It's been a while, blog.
Maaf untuk ketidakmampuan
mengisi banyak post di sini. Selalu ada keinginan namun rasa malas, rutinitas
rumah tangga, dan kesibukan membereskan mainan selalu menjadi alasan yang kuat
untuk menunda dan tidak menulis sama sekali. Resolusi tahun lalu adalah berharap
menulis banyak di blog dan nyatanya resolusi itu tak pernah terwujudkan. Maka
tahun ini saya memilih tak membuat resolusi atau setidaknya tidak mengumbarnya
di mana pun.
apa yang ingin saya bagi kali
ini adalah review film. Tahun lalu saya menonton beberapa film secara tak
sengaja, kemudian suka, kemudian pengen nulis reviewnya dan kemudian ga jadi.
Karenanya kali ini sebelum saya kehilangan gairah untuk menuliskannya, saya
hendak membaginya di sini. Sekalipun mulai terasa tidak mengairahkan untuk
ditulis karena terlalu banyak distraksi diantara harus pura-pura masak,
pura-pura makan biskuit plastik, hingga harus mendengarkan cerita tentang
review stickbots dan menonton penampilan pantomim yang kesemua distraksi itu
ditokohi Ara dan Anna.
Ok, let's begin.
Tadi tak sengaja menonton film
berjudul Everything, Everything. Yang menyenangkan dari menonton film yang
tidak disengaja, tak terkenal, tanpa rekomendasi dari orang-orang adalah jika
menemukan yang ceritanya bagus, seperti menemukan coklat enak dalam bungkusan
sederhana. Jika coklat ga enak, at least saya emang ga berharap ketinggian.
Karenanya saya adalah tipe penonton yang ga ngikutin trend film yang paling
ditonton orang. Bukan tipikal yang melihat rating di IMDb. Pun juga bukan
penonton film yang masuk dalam nominasi awards atau dapat oscar dan golden
globe. Saya adalah tipe penonton yang tertarik karena sinopsis. Saya menyebut
aktivitas ini. Accidentally watching atau Serendipity Movie (i watched
the movie itself accidentally when i was high school in tv). Hahahaha.
Back to the movie. Ok, judulnya
Everything, Everything. Berkisah tentang Madeline, perempuan 18 tahun yang
tidak pernah keluar dari rumahnya karena memiliki kondisi tertentu bernama
Severe Combined immunodeficiency (SCID), kondisi dimana sistem imunitas dalam
tubuh sangat lemah sehingga seseorang sangat mudah terserang penyakit infeksi . Kondisi ini disebabkan oleh kelainan genetika.
Dalam
65ribu kelahiran terdapat 1 kemungkinan
kelahiran dengan SCID. Maddy, sapaan
akrab Madeline, adalah 1 kemungkinan tersebut. Meskipun kondisi SCID
memungkinkan seseorang hanya bertahan hidup sampai dua tahun, Maddy, dengan
perawatan dan perlindungan yang super steril dari Ibunya, ia berhasil mencapai
usia 18 tahun. Hidupnya baik-baik saja. Dengan sekolah lewat internet.
Mempelajari arsitektur dan membuat desain maket dengan astronot kecil yang
selalu ia tempatkan di maket karyanya. Pakaiannya melalui proses sterilisasi
yang ketat, orang-orang yang terhubung dengannya secara langsung (yang dalam
hal ini hanya ibu dan perwatnya), harus steril dari partikel-partikel luar yang
memiliki banyak kemungkinan membawa virus dan bakteri.
Dunia
luar bagi Madeline hanyalah jendela-jendela kaca besar di kamar, ruang belajar,
serta pintu rumah yang terbuat dari kaca bening. Selebihnya ia sepertti
astronot dalam maketnya. Tak memiliki ruang untuk terbebas dari pakaian dan
helmnya.
Hingga
suatu hari seorang anak laki-laki bernama Olly menjadi tetangga rumahnya. Olly
seumuran dengannya. Dari jendela kamar mereka saling berkenalan. Berkirim pesan
hingga menjadi akrab. Hingga kemudian Maddy menyukai Olly dan ingin bertemu
langsung dengannya. Dan di sinilah kisah berlanjut.
Di scene
pertama film ini, mengingatkan saya pada Taiyo No Uta, film jepang yang
diadaptasi ke film amerika berjudul Midnight Sun. Awalnya saya mengira film ini
adalah MidnightSsun versi amerika. Sampai saya harus googling lagi untuk
memastikannya. Dan ternyata benar-benar berbeda. Meski big picturenya tentang
anak perempuan yang tidak bisa keluar rumah hingga bertemu seorang anak
laki-laki sama. Diperankan oleh Amandla Stenberg yang begitu cantik dan sexy (ternyata dia yang memerankan karakter Rue dalam film Hunger Games. Wow..udah gede dia) dan Nick
Robinson yang bermain di film Love, Simon. Film ini memberikan sentuhan remaja
tanggung yang beranjak dewasa. Saya menyukai cara film ini berdialog. Scene
ketika Olly dan Maddy saling berbagi cerita lewat online digambarkan mereka
bertemu di maket buatan Maddie lengkap dengan astronotnya. Maket itu serupa
ruang diimajinasi Maddie tempat ia bisa membayangkan banyak hal. Seperti
bercakap dengan Olly secara langsung.
Cerita
film ini pun tak datar hanya sekedar percintaan anak remaja, twist diujung
cerita memberikan kejutan tak terduga. Ibarat
marshmelow, film ini terasa manis dan selembut. Tipikal cerita yang disajikan
dalam novel-novel. Belakangan baru saya tahu ternyata Everything,Everything
memang diangkat dari novel karangan Nicola Yoon yang berjudul sama.
Jika saya
menonton film ini saat usia saya seumuran dengan karakter film ini, saya akan
beranggapan bahwa film ini cukup dewasa. Sayangnya, saya menontonnya di usia
sekarang sehingga kesan saya terhadap cerita film ini terasa kanak-kanak. Tapi
kemudian saya bisa menempatkan posisi saya sebagai seorang ibu dan memahami
tiap pilihan-pilihan yang dilakukan oleh ibunya.
Saya
senang menemukan film ini secara tak sengaja.
Bogor, 29
Januari 2019
PS : Saya
membutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk menuliskan ulasan yang tidak
terlalu penting ini.
Comments
Post a Comment