Skip to main content

Petak Umpet

Ilustrasi

Sore tadi menemani Khanza main-main sore, ia memilih untuk berjalan menyusuri lorong depan rumah menuju jalan raya. Ia menarik tanganku lebih keras untuk terus berjalan hingga pinggiran jalan besar. Aku pun berkeras untuk tidak menuruti keiinginannya. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Untungnya di halaman mesjid banyak anak-anak main petak umpet. Aku pun menggendongnya untuk berdiri di pagar agar tak lelah oleh beban tubuhnya.

Anak-anak itu bermain dengan riang. Ada lebih dari sepuluh anak di sana. Yang kutahu paling tua diantara mereka adalah siswa SMP. Seingatku waktu SMP, aku tidak lagi main petak umpet.Hehehehehe. Beberapa anak laki-laki juga ikut main. Mereka mengelilingi halaman mesjid dari muka hingga belakang hanya untuk bersembunyi dan berusaha memegang tiang penjaga dengan cepat dan tidak terlihat oleh anak yang giliran jaga.

Yang jaga pertama adalah seorang anak perempuan. Kuperkirakan anak kelas 6 SD. Ia berhasil melihat dan menemukan semua teman-temannya yang bersembunyi. Giliran jaga kedua adalah anak gadis paling kecil diantara para anak-anak yang main. Ia selalu saja kebobolan tiang jaga. Bahkan ketika ada seorang anak lagi yang ikut gabung untuk bermain, ia tetap mendapat giliran jaga karena kalah main suit.

Mereka membuatku teringat ketika aku yang seumuran mereka berlari di halaman mesjid itu. Bermain dengan anak-anak laki-laki. Aku selalu menjadi yang paling kecil. Selalu berada di tim yang kalah tiap kali main. Pernah sekali main kejar-kejaran dan aku kalah gara-gara anak laki-laki yang lebih besar dariku. Umurku saat itu mungkin 9 tahun. Kelas 3 SD. 

Permainan itu membuatku tumbuh menjadi anak perempuan yang selalu menganggap anak laki-laki selalu lebih pintar, lebih hebat, serta lebih kuat dari anak perempuan. Setelah permainan itu, aku selalu tidak ingin ikut bermain jika dalam permainan juga ikut anak laki-laki. Apalagi untuk jenis permainan yang harus beradu atau berlomba. 

Kepribadianku tumbuh dengan pandangan bahwa anak perempuan selalu menjadi anak nomor dua dari anak laki-laki. Bahkan hingga di kehidupan sehari-hariku aku memaklumi jika anak laki-laki lebih unggul dari anak perempuan. Karenanya, waktu dulu jika ikut perlombaan-perlombaan seperti Pramuka atau siswa teladan aku selalu suka. Karena pengkategorian lomba berdasarkan Putra-Putri. Sedangkan aku tidak begitu suka dengan lomba Olimpiade, dimana semuanya Putra dan Putri harus bersaing. 

Sepertinya aku tumbuh dengan keminderan yang begitu luar biasa terhadap makhluk bernama pria. Ia membentuk kerpibadianku menjadi sangat tunduk pada pria. Padahal sesungguhnya cewek dan cowok itu sama saja. Tak ada badanya. Semoga ini hanya terjadi padaku dan masa kecilku saja...

Comments

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar