Skip to main content

Sapiens : Dongeng Sejarah Tentang Manusia




Saya membuka tahun 2019 dengan meniatkan diri membaca dua buku setiap bulan. Dua buku mungkin terlihat sepele namun beberapa tahun belakangan ini, membaca buku adalah laku yang sangat susah saya lakukan. Sama susahnya dengan menulis di blog. Maka di 2019 saya meniatkan diri untuk mengupgrade otak saya dengan baca-bacaan yang agak berat. Sudah cukup saya menghabiskan hari-hari marathon serial film dan reality show yang menyenangkan untuk ditonton tapi tidak begitu memberi nutrisi pada otak.

Januari telah di penghujung hari. Apakah saya berhasil menyelesaikan dua buku bulan ini? Ternyata saya gagal. Belum juga lewat satu bulan dari 2019, udah gagal maning. LOL. Tapi saya tidak lantas bersedih. Kenapa? Karena saya tidak gagal-gagal amat. Saya berhasil menyelesaikan satu buku. Dan yang patut saya banggakan adalah saya berhasil menyelesaikan satu buku yang cukup tebal, bukan fiksi, dan sangat menyenangkan.

Saya menamatkan Sapiens.  Prok…prok…prok. Sebuah kemustahilan yang hakiki adanya. Mengapa? Karena saya bukan tipe pembaca buku-buku yang tidak ada kisah percintaannya. Bukan juga pembaca buku yang harus berpikir. Saya pembaca santai. Tapi, karena kembali ke niat untuk menutrisi otak, maka dengan penuh tekad saya menghabiskan buku yang sangat tebal ini dalam waktu 30 hari. Mencuri-curi waktu disela kegiatan rumah tangga dan ngemong anak. Menargetkan satu bab perhari. Saya berhasil menyelesaikan tepat di tanggal 31 Januari. Maka, meski nda sesuai target dua buku, saya tetap bangga pada diri sendiri. Hahaha.

Membaca Sapiens mengingatkan saya pada pelajaran sejarah kelas satu SMP yang dirangkum hingga pelajaran politik-sosial di bangku kuliah denga tambahan cerita futuristik tentang robot di masa depan. Membaca halaman pertama membuat saya semakin penasaran tentang cerita manusia-manusia zaman awal hingga beranak pinak menjadi miliaran di zaman sekarang.

Menariknya Yuval menyajikannya dengan sangat sederhana. Saya tidak perlu membaca berulang-ulang untuk memahaminya. Cerita dimulai dari Revolusi Kognitif manusia dimana Homo Sapiens khususnya berhasil mengembangkan potensinya tanpa perlu melalui seleksi alam seperti yang terjadi pada hewan-hewan lain di muka bumi. Kemudian berlanjut ke Revolusi Pertanian yang kemudian menjadi awal terciptanya ilusi –ilusi tatanan kehidupan hingga lahirnya agama. Dilanjutkan ke Revolusi Sains yang menciptakan lesatan kemajuan yang paling cepat dari yang pernah terjadi di bumi.

Membaca Sapiens membuat saya merenung akan banyak hal. Di bab-bab awal saya menganggap Homo Sapiens telah begitu kejam karena entah bagaimana berhasil menjadi satu-satunya spesies manusia di muka bumi ini. Menghancurkan keaneragaman hayati dan berbagai hewan-hewan unik. Di bab-bab pertengahan membuat saya merenung tentang agama-agama baik yang mengagungkan Dzat Maha Pencipta  maupun konsep lain tentang  ideologi yang tidak pernah kita anggap sebagai agama namun memiliki penganut yang taat melakukan ajaran-ajarannya tanpa sadar.
Pada bab-bab terakhir Sapiens membawa perenungan tentang hendak kemana umat manusia.Apakah mereka tetap bertahan hidup atau kelak akan punah tergantikan dengan bentuk evolusi manusia ke tahap yang berbeda. Pada saat itu terjadi dimanakah kita berada dan apa peran kita?

Di satu sisi buku ini sangat optimis namun di sisi lain terasa pesimis.  Meski demikian, Yuval meyakinkan pembacanya bahwa yang perlu dipahami  para Sapiens adalah menentukan arah tujuan hendak dicapai.

Sayangnya buku ini kurang memberikan referensi tentang peradaban Islam dan pengaruhnya terhadap dunia. Beberapa kali disinggung namun tidak begitu dalam. Membaca Sapiens yang ditulis tahun 2012 di tahun 2019 terasa perlu sedikit revisi. Telah banyak hal yang terjadi dalam jangka waktu tujuh tahun di dunia yang serba cepat ini. Namun kata suami, beberapa update perubahan dunia  dituliskan di bukunya yang terbaru. Wow!!! Saya tidak sabar membacanya.

Bogor, 31 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...