Hari ini saya menonton dua film Indonesia. Padahal awalnya saya tertarik menonton film Korea. Kembali ke film Indonesia tadi, saya menonton Surat dari Praha karena rekomendasi tema kemudian saya menonton Emma' Athirah karena suami nonton dan saya ikutan nonton. Saya pun keterusan nonton. Awalnya sih saya mau meresensi Surat dari Praha, cuma Athirah ini lebih membekas di hati.
Film Athirah diangkat dari kisah nyata Athirah, ibu Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia. Ia adalah seorang perempuan bugis yang setia. Mengurus anak, suami, dan rumah tangga dengan telaten. Membantu suami dalam mengurus bisnis. Hingga suatu hari ia melihat gelagat aneh dari sang suami yang terasa mendua. Dan benar saja, dalam kondisi hamil besar, sang Suami melangsungkan pernikahan dengan istri keduanya.
Pedih hati Athirah. Hatinya hendak menggugat. Namun, penghambaan pada suami bagi masyarakat bugis adalah sebuah keharusan. Maka ia tetap menjadi istri yang memasakkan suaminya. Menyiapkan makanannya. Dan menungguinya pulang.
Athirah adalah tipikal perempuan Bugis. Menjunjung kehormatan keluarga. Ia tidak marah meski hatinya hancur. Tidak pula mencaci meski pedih terasa. Tidak pula menggugat cerai meski ia memiliki pilihan itu. Ia bertahan. Menjadi istri yang tetap melayani suaminya.
Hingga pada suatu masa di sebuah pesta pernikahan yang ia hadiri, ia melihat suaminya menggandeng perempuan lain. Hatinya hancur. Selama ini ia mampu menerima apa adanya kondisi suaminya. Namun, di pesta itu ia merasa tergantikan.
Ia lara. Mengapa cinta harus mengkhianatinya. Padahal ia telah berusaha berdamai. Namun Athirah yang lembut sesungguhnya adalah pribadi yang kuat. Ia tidak lantas menangis menjerit meminta keadilan. Ia memilih caranya sendiri.
Ia memulai bisnisnya sendiri. Tidak bergantung pada suami. Ia pun kembali menemukan cahaya hidupnya. Ia meninggalkan kesedihan dan melanjutkan hidup. Baginya berdiri tegak dan tak bergantung pada suami adalah cara terbaik untuk mengatakan pada dunia bahwa ia tidak kalah.
Yang membuat saya bertahan menonton film ini karena dialog-dialog dan puluhan kali shoot menu makanan di meja. Dialog bugis yang kental dan dibawakan dengan ciamik oleh Cut Mini membuat saya rindu akan pulang. Ditambah gambar zoom in pada Pallu Mara, ikan bakar, dan barangko membuat rindu makin mendidih.
Ah....film ini kurang tape'...
Bogor, 2 Januari 2018
Comments
Post a Comment