelukan.
Aku dan dia telah berbagi pelukan terakhir. Seperti perjalanan ini yang juga merupakan perjalanan kami yang terakhir…(*)
29 april 2011
Ahh... semoga itu perjalanan bersama yang terakhir karena keduanya telah menapaki jalan yang berbeda, bukan karena dalam 1 jam perjalanan yang ia lalui menemui akhir kehidupannya.
ReplyDelete