Sejarah etnis Tionghoa adalah sejarah panjang bangsa Indonesia. Sejarah sebuah etnis yang meyebar hampir di seluruh muka bumi. Catatan panjang tentang sebuah etnis yang mampu menjaga eksistensinya dan berakulturasi dengan budaya tempatnya bermukim. Etnis Tionghoa serupa rumput liar yang terus tumbuh dimana pun. Beradaptasi dengan segala kondisi lingkungannya. Proses yang juga memiliki sejarah panjang tentang sebuah dialektika yang tidak mudah tentang budaya, adat istiadat, suku, dan ras.
Kisah panjang ini dilihat dari sudut pandang perempuan, manusia kelas dua dalam bingkai selir, pembebatan kaki, pembatasan kelahiran anak perempuan, perempuan yang dijual, dijadikan Nyai, dan dipaksa menikah serta menjadi korban kekerasan rasial. Yang berusaha bangkit atas dominasi kaum pria, stereotype yang tetap sama meski zaman telah berubah.
Leny Helena meramu kesemua itu dalam bingkai empat perempuan dalam empat zaman yang berbeda. Satu yang mengikat mereka, sebuah gelang giok naga zaman Dinasty Ching (1644-1911 M). Gelang menjadi simbol perempuan. Naga menjadi simbol etnis Tionghoa. Dan giok menjadi simbol sebuah perhiasan yang lebih bernilai dari Emas. Leny Helena memulai ceritanya dari zaman Dinasty Ching tahun 1723 M di Istana Terlarang hingga Zaman reformasi di Indonesia.
Cerita dimulai berawal dari seorang selir yang berusaha merebut hati Kaisar Jia Shi. Kaisar China memiliki begitu banyak Selir. Ketika jumlah selir tidak dibatasi maka seorang kaisar bahkan pernah memiliki 400 selir. Permaisuri dan selir pun harus saling bersaing untuk memperoleh perhatian sang Kaisar. Adalah Selir Lu Shan yang kemudian berusaha menarik perhatian kaisar dengan melukai dirinya di taman. Sejak saat itu ia mendapatkan perhatian khusus dari kaisar. Mendapat banyak perhiasan dan disematkan nama Yang Kue Fei padanya.
Yang Kue Fei adalah nama selir yang hidup di masa Dinasti Tang Agung, di masa pemerintahan Kaisar Ming Huang. Yang Kue Fei adalah selir tercantik sepanjang masa. Berpengetahuan tinggi, menguasaia sejarah, puisi, seni, dan taktik perang. Ia dijuluki si Giok Cantik. Ia tidur di ranjang giok, berkamar dengan segala ornament giok, hingga semua perhiasannya adalah giok.
Namun nasib Selir Lu Shan cukup pelik. Ia harus lari dari istana dalam keadaan mengandung saat ia menemukan Kaisar Jia Shi tak bernyawa di kamarnya. Kasim Fu yang selama ini menolongnya mencurigai adanya orang yang tidak senang dengan pengaruh sang selir terhadap Kaisar agar tidak memperluas kekuasaannya dan lebih memperhatikan kondisi domestik.
Cerita pun berlanjut pada tahun 1935, tentang A Sui cicit keturunan Yang Kue Fei. Gadis berumur 9 tahun yang dinikahkan secara paksa oleh ibunya. Ia tak mampu memilih untuk bersekolah ketimbang menikah. Dalam adat istiadatnya perjodohan antar orang tua-lah yang menentukan sebuah pernikahan. Dan jatuh cinta adalah sebuah hal yang sia-sia. Ia pun harus mengalami pembebatan kaki. Sejak usia 6-7 tahun. Agar kakinya berbentuk seperti kuncup teratai dengan ukuran 7-12 cm. Bentuk kaki inilah yang menjadi standarisasi ukuran kecantikan perempuan China di masa itu.Pernikahannya dengan pria kaya cukup membuatnya bahagia. Ia tetap bisa bersekolah dan disayangi oleh keluarga mertuanya.
Forbidden City |
Beda A Sui, berbeda pula A Lin. Namun nasib sama-sama membawanya ke Hindia Belanda (Indonesia). Meski tak mengalami pengikatan kaki namun A lin dijual oleh ibu untuk dijadikan tenaga pekerja ke seberang lautan. Berkenalan dengan bajak laut yang membawanya ke Indonesia. Ia harus melakukan pemeriksaan sehat dan barang bagus (Perawan) agar ia bisa dihargai tidak sekedar dengan dua keping perak. Namun, jika anak-anak gadis itu masuk dalam kategori tidak sehat atau bukan barang bagus maka keluarga lebih rela mereka dibawa pergi tanpa harus dibayar agar mengurangi beban keluarga.
Di atas kapal ia mempelajari banyak hal dan mendengar banyak cerita. Ia mendengar cerita tentang Lai Chio San, bajak laut perempuan terhebat di laut China Selatan yang digelar “The Dragon Lady”. Dalam perjalananya itu pula ia mempelajari memasak.Namun sayang, sang kapten kapal tidak menyetujui ia turut serta menjadi anak buah kapal karena dirinya seorang perempuan. Perempuan satu-satunya diantara semua pria diatas kapal.
A Lin pun kemudian menjadi Nyai (Perempuan simpanan bagi pegawai Belanda). Tak dinikahi dan harus menerima kenyataan jika mereka harus ditinggal pergi oleh pria yang memeliharanya. Ia mencintai Tuannya hingga melahirkan dua anak kembar. Namun kemudian karena ia hanyalah Nyai, maka ia tak memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan anaknya saat Tuannya membanya ke Belanda. Ia lantas memilih menikah dengan pria Tionghoa dan memulai usaha klontongnya di Bukit Duri dan sukses menjadi pengusaha.
Sedangkan A Sui harus rela hidup menderita. Suaminya yang memiliki usaha mebel bangkrut.Meninggalkannya dengan delapan anak. Ia pun harus menggadai Gelang naga giok peninggalan ibunya kepada A Lin.Kedua perempuan ini pun tidak lantas berpisah. Mereka malah diikatkan oleh hubungan keluarga. Karena anak A Lin menghamili anak A Sui. Keduanya pun lantas berbesanan dan mendapat cucu bernama Swanlin.
Cerita pun bergulir pada Swanlin. Perempuan keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia. Ia harus merasakan diskriminasi social sejak kecil. Di dorong ke got dan dikatai China celeng. Bahkan hingga tingkat Universitas saat ia mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia. Tidak sedikit perlakukan yang kasar kepadanya. Ia dianggap tak layak bersekolah di Universitas negeri yang disubsidi dan diusir kembali ke tanah asal usulnya.
Swanlin bukanlah tipe perempuan cengeng. Ia aktif berorganisasi. Mendaki gunung dan turun ke jalan saat reformasi 98. Pengarang pun menggambarkan bagaimana etnis Tionghoa begitu tersudut saat terjadinya kerusuhan mei 98. Isu tentang pemerkosaan missal yang dianggap desas desus lantas dipaparkan sebaliknya disini. Perkosaan tersebut menjadi sebuah trauma bagi para korban sehingga tidak menguat dan terekspose secara gamblang . Para korban lebih memilih untuk berusaha melupakan tanpa perlu untuk terus-menerus dihantui oleh media. Lagian mereka pikir bahwa hukum tak pernah benar-benar tuntas di Negara ini.
Swanlin pun akhirnya menikah dengan lelaki Batak teman kampusnya. Gelang giok naga pun kemudian diwariskan kepadanya. Namun sayang, sebuah penyakit mengrenggut hidupnya yang bahagia dari anak, suami,dan keluarganya. Dan gelang giok naga pun disumbangkan ke museum. Cerita ini ditutup dengan percakapan antara ayah dan anaknya
“Papa, Apakah Mama mirip Yang Kue Fei yang sering Papa ceritakan? Tanya si bocah dalam gendonga ayahnya.
“TIdak, Mama tidak cantik seperti Yang Kue Fei…Dia mirip seekor naga. Seekor naga yang selalu membuat repot papa sepeti kamu” canda si pria sambil menggelitik pinggang si anak.
“……dan betapa aku sangat mencintainya.” (Hal 313)
25 February 2011
Comments
Post a Comment