Skip to main content

Diskusi Tentang Kematian Bersama Morrie


Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorang pun percaya itu akan terjadi pada mereka sendiri. Kalau saja kita percaya, kita akan mengerjakan segala sesuatu secara berbeda. (Selasa Bersama Morrie, Mitch Albom)


Manusia menerima bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Terjadi setiap hari di bebagai belahan dunia. Namun, seperti kata Morrie, manusia tak percaya itu akan terjadi pada mereka. Seminggu kemarin saya memikirkan tentang kematian. Bagaimana jika hidup tersisa hanya dalam hitungan tahun? Ya, mungkin kita akan mengerjakan segala sesuatu berbeda. Kita tidak akan menunda-nunda pekerjaan. Beralasan bahwa besok masih ada waktu. Kita akan melewatkan banyak waktu bersama keluarga. Mengucapkan kalimat aku mencintaimu berkali-kali. Lebih lembut dan penuh kasih. Rajin beribadah dan mengucap puja-puji pada Tuhan. Every second count. Setiap menit takkan dibuang dengan sia-sia.

Morrie adalah profesor berusia 70an tahun yang divonis penyakit Amyothropic Lateral Sclerosis (ALS), yaitu penyakit saraf motor dimana saraf mengalami pengerasan (sehingga tidak berfungsi) karena tidak menerima "Asupan"substansi untuk hidup dan tumbuh. Asupan yang dimaksud adalah tidak menerima perintah dari pusat atau otak (sel saraf motor). 

Namun ia menolak meninggalkan dunia dengan cara yang menyedihkan. Ia memilih untuk menginspirasi orang-orang di sekitarnya dan dunia. Bersama Mitch di setiap selasa di sisa hidupnya mereka mendiskusikan tentang kehidupan, dunia, keluarga, dan kematian.

"Belajar tentang cara mati, maka kita belajar tentang cara hidup"

Saya membaca buku ini dalam kondisi kecemasan yang luar biasa. Somehow, buku ini sedikit mampu menenangkan pikiran. Saya bersepakat pada banyak pandangan-pandangan Morrie tentang kehidupan dan kematian. Tapi pada titik keikhlasan dan penerimaan bahwa kematian sejati adalah kawan yang datang menjemput serta dunia hanyalah kebendaan belum sanggup saya aplikasikan.

Butuh keberanian dan kerelaan yang begitu besar untuk sampai pada penerimaan itu. Mempersiapkan diri meninggalkan orang-orang yang dikasihi adalah bagian terberat. Namun bagi mereka yang telah divonis akan hidup yang tak lama lagi, persoalan-persoalan itu adalah masalah yang harus diselesaikan.

Kemudian saya merenung lama, apakah mereka-mereka yang mengetahui kematian segera akan datang menyapanya adalah orang-orang yang lebih beruntung ataukah sial? Mereka beruntung karena mampu mempersiapkan upacara perpisahaan pada dunia. Ataukah mereka yang tidak tahu pasti kapan kematian menyapa lebih beruntung? Karena mereka bisa hidup tanpa ketakutan dan kecemasan? Bahwa hidup mereka lebih optimis?

Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Mungkin yang paling baik untuk saat ini adalah tetap menjadi positif, menjadi orang baik, dan tidak menyia-nyiakan waktu.

Bogor, 27 Nov 2017


Comments

  1. mati, itu pasti pada makhluk yang bernafas.
    tinggal kita berdoa kepada rabb, agar bisa meninggalkan dunia dengan khusnul khotimah, bukan suulkhotimah :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...