sumber foto di sini |
Satu lagi film animasi Disney
yang menarik untuk ditonton. Inside Out, sebuah film tentang makhluk-makhluk kecil
yang berkantor di otak manusia, yang mereka sebut markas besar. Merak
menggunakan panel-panel raksasa untuk memutuskan bagaimana perasaan manusia menyikapi diri dan lingkungannya.
19 agustus kemarin, saat film ini
dirilis di Indonesia, saya menyempatkan diri untuk menontonnya bersama Ara.
Anak saya yang berumur 4 tahun itu, sudah bisa diajak ke bioskop dan menikmati
film-film animasi yang menarik minatnya.
Adalah Riley Andersen, tokoh
sentral film ini. Ia seorang bocah perempuan berumur 11 tahun. Diceritakan d iawal
tentang mahkluk-makhluk kecil yang ada di otaknya sejak pertama kali ia membuka
mata dan melihat dunia. Ada Joy, si bahagia. Berwarna keemasan dan bercahaya.
Kemudian ada Anger, Sang Amarah. Berwarna merah dan memiliki rambut api. Segala
hal mampu merusak moodnya dan membuat rambutnya terbakar. Selanjutnya, Disgust,
Tukang JiJik. Berwarna Hijau yang selalu memberikan pandangan buruk terhadap
hal-hal baru yang akan ditemui oleh Riley. Berikutnya, Fear, Si Penakut.
Berwarna ungu, kurus dan sangat ceroboh.
Membuatnya selalu berhati-hati. Terakhir tapi bukan yang paling kecil, Si Biru
Sadness. Pendek, Biru, dan pemurung. Buatnya segala hal selalu negatif.
Kelima karakter inilah yang
mengendalikan emosi Riley. Tiap hari mereka mengumpulkan bola-bola kenangan.
Tiap kenangan berwarna sesuai dengan perasaan yang membentuknya. Dan bisa
dipastikan bahwa yang paling baik adalah kenangan berwarna keemasan.
Ingatan-ingatan senang dan bahagia yang dilakukan Riley tiap hari. Pada
kenangan-kenangan yang begitu kuat, menjadi bola-bola ingatan yang membentuk
karakter Riley. Dan beruntungnya Riley, dia tumbuh menjadi anak yang bahagia.
Berkat campur tangan Joy yang selalu positif melihat segala keadaan.
Masalah muncul ketika keluarga
ini pindah dari Minnessota ke San Francisco. Rumah yang tidak sesuai
ekspektasi. Barang-barang yang belum tiba, lingkungan baru, hingga kehilangan kawan
terdekat dan tim Hockey. Riley yang berumur 11 tahun mengalami krisis
kepribadian. Joy dan kawan-kawannya berusaha membuat Riley tetap dengan
karakternya yang positif. Sayangnya, Sadness, entah kenapa selalu berusaha
ingin menyentuh bola-bola kenangan baik dan mengubahnya menjadi kenangan yang
menyedihkan.
Sadness mengutak atik bola-bola
ingatan baik yang memengaruhi kepribadian Riley, hingga Joy berusaha
menghentikannya, namun kemudian menjadi bencana. Keduanya tersedot dan
terlempar ke labirin penyimpanan ingatan. Jauh dari markas besar. Mereka harus
kembali secepat mungkin agar karakter kuat
Riley tetap bertahan. Sayangnya, kembali ke markas besar adalah sebuah
perjalanan panjang yang tak mudah dan penuh rintangan.
***
Film Inside Out ini berhasil
menggambarkan dengan begitu cantik pengandaian tentang sebuah semesta di dalam
benak manusia dengan gaya kanak-kanak yang begitu menyenangkan. Jika dulu saya
selalu membayangkan sebuah ruang di otak saya yang penuh dengan folder-folder
usang berisi kenangan, maka film ini memberikan warna-warni yang serupa pelangi tentang semesta kecil di dalam
benak manusia.
Siluet Ara yang tak sabar menonton Scene Brain Freeze |
Ada semacam mesin yang begitu
canggih yang memproses ingatan dan menyimpannya dalam lemari –lemari tinggi
penuh bola-bola berwarna. Bola-bola yang adalah ingatan tersebut lambat laun
akan menyeleksi ingatan yang mana yang bakal melekat dan selalu diingat, dan
ingatan mana yang akan dibuang. Ada petugas-petugas yang setiap hari
membersihkan bola ingatan kusam. Menyedotnya dengan vacum cleaner dan membuangnya ke jurang paling dalam. Hingga
kemudian bola-bola itu terkikis dan menjadi debu bernama Lupa.
Ada pulau-pulau yang menjadi penunjang
karakter orang. Buat Riley, ia memiliki sikap yang jujur, persahabatan,
kekeluargaan, dan sikap jenaka yang membuatnya menjadi karakter yang menyenangkan
dan selalu berbahagian.
Kemudian ada seksi dunia khayalan
yang memproduksi segala imaginasi yang mampu dipikirkan. Alam abstrak yang tak
memiliki eksistensi. Hingga Dream
Production yang serupa Hollywood yang memproduksi mimpi-mimpi. (Saya sepakat dengan penggambaran tentang
mimpi yang serupa film yang ditonton saat tertidur). Juga teman khayalan
yang benar-benar eksis di dalam benak. Serta alam bawah sadar yang menjadi
tempat ketakutan yang paling dalam. Tidak lupa kereta pikiran yang sibuk
berkeliling ke semua tempat sepanjang kita terjaga.
Yang membuat film ini semakin
asyik adalah bagaimana petualangan Si Senang dan Sang Sedih untuk kembali demi
menyelamatkan Riley. Argumen yang terjadi antara keduanya. Joy yang positif dan
Sadness yang negatif. Puncaknya pada begitu egoisnya si Joy untuk tetap
berusaha menjadi Raley bahagia sehingga meninggalkan Sadness.
Hingga akhirnya mereka menyadari
bahwa mereka tak bisa berdiri di atas yang lain. Bahwa perasaan tidak mesti
harus selalu bahagia. It’s always okay to
be sad, fear, or angry.Its human things. Bahkan mix feeling itulah yang membantu karakter seseorang menjadi dewasa.
Yah...seperti ciri khas film
Disney yang berakhir bahagia, film ini pun menemui happy ending dengan penuh warna-warni. Tokoh sentralnya bertumbuh dewasa, makhluk-mahkluk
kecilnya pun bertumbuh dewasa ditandai dengan papan panelnya yang kemudian
berubah bentuk dengan tombol-tombol yang lebih banyak.
Dan tak hanya mahluk-mahluk kecil
dari sudut pandang Riley yang ditampilkan, tapi juga dar orang-orang dan
binatang disekitarnya. Ceritanya agak cukup dewasa untuk ukuran Ara. Tapi,
warna-warninya yang cantik serta scene-scene
lucu cukup membantu.
Oh tidak lupa, memention tentang
film pendek tentang gunung merapi yang sangat romantis di awal film. Worth to
watch. So, jangan sampai telat masuk bioskop.
Selamat nonton!
Bogor, 20 Agustus 2015
Comments
Post a Comment